Apakah ada yang kurang dengan dunia pendidikan kedokteran kita? Secara kurikulum medis mungkin sudah sangat lengkap, yang kurang mungkin hanyalah nurani, sifat tawadhu’ (humble), dan kemauan meluangkan waktu berkomunikasi (menggali dan mendengarkan) dengan pasien.
Tentunya, ini bukan generalisasi untuk semua dokter, tetapi dari pengalaman pribadi berobat di Indonesia tercinta ini, opini pribadi saya adalah sangat sulit menemukan dokter yang berdedikasi dan berorientasi semata-mata pada target kesembuhan pasien secara rasional tanpa embel-embel kepentingan lainnya.
Kontribusi dari "komersialisasi pendidikan", "komersialisasi pemeriksaan kesehatan" dan "perang obat / perusahaan besar farmasi" adalah beberapa faktor utama dari bergesernya orientasi dokter. Sejak awal masuk ke fakultas kedokteran, orientasi mayoritas mungkin adalah target ekonomi, dan bukan target sosial/pelayanan.
Pola kejar setoran, praktek sana-sini, RS swasta yang tidak memiliki tenaga/karyawan dokter spesialis tetap, sudah saatnya diminimalisir. Dalam pandangan saya yang awam, harusnya setiap RS Swasta memiliki dokter spesialis tetap, dan perlakuannya adalah sebagai karyawan yang menerima gaji bulanan. Kalau perlu, RS Swasta harus melakukan investasi dengan memberikan beasiswa ke Dokter Umum-nya untuk mengambil pendidikan spesialis.
Idealnya penghasilan dokter adalah dari gaji bulanan, serta pembagian SHU (sisa hasil usaha) tahunan dari Rumah Sakit, seperti halnya dengan karyawan/professional bidang lainnya. Pola pendekatan ini akan memberikan rasionalisasi dalam pemeriksaan dan pemberian obat, karena dokter tidak perlu kejar setoran dan jumlah pasien per hari dapat dibatasai untuk setiap dokter.
Di kota besar Indonesia, jika dilihat jumlah dokter spesialis, pendekatan tersebut memungkinkan untuk dilakukan. Yang perlu part-time cukup yang sub-spesialis (konsulen), Professor, dll, yang jumlahnya memang masih terbatas. Hubungan dengan konsulen (sub-spesialis) dapat dilakukan oleh dokter spesialis tetap RS per telepon, toh selama ini juga model konsultasi via telepon semacam ini (bahkan cuma dilakukan oleh Perawat ke Dokter Part-time, dan dikenakan biaya ke Pasien sama seperti visit langsung ... bukan main) sudah umum dilakukan oleh para RS Swasta.
Tip dan Fasilitas (berupa fee terhadap obat/resep yang dituliskan, dan fasilitas lain-lain) yang diberikan Perusahaan Besar Farmasi kepada dokter harusnya diatur dalam Kode Etik Kedokteran dengan melarangnya sama sekali. Ini adalah praktek yang sangat tidak sehat, yang menjadikan peresepan menjadi tidak rasional dan sangat tidak adil bagi pasien.
... ternyata, setelah English googling sore ini, saran untuk menghilangkan dokter part-time dan menjadikan dokter sebagai bagian integral dari Rumah Sakit (sebagai karyawan permanen, bagian dari pemilik perusahaan, mendapatkan bonus keuntungan perusahaan, dan/atau semacamnya) telah menjadi bahan diskusi sejak lama, yang salah satunya saya kutipkan di bawah ini :
________________________________
Strengthening hospital-physician relationships
by Robert A. McGowan
Healthcare Financial Management , Dec, 2004
http://findarticles.com/p/articles/mi_m3257/is_12_58/ai_n8574803/
When hospitals and physicians work well together, they can Better provide patient care efficiently and cost-effectively. But hospitals and physicians face many challenges today that can undermine their close working relationship. For optimal relationships with physicians, hospitals need to combine a strategy to align economic interests and share revenues with strategies to communicate better, build trust, and include physicians in decision making.
A study by Mitretek Healthcare identified some concrete strategies hospitals are using to strengthen hospital-physician relationships. These findings offer a framework for hospital management, physician leadership, and hospital board members to reflect on what their organization is doing to strengthen these critical relationships.
