Mengapa jilbab dipersepsi menjadi “simbol yang memecah-belah bangsa” di negeri mayoritas Muslim seperti Indonesia?
Politik Simbolik, Apa Salahnya?
Friday, 12 June 2009 19:33
Oleh: Sapto Waluyo
*) Penulis aktif di Center for Indonesian Reform (CIR)
Pemilihan presiden di Indonesia saat ini memperlihatkan beberapa gejala paradoks. Sebagai tanda kematangan hidup berdemokrasi, banyak orang menuntut agar kompetisi antar kandidat lebih bertumpu pada sosialisasi program dan tidak mempersoalkan masalah ideologi. Seakan-akan ada kebijakan dan program yang dapat diturunkan begitu saja dari langit tanpa arahan ideologi tertentu.
Program nir-ideologi itu, jika benar-benar ada, entah ditujukan kepada konstituen yang mana dan akan dijalankan partai politik apa sebagai mesin utama pemenangan kandidat. Bila semua partai politik bisa melakukannya dan ditujukan kepada seluruh kelompok masyarakat, maka mengapa mesti ada kompetisi yang sengit antar kandidat? Sepatutnya dibuat kesepakatan bahwa program yang baik untuk semua konstituen itu dijalankan saja secara bergiliran di antara partai peserta pemilu, sehingga tak perlu ada pemungutan suara berongkos triliunan rupiah untuk menentukan siapa yang paling unggul.
Program nir-ideologi itu hanya ilusi. Di negara demokrasi yang paling maju seperti Amerika Serikat sekalipun, ideologi masih berfungsi untuk mendorong perubahan. Sekurang-kurangnya Partai Demokrat mengklaim telah mewakili jutaan rakyat menengah ke bawah yang selama ini diabaikan kepentingannya oleh oligarki (elite pemilik modal dan kuasa) di Washington. Barack Husein Obama mampu mencitrakan diri dan menggalang dukungan dari akar rumput yang menyumbang 10-15 dolar AS untuk mengalahkan John McCain yang didukung korporasi besar (big bussines).
Obama sukses meruntuhkan ambisi George W. Bush dari Partai Republik –biasa disebut Grand Olp Party (GOP)-- yang ingin diwarisi McCain. Bush ingin melanjutkan dan menuntaskan perang yang berongkos besar. Sementara Obama ingin mengganti kebijakan itu dengan program kesejahteraan, pembukaan lapangan kerja dan subsidi bagi kelompok masyarakat kurang beruntung.
Penegasan akan pentingnya ideologi dalam konteks politik Indonesia diajukan Eko Prasojo, guru besar UI untuk bidang administrasi negara. Ia menyatakan, koalisi antarparpol dalam rangka menentukan calon presiden dan wakil presiden tak boleh hanya didasarkan hitung-hitungan kepentingan politik jangka pendek. Idealnya, koalisi parpol dibangun berdasarkan kesamaan platform kebijakan dan ideologi. Tetapi, dalam kenyataannya, memang sulit membangun koalisi berbasis platform ideologi karena hampir semua parpol di Indonesia tidak memiliki kejelasan ideologi. Hal ini pun terlihat dalam pemilihan langsung kepala daerah, di mana corak koalisi lebih didasarkan pada kepentingan untuk memenangi pemilihan semata, tanpa memperhitungkan benturan ideologis (Kompas, 27 April 2009).
Partai boleh mendefinisikan kepentingan elite lebih utama ketimbang ideologi. Dan, masyarakat juga tak salah, bila lebih menuntut ketersediaan sembako atau mie instan daripada dijejali janji-janji politis. Namun, dalam praktek, sikap partai atau tuntutan masyarakat itu pada akhirnya ditampilkan melalui simbol tertentu. Sebagaimana diungkapkan oleh Richard M. Perloff bahwa komunikasi politik adalah suatu proses dimana pimpinan nasional, media, dan warga negara bertukar dan berbagi makna atas pesan-pesan yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan publik (1998).
Lebih tajam lagi ditegaskan oleh R.G. Meadow dalam “Politics as Communication”, bahwa aktivitas politik merujuk pada segala jenis pertukaran simbol atau pesan yang dalam bentuk signifikan telah diciptakan atau memiliki konsekuensi atas sistem politik (1980). Contoh paling kentara adalah cara ketiga pasangan capres/cawapres mendeklarasikan pencalonan diri mereka.
Jusuf Kalla-Wiranto memilih Tugu Proklamasi sebagai lokasi deklarasi yang dilaksanakan secara sederhana. Ini membawa pesan nasionalisme yang kental. Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono memilih gedung Sabuga di lingkungan kampus ITB yang dipermak cukup megah untuk undangan khusus. Kesan yang muncul, sangat modern, high class dan ingin meniru deklarasi Obama di AS. Sedangkan, Megawati Soekarnoputeri dan Prabowo Subianto memilih cara paling kontroversial dengan menyulap tempat pembuangan sampah di Bantar Gebang, Bekasi sebagai simbol keberpihakan kepada rakyat kecil. Bukankah itu menandakan sejak awal deklarasi, seluruh kandidat telah memainkan politik simbolik? Tak ada yang menyalahkan.