Study participants consistently recognized the importance of maintaining and strengthening the relationship between hospitals and medical staff members. They also understood the high level of interdependence between the business enterprises of hospitals and the business enterprises of physicians. With strong relationships as a goal, many hospitals have some significant work to do. While 73 percent of the participating CEOs rated their hospital-physician relationships quite positively, only 44 percent of the participating physicians shared this view.
Stresses and Challenges
Several factors placing stress on hospitals make true alignment with physicians difficult. These factors include weak and declining payment, staffing shortages, challenges related to quality and patient safety, constantly changing medical technologies, increasing customer expectations related to quality and access to services, capacity constraints as the population ages, and increased competition from private, for-profit providers of niche clinical services. Physicians also commonly report increased stress due to threats to their clinical autonomy, declining payment, increases in practice overhead, major increases in malpractice insurance premiums, and the challenge of living a balanced lifestyle. These stresses also create increased tension in hospital-physician relationships.
In the study, many hospital leaders expressed concerns related to the loss of the historical loyalty to the hospital as physicians focus more on their office practice. Physicians and niche providers are competing more aggressively for ancillary revenues and for clinical services that provide high payment. Many physicians are threatened by hospital strategies to recruit new physicians and grow select clinical services. Hospitals' on-call demands are alienating many physicians, and an increasing number of physicians are either demanding pay for on-call duty or refusing to be on call.
Revenue-Sharing Strategies Are Critical
Many of the current tensions identified in the study focus on revenue. If this study had been conducted five to 10 years ago, the identified stresses probably would have concerned control issues more than capturing revenue. In the study, both hospital leadership and physicians reported that they are working harder than ever, yet making less money. They also understood that, given the financial challenges of today's healthcare environment, hospitals and physicians will become either more collaborative partners or more active competitors, with few in a neutral zone. Thus, the critical question is: "What are the multiple strategies hospitals should use to better align their economic incentives with those of physicians?"
Study participants commonly noted that "volunteerism is dead" and that physicians expect to be paid for time spent on hospital business. Sixty-four percent of the respondents said their hospitals pay physicians to serve as officers or department heads. Some even pay physicians stipends to attend meetings. Only 21 percent said they pay physicians for being on call, and the interviews suggest strong resistance to doing so for fear that the cost will quickly get out of control.
A literature search suggests that a comprehensive strategy related to shared economic interests should include some combination of the following:
* Growing clinical services that enhance physician income
* Investing in infrastructure and information systems to increase efficiency, access, and physician productivity
* Actively marketing the medical staff
* Offering physicians equity ownership in real estate and not-for-profit bonds
* Paying physicians stipends for value-added services
* Offering gain sharing
* Employing physicians
* Entering into joint ventures
* Entering into collaborative managed care contracting
* Exploring options for providing financial relief for large increases in malpractice premiums
There is no right combination of the above. The strategy must be tailored to each hospital and physician community.
The survey found 87 percent of participating hospitals provide financial support for recruitment to physician practices, 83 percent employ primary care physicians, and 62 percent employ some office-based specialists. All of these strategies received high effectiveness ratings.
________________________________
Kasus Prita "Versus" Akhlak Dokter
Kompas, Sabtu, 6 Juni 2009 | 03:10 WIB
Oleh : HANDRAWAN NADESUL
Dokter; Pengasuh Rubrik Kesehatan; dan Penulis Buku
Penilaian dan sikap pengendalian masyarakat pasien sebagai sistem kontrol yang efektif terhadap eloknya layanan medis. (Telaah Kisch & Reeder)
Kasus Prita bukan cuma satu. Tak sedikit pasien kita yang dikecewakan dokter atau rumah sakit akhirnya merasa diabaikan. Tanpa melacak apa di balik kasus itu, kasus Prita masih akan terus menjadi endemis. Anggapan bahwa ”dokter selalu benar, pasien pasti salah” atau ”mana mungkin pasien salah, dokter pasti salah” perlu dilempangkan.
Dokter dan rumah sakit bukan pihak yang untouchable. Kerja profesi dokter sudah lengkap diberi ”pagar”. Pendidikan etika kedokteran saat sekolah, sumpah dokter kepada Yang Maha Mengawasi saat lulus, dan selama berpraktik dokter dipandu oleh perangkat Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dan Undang- Undang Praktik Kedokteran. Tiap dokter menginsafi semua itu.
Dokter mau berbicara
Bukan sikap kesengajaan profesi dokter kalau muncul kasus. Bukan karena semua dokter ingin melompati ”pagar” yang disepakati. Lebih sering, ada yang lebih kuat dari hanya hukum dan regulasi jika praktik dokter tampil tak elok di mata pasien.
Ada dua hal yang membuat kinerja profesi dokter tidak elok, yaitu komunikasi dokter dengan pasien dan akhlak dokter sendiri.
Soal komunikasi, harus diakui, opini pasien ihwal penyakitnya belum tentu sama dengan opini medis. Makin terbatas wawasan medis pasien, makin banyak yang perlu dokter komunikasikan. Salah sangka pasien terhadap kasus medisnya lebih sering karena dokter menjawab pasien hanya jika ditanya.
Kasus Steven-Johnson, misalnya. Ini kasus alergi hebat yang bisa mengancam nyawa pasien akibat obat atau suntikan. Kita tahu, dalam tradisi berobat, pasien kita umumnya tak memiliki ”paspor” kesehatan selain tak punya dokter keluarga. Pasien kita umumnya selalu asing di mata dokter yang dikunjunginya.
Secara medis, tanpa data lengkap pasien, sulit bagi dokter meramal reaksi alergi hebat yang mungkin menimpa pasien. Selain itu, karena keterbatasan waktu praktik, banyak dokter juga kurang mengorek kondisi medis pasien yang belum dikenal. Jika saja dokter lebih banyak bertanya, misalnya adakah bakat alergi, dan menjelaskan kemungkinan alergi hebat bisa terjadi sehabis berobat, dan sekiranya sampai muncul kasus pun, tentu tak sampai diopinikan sebagai malapraktik karena pasien sudah tahu jika risiko itu bakal terjadi. Hingga kini, kasus Steven-Johnson diopinikan masyarakat sebagai kesalahan pihak medis.
Kasus Prita muncul karena tidak dibangun komunikasi dokter dengan pasien. Tanpa penjelasan apa yang dilakukan dokter dan yang akan dialami pasien serta akibat yang mungkin muncul dari berobat, keterbatasan wawasan pasien ihwal penyakitnya mungkin melahirkan opini miring yang justru merugikan dokter.
Merawat akhlak dokter
Tiap dokter mengetahui kewajiban pribadi dan hak pasien. Bukan melalaikan keinsafan itu saja jika kasus malapraktik dan misconduct (bersikap judes, marah, tak ramah) masih muncul. Sejatinya kompetensi dokter dan pasien kelewat senjang. Otonomi dokter nyaris tak terbatas. Tanpa keindahan akhlak, praktik dokter tampil tidak profesional.
Industri medis yang kita anut dan fakta yang merongrong moral dokter adalah rumah sakit harus berinvestasi dan perlu berhitung agar tetap melaba. Pasien yang dilayani pun melebihi jumlah dokter sehingga tergoda berpraktik hingga larut malam dengan konsekuensi praktiknya tidak lagi profesional berpotensi membahayakan pasien.
Mengingat penghargaan pemerintah tak memadai, ada banyak dokter memilih menerima iming-iming dari perusahaan farmasi. Ini mengakibatkan harga obat mahal dan harus dipikul pasien. Praktik memberi obat yang tak perlu dan memilih yang lebih mahal (iatrogenic dan polypharmacy) mencitrakan dokter tidak lagi melihat profesinya.
Dokter dan rumah sakit bisa terjebak berlaku nakal dengan memanfaatkan ketidaktahuan pasien yang teperdaya jika orientasi profesi dokter hanya demi duit. Tanpa akhlak yang elok, hukum medis bisa ditekuk, regulasi medis bisa dilipat, dan dokter memanfaatkan kekuasaannya yang tinggi. Rekam medis sebagai satu-satunya bukti tindak malapraktik ada di bawah kekuasaan dokter.
Otonomi profesi dokter kelewat tinggi sehingga jika akhlak dokter lumpuh, dokter bisa berkelit dari tudingan melakukan kesalahan. Hukum dan regulasi medis bisa ditaklukkan. Namun, tidak demikian bila akhlak dokter terawat.
Hak pasien harus difungsikan. Wawasan kesehatan masyarakat perlu bertambah cerdas agar lebih kritis dan skeptis atas layanan medis yang diterima. Sadar akan hak sebagai pasien dan kaya wawasan kesehatan membantu dokter merawat akhlaknya. Dokter tidak sembarangan melakukan pekerjaan profesinya. Kita sepakat, tak ada yang lebih berkuasa dari akhlak dalam keunggulan profesi apa pun.