Lalu, mengapa tatkala jilbab yang dikenakan Mufidah Kalla dan Rugaiya Wiranto mencuat ke permukaan, banyak pihak yang mencibir dan meminta agar perdebatan tentang itu harus diakhiri karena dipandang sebagai politisasi agama? Bahkan, unsur partai dalam koalisi yang pertama kali memunculkan isu faktual itu akhirnya jadi mundur ke belakang, dan terkesan menyesali inisiatif tulusnya. Ini benar-benar paradoks. Apa yang salah dengan jilbab sebagai wujud ketaatan kepada perintah agama dan sekaligus identitas politik?
Tampaknya pandangan Bachtiar Effendi dan Sholahuddin Wahid paling obyektif ketika menempatkan isu jilbab bukan sebagai politisasi agama. Justru dengan isteri yang berjilbab, menurut Bachtiar dan Gus Sholah, pasangan JK-Wiranto ingin membuat “diferensiasi” dengan pasangan capres-cawapres lainnya. Meskipun hal itu bukan satu-satunya faktor untuk memenangkan pilpres, karena pihak kompetitor dapat melakukan serangan balik yang mendiskreditkan keunikan itu. Kuncinya adalah konsistensi antar simbol yang dikenakan atau dikampanyekan dengan perbuatan dan program yang dijalankan. Jika isteri para politisi itu sudah berjilbab lama sesuai dengan kesadaran nurani mereka, maka efek perluasan dari sikap itu sama sekali bukan politisasi, melainkan menjadi berkah terselubung.
Di negara Barat semisal Prancis, jilbab merupakan simbol ketahanan budaya minoritas Muslim dan perlawanan terhadap diskriminasi hak di tengah masyarakat majemuk, sehingga hal itu masuk ke ranah politik dan menjadi suatu kebijakan negara (Joan Wallach Scott, 2007). Di Turki lebih dahsyat lagi, ketika ibu Negara (Ermine Gulbaran), isteri PM Recep Tayyip Erdogan, tampil dengan jilbab anggunnya, maka seluruh Eropa gempar, tak cuma Turki. Padahal, Partai Keadilan dan Pembangunan (Adalet ve Kalkınma Partisi) secara formal berideologi sekulerisme. Lalu, mengapa jilbab dipersepsi menjadi “simbol yang memecah-belah bangsa” di negeri mayoritas Muslim seperti Indonesia? Di situ terlihat terang, preferensi politik telah mengacaukan persepsi keberagamaan sebagian kalangan.
Walau mencitrakan diri sebagai pasangan yang paling rasional dan modern, karena tidak terpengaruh pada mitos Jawa-Luar Jawa dan berani menggaet kalangan profesional non-partai, namun tim pemenangan SBY-Boediono di lapis bawah tetap saja memperlihatkan karakter aslinya. Seperti terlihat dari aksi pendukung 'Indonesia Bisa’ cabang Kediri yang menggelar larung sesaji di Sungai Brantas, Kelurahan Semampir. Dalam kegiatan tersebut, dilarung kembang setaman, bunga mayang, telur ayam kampung, dupa dan kemenyan serta dua ekor itik yang di bagian sayapnya ditempeli stiker 'SBY for President'. Dua ekor itik, diakui penyelenggaranya, adalah simbol nomor urut pasangan SBY-Boediono. Ini benar-benar simbol lokal yang punya makna tertentu bagi pemilih setempat. Tak perlu dibatasi atau diharamkan.
Kita juga bisa menguji, apakah program pemerintah untuk memberi Bantuan Langsung Tunai (BLT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), Program Keluarga Harapan (PKH), atau Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri benar-benar kebijakan yang bebas dari kepentingan simbolik? Bukankan semua itu pertanda bahwa pemerintah “masih peduli” dengan nasib rakyat kecil, meskipun harus menyisihkan dana untuk stimulus fiskal dan beban bunga obligasi rekap perbankan? Muatan simbolik dari pelbagai program pemerintah semakin kental, saat pelaksanaannya dilakukan pada momen krusial jelang pemilu dan pilpres.
Kandidat incumbent mengeksploitasi program pemerintah untuk menunjukkan bahwa ia telah berbuat banyak. Sementara sang penantang (the contender) mengajukan alternatif kebijakan yang diyakini lebih baik dari program pemerintah. Politik Indonesia bertambah unik, karena di antara kandidat ada yang mengklaim bahwa dirinya turut memberi kontribusi besar bagi keberhasilan program pemerintah selama ini. Semua itu benar-benar perang simbolik. Jutaan pemilih kadang lebih terpikat dengan simbol yang paling sederhana daripada janji yang rumit atau penampilan basa-basi. Meskipun begitu, mungkin banyak pemilih yang tak tertarik dengan simbol apapun, lalu memilih sikap tidak memilih.
Sumber : http://www.hidayatullah.com/index.php/opini/9594-politik-simbolik-apa-salahnya
Thursday, June 18, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Komentar Anda mengenai artikel ini :