Akhlak dokter tidak boleh dikalahkan oleh apa pun dan tetap eling akan sumpah profesi yang merupakan janji kepada Yang Maha Melihat. Jadi, tak ada pilihan bagi dokter yang ingin tetap profesional, mendahulukan kepentingan pasien dan memilih berpraktik dengan hati.
____________________________
Prita "Lawan" RS Omni
Kartono Mohamad
Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia
Kompas, 04 Juni 2009
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/04/03352924/prita.lawan..rs.omni
Secara formal, pada umumnya penyedia layanan medis mengakui bahwa pasien mempunyai hak. Tetapi, dalam praktik, tidak banyak penyedia layanan medis yang memerhatikan atau bahkan memahami hal ini. Yang lebih sering diperhatikan hanyalah kewajiban pasien, terutama kewajiban untuk membayar.
Hal ini terutama akibat pola hubungan tidak seimbang antara pasien dan dokter, dengan dokter pada posisi yang lebih kuat dan dominan. Seolah sudah menjadi paradigma bagi para dokter bahwa pasien harus tunduk, menurut kata dokter, dan tidak boleh mengajukan banyak pertanyaan. Pemahaman bahwa pasien mempunyai hak tidak diperoleh ketika dalam pendidikan sehingga mereka akan merasa aneh jika dalam praktik ada pasien yang menanyakan banyak hal.
Namun, kini ketentuan bahwa pasien punya hak sudah dikukuhkan dalam undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Dalam Pasal 52 disebutkan ada lima hak pasien, yaitu mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis, meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain, mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis, menolak tindakan medis, dan mendapatkan isi rekam medis.
Banyak versi mengenai hak pasien ini, baik dari yang sudah menjadi UU maupun yang berupa pernyataan atau kesepakatan perkumpulan. World Medical Association mengeluarkan Deklarasi Hak Pasien dan American Hospital Association mempunyai A Patient’s Bill of Rights.
Semua pernyataan dan UU itu menyatakan, pasien mempunyai hak yang harus dihormati ketika ia berhadapan dengan penyedia layanan medis. Ada hal-hal yang disebut dalam UU atau deklarasi di negara lain yang belum secara eksplisit diutarakan oleh UU Praktik Kedokteran kita, yaitu hak pasien untuk memperoleh pelayanan yang tidak diskriminatif, hak untuk dihormati dan dilindungi privacy-nya, dan hak untuk secepat mungkin mendapatkan solusi atas komplain yang diajukan terhadap penyedia layanan.
Tujuan
Di Amerika Serikat, UU tentang hak pasien dihasilkan oleh US Advisory Commission on Consumer Protection and Quality in the Health Care Industry pada tahun 1998. Disebutkan, pada intinya tujuan Patient’s Bill of Rights adalah, pertama, membuat pasien merasa lebih percaya terhadap layanan kesehatan. Kedua, menjamin bahwa penyedia layanan kesehatan akan bersikap adil (fair). Ketiga, penyedia layanan akan berusaha memberikan layanan sesuai dengan kebutuhan pasien (works to meet patient’s needs). Keempat, membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien.
Betapapun, keberhasilan upaya penyembuhan pasien amat bergantung pada rasa percaya yang imbal balik antara pasien dan dokter. Kepercayaan inilah yang harus selalu dijaga oleh penyedia layanan medis. Tanpa ada rasa percaya dari pasien, tidak mungkin upaya penyembuhan akan berhasil. Kecuali jika tujuan penyediaan layanan bukan untuk membantu kesembuhan pasien, tetapi semata-mata untuk mencari keuntungan sebanyak dan secepat mungkin dengan memanfaatkan ketidaktahuan pasien.
Dalam mencoba memberikan layanan terbaik, penyedia layanan harus juga siap menghadapi konflik yang dapat terjadi. Konflik dapat terjadi antara perbedaan persepsi dokter dan pasien mengenai penyakit, adanya ekspektasi yang berlebihan dari pasien terhadap dokter, adanya perbedaan ”bahasa” dokter dengan pasien, dan ketidaksiapan dokter untuk menjalin komunikasi yang empatik. Perasaan sebagai kasta tersendiri yang berada di atas kasta pasien dapat berperanan terjadinya komunikasi yang tidak empatik tersebut.
Prita dan Omni
Kasus Prita Mulyasari dengan Rumah Sakit Omni adalah contoh telah hilangnya komunikasi yang empatik itu, yang kemudian merusak rasa saling percaya yang seharusnya dibina. Maka, jika tujuan pelayanan kepada Prita adalah untuk membantu menyembuhkannya dari penyakit, tujuan itu telah gagal. Jika ditanyakan siapa yang bersalah dalam hal ini, kedua pihak akan mengklaim sebagai yang benar. Prita mempersoalkan mengapa hasil laboratorium yang menyatakan bahwa trombositnya 27.000 tidak boleh dilihat. Pihak RS Omni menyatakan, hal itu belum divalidasi, jadi masih rahasia. Menjadi pertanyaan, jika masih rahasia, mengapa Prita sudah mengetahuinya? Bukankah saat ia dianjurkan untuk dirawat, ada dokter yang menjelaskan trombositnya 27.000?
Rasa percaya Prita sebagai pasien menjadi lebih menurun lagi saat pertanyaannya tentang obat suntik yang diberikan tidak mendapat jawaban yang jelas. Mungkin pertanyaan Prita yang bertubi-tubi membuat pihak RS Omni tidak berkenan. Maka, rusaklah hubungan saling percaya antara penyedia layanan dan yang dilayani. Masalah melebar menjadi pengungkapan kekesalan melalui e-mail dan perasaan tersinggung dari pihak RS Omni yang merasa dicemarkan nama baiknya.
Persoalan yang bermula dari pertanyaan sederhana dari seorang pasien yang ingin tahu dan merasa meminta haknya berkembang menjadi masalah yang ruwet karena pihak RS Omni membalas e-mail Prita dengan iklan besar-besar di koran.
Kesan orang awam, dan mereka yang tidak tahu masalahnya karena tidak membaca e-mail, telah terjadi unjuk kekuatan yang tentu saja tidak imbang. Hal itu diperburuk dengan ditahannya Prita di penjara Tangerang. Seandainya saja saat itu RS Omni bertindak simpatik dan meminta agar Prita jangan ditahan karena mempunyai anak yang masih kecil, keadaan mungkin justru akan berbalik.
Pelajaran
Yang telah terjadi di Tangerang itu membuktikan bahwa pada umumnya penyedia layanan medis di negeri ini belum berorientasi pada kepentingan atau kepuasan pasien. Orientasi pada mutu layanan juga belum menjadi acuan.
Kalau menurut Charles B Inlander dalam buku Medicine on Trial, masih banyak medical ineptitude and arrogance yang membayangi penyedia layanan medis. Perbaikan pertama-tama harus datang dari pihak kalangan kedokteran sendiri, kemudian asosiasi rumah sakit, dan pemerintah.
____________________________
Profesi Dokter Masihkah Sakral?
oleh Ario Djatmiko
Ketua Litbang Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jatim
http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=15651
Pertanyaan ini seharusnya menjadi pertanyaan untuk semua profesi di negeri ini. Saat ini, kita sedang menunggu ratifikasi piagam ASEAN. Bangsa ini sedang menaruh batu pijakan sejarah.
Pertanyaannya, apakah makna pasar tunggal ASEAN bagi profesi dokter di negeri ini? Seorang teman dokter yang ahli dalam perumahsakitan bercerita. Saat menerangkan business plan di RS, seorang dokter senior mengemukakan keberatan.
Menurut dia, istilah business plan untuk pekerjaan dokter terdengar kurang tepat. Pekerjaan dokter itu pekerjaan mulia. Jangan pernah disamakan dengan bisnis. Ganti saja dengan sebutan action plan atau apalah, asal jangan menggunakan kata bisnis. Nggak pantes, semua mengamini!
Benarkah pekerjaan dokter itu sakral? Anggapan umum, sakralitas selalu bertolak belakang dengan uang. Lha, pekerjaan mulia kok narik ongkos, terkadang mahal. Lantas, di mana letak sakralnya? Hal lain, apakah karena disebut karya mulia, lantas pekerjaan dokter tak boleh tersentuh oleh ukuran lazim suatu profesi?
Prof Laksono melihat sebuah paradoks. Tempat terpencil yang membutuhkan uluran hati, ternyata, sepi dokter. Sebaliknya, dokter (baca: dokter spesialis) justru bertumpuk di kota besar, yang perputaran ekonominya tinggi. Jadi, lebih cocok dikatakan bahwa distribusi dokter lebih mengikuti hukum ekonomi ketimbang rasa perikemanusiaan.
Anda pernah mendengar dokter berpenghasilan Rp 1 miliar per bulan? Tampaknya, banyak dokter yang tangkas berbicara soal uang. Tetapi ironis, ada dokter yang berpenghasilan Rp 1 juta sebulan. Di sini, pasar berbicara. Tetapi bagaimanapun, masyarakat memerlukan kejelasan bagaimana seharusnya berurusan dengan dokter.
Masa Transisi
Ada baiknya kita bertanya, bagaimana profesi dokter dulu, kini, dan kelak di masa datang? Perkembangan teknologi membawa perubahan peradaban. Shortell membagi perjalanan dokter menjadi tiga tahap.
Tahap petama, era sebelum 1980. Shortell menyebut era Solo. Dokter praktik atas nama pribadi. Peran dokter amat dominan, hubungan dokter-pasien paternalistik. Di sini, dokter langsung berperan sebagai deal & price maker. Dokter merasa pasien itu adalah "miliknya".
Akibatnya, kontrol perilaku dokter mustahil. Ungkapan power tends to corrupt, absolute power, corrupt absolutely pun terjadi. Lihat, kisah buruk pelayanan medik menghiasi media negeri ini.
Hubungan dokter tamu dan RS swasta sebatas interlock interest. Artinya, hubungan terjadi sejauh kepentingan (baca: finansial) masing-masing terpenuhi. Tanpa ada visi. No client, no business! Pasien "milik" dokter tamu, RS swasta hanya fasilitator. Nilai dokter tamu di mata RS swasta lebih karena kekuatan pasar ketimbang keahliannya. Seahli apa pun si dokter, tanpa mampu mendatangkan pasien, tidak ada harganya.
Tetapi di sisi lain, RS swasta dibuat tidak berdaya. Dokter "top" sering sewenang-wenang mendikte RS. Tapi, apa daya, RS swasta butuh pasien. Terjadi hubungan "benci tapi rindu". RS Swasta terjebak! Investasi mahal membuat ketergantungan RS swasta semakin besar. Produk medik tak terkontrol, ujung-ujungnya RS tidak kompetitif lagi. Sungguh bencana menanti di era hyper kompetisi nanti.
Tahap kedua, pada 1980-2000, Shortell menyebut era grup. Dokter dalam spesialisasi yang sama membentuk grup kerja. Awalnya, grup kerja itu bertujuan baik. Menjamin ketersediaan dan kualitas dokter. Tentu juga menjaga kualitas hidup si dokter sendiri. Terjadi depersonalization, pasien tidak lagi mencari nama dokter, tetapi keahlian.
Tetapi, timbul masalah baru. Lahirnya mafia! Terbentuknya grup mendorong praktik monopoli, satu bentuk kejahatan usaha. Grup mempunyai posisi tawar yang luar biasa. Dengan demikian, kualitas dan harga sepenuhnya ditentukan oleh grup. RS swasta semakin tidak berdaya dan produk semakin tak terkontrol. Ternyata, era grup tidak bertahan lama. Mempekerjakan dokter dengan loyalitas ganda sungguh akan menyulitkan RS swasta.
Tahap tiga, pada 2000-ke depan, disebut era korporasi. Pelayanan medik berubah secara fundamental. Produk medik merupakan hasil kerja sistem. Untuk menghasilkan produk medik yang sesuai dengan harapan pasien, semua komponen dalam sistem harus betul-betul terkontrol. Termasuk, performa dokternya tentunya. Terjadi depersonalization, dokter sepenuhnya membawa bendera RS.
Stephen Young mengingatkan, customers are always the heart of market capitalism. Tidak bisa lagi RS swasta membiarkan "denyut jantungnya" ditentukan oleh dokter tamu. Untuk mampu mengembangkan diri, mutlak RS (baca: RS swasta) harus mandiri. Di sini RS harus menjadi deal & price maker. RS-lah yang bertransaksi, menjamin produknya sesuai dengan harga yang dibayar pasien.
Untuk itu, tidak bisa dihindari, RS harus memiliki home dokter sendiri. Tentu RS swasta sepenuhnya mendukung home dokternya agar unggul bersaing. Lantas, bagaimana nasib dokter tamu? Seorang direktur RS swasta mengingatkan saya, tidak ada tempat lagi untuk "dokter asongan". Sungguh ungkapan tajam, tetapi dia jujur dan mungkin benar!
Memahami Korporasi
Curtis Schroeder benar, bisnis kesehatan adalah tambang emas. Ruang yang dulu tersedia untuk pekerjaan mulia kini diserbu pebisnis tangguh. Arena pertempuran bakal dahsyat. Para pebisnis yang tangkas bertarung ikut bermain. Pelayanan medik sudah menjadi milik industri. Produksi ditentukan oleh "perintah kompetisi".
Hanya RS yang mampu menghasilkan produk kompetitiflah yang akan survive. Produk unggul hanya dapat dihasilkan oleh dokter unggul, itu pasti. RS-lah yang berhak menyeleksi siapa dokter yang akan diterima kerja dan siapa tidak. Tentu dengan kriterianya sendiri. Peta berubah, terjadi arus balik. Saatnya dokter harus melamar kerja dan nasib sepenuhnya ditentukan oleh si pemberi kerja, RS swasta!
Pasar tunggal ASEAN berarti pergerakan modal, teknologi, barang, dan manusia unggul bebas hambatan. Pilihan RS swasta tidak berbatas lagi. Dengan dingin, pasar akan memilih dokter yang betul-betul unggul. Artinya, reputable doctors, mengikuti perkembangan teknologi mutahir, dan yang diterima pasar tentunya.
Masihkah kita bisa mengatakan profesi dokter itu sakral? Tampaknya, terjadi ketinggalan cara pandang. Pemahaman dokter terhenti di era solo, banyak dokter yang masih berpikir sebagai penguasa pasar.
Teringat pesan Galileo: measure what can be measured, make measurable what can not be measured. Saatnya, kita harus menerima, dokter hanyalah profesi biasa yang setiap saat siap diukur. Dapatkah pendidikan dokter di negeri ini membawa anak didiknya bersaing di pasar yang kejam nanti? Pertanyaan itu harus dijawab!
_____________________________
"Kesan pertama begitu menggoda".
Mungkin Anda sudah familier dengan tagline yang dipopulerkan sebuah iklan parfum tersebut. Hal ini juga berlaku untuk para dokter. Berdasarkan penelitian, para ahli menyarankan para dokter untuk membuat kesan pertama yang baik bagi pasiennya. Sebab, tidak akan ada istilah "kesempatan kedua" untuk meninggalkan kesan yang menyenangkan. Survei mengungkapkan, hampir semua pasien menginginkan si dokter menyebut nama dan menjabat tangan mereka ketika pertama kali bertemu. Namun, kebanyakan dokter hanya menjabat tangan saja tanpa menyebut nama si pasien.
"Sapaan mungkin hanya bagian kecil dari prosesi konsultasi pasien dengan dokternya, namun efeknya bisa jangka panjang," kata kepala studi penelitian dari Northwestern University Feinberg School of Medicine, Gregory Makoul. Dia menegaskan, kesan pertama adalah fondasi untuk membangun hubungan selanjutnya antara dokter dan pasiennya. Tak hanya itu, sikap yang sopan juga dapat mencegah salah paham.
Dalam dunia medis, banyak kasus kesalahan yang terjadi akibat kurang tepatnya penanganan dan pendekatan dokter terhadap pasien. "Ini bukan hanya soal menyapa. Ada hubungan antara komunikasi yang baik dokter-pasien dengan tingkat kesembuhan penyakit si pasien," kata Dr Sheldon Horowitz dari American Board of Medical Specialties, Amerika.
Dalam penelitian yang dilakukan selama kurun waktu 2004-2005 silam tersebut, peneliti menyurvei 415 responden orang dewasa di Amerika, lalu ditanyakan tentang kesan dan pendapatnya tentang sapaan dokter. Peneliti juga mengamati video kunjungan dari 123 pasien terhadap 19 dokter di Chicago dan Burlington Vermont untuk melihat perilaku si dokter. Hasil studi yang dilaporkan dalam Archives of Internal Medicine itu menyebutkan bahwa sebanyak 78% responden menginginkan dokter menjabat tangannya, sedang 18% menganggapnya tidak perlu.
Dari pengamatan video diketahui jabat tangan antara dokter-pasien adalah sebanyak 83%. Namun, dalam separuh dari video kunjungan tersebut terlihat bahwa dokter tidak menyebut nama depan ataupun nama belakang si pasien. Sedangkan sebanyak 39% tidak saling menyebut nama, baik pasien maupun dokternya. (Rtr/inda).
____________________________________
Bila Dokter Jadi Detektif
Dokter harus rajin mengevaluasi kasus pasien.
http://www.korantempo.com/korantempo/2008/08/06/Gaya_Hidup/krn,20080806,52.id.html
Sekitar 50 dokter muda, pandangan mereka terpaku pada laptop di depan mereka. Mereka melingkar di satu meja dalam sebuah ruang pertemuan di Hotel Nikko, Bali, pertengahan bulan lalu. Kelompok spesialis anak tersebut terbagi menjadi beberapa kelompok untuk memecahkan persoalan yang ditawarkan para tutor dari Negeri Kincir Angin. Mereka tengah menjajal pelatihan agar bisa memberi pengobatan yang terbaik untuk pasien lewat evidence based medicine (EBM). Inilah istilah yang digunakan untuk pengambilan keputusan medis berdasarkan bukti ilmiah, keahlian klinis, dan nilai-nilai masyarakat. Metode ini mulai dikembangkan sejak 1990-an di Eropa.
Para dokter itu seperti para detektif yang tengah memecahkan sebuah kasus. Hanya, kali ini di hadapan para peserta pelatihan dari berbagai daerah itu adalah problem medis. Mereka mencoba menjalani lima langkah saat mengambil keputusan, dari memformulasikan masalah, menelusuri bukti ilmiah, mengkajinya, hingga menerapkan dan mengevaluasinya.
Dalam pembukaan pelatihan selama tiga hari yang digelar Nutricia Indonesia Fund itu, Prof Hugo S.A. Heymans, MD dari AMC Amsterdam menyebutkan, umumnya para dokter memberikan perawatan dan pengobatan sesuai dengan apa yang tertera di buku dan arahan dokter senior mereka. "Padahal ketika mereka lulus, isi text book itu tidak lagi relevan dengan kondisi saat itu karena buku tersebut dibuat jauh sebelumnya," katanya. Inilah saatnya membuang bahkan membakar text book dan mulailah mencari bukti ilmiah sebelum melakukan pengobatan.
Heyman mengakui tak mudah, memang, beralih ke cara baru setelah para dokter anak ini terbiasa dengan metode yang sama selama bertahun-tahun. Ada sederet tantangan, seperti perlu usaha besar dan waktu yang tidak sebentar. Diakui Sudigdo Sastroasmoro, MD, PhD dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, memang sulit mengubah pola pikir seseorang setelah ia mencoba menyebarkan sebuah paradigma selama bertahun-tahun di negeri ini.
Saat praktek, dokter umumnya lebih banyak mengacu pada intuisi dan pendapat para senior. Dengan mengacu pada EBM, menurut Sudigdo, dokter tak lagi bisa bergantung pada kedua hal tersebut. Mereka harus lebih mencermati jurnal-jurnal hasil penelitian yang terus bertambah. "Jadi prakteknya lebih ilmiah," kata ahli kardiologi anak ini. Namun, karena hasil penelitian di Internet berlimpah, ia mengingatkan untuk mencari yang valid, penting, dan bisa dipraktekkan.
Menurut Sudigdo, ada sejumlah keuntungan dengan EBM, di antaranya menangani pasien menjadi lebih spesifik. Tapi dokter harus rajin melakukan evaluasi terhadap kasus pasien sehingga, bila menemukan kasus serupa, ia bisa memberikan pengobatan yang lebih tepat. "Di sini dokter seperti detektif," tuturnya. Namun, inilah jalan untuk menjadi dokter yang terbaik.
Saat mengambil keputusan untuk pengobatan yang paling tepat, Heymans menambahkan, perlu dipertimbangkan beberapa hal--ya, bak penyelidik sejati--di antaranya memprediksi risikonya, kemudian nilai tambahnya, risetnya harus valid, dan secara klinis memang relevan dengan kasus yang ditangani.
Sudigdo mengakui penelitian itu mahal dan suatu hal yang sulit. Namun, tidak perlu bergantung pada hasil penelitian dalam negeri. Bisa mengacu pada sejumlah jurnal dari luar negeri dengan mengacu pada konsep dasar mencari bukti ilmiah, yakni patient/problem, intervention, comparison, outcome. Penelitian yang menjadi acuan pengobatan haruslah yang benar-benar terkait dengan problem yang ditangani, dicermati jenis obatnya apa. Kemudian bandingkan dengan pengobatan lain atau plasebo, baru dilihat hasilnya. Untuk tahap awal, EBM bisa diterapkan saat menangani penyakit dalam serta gangguan pada paru dan saraf.
Profesor dr J.B. (Hans) vam Goudoever, ahli medis anak dari Rumah Sakit Anak Sophia, Rotterdam, menyebutkan informasi di Internet benar-benar berlimpah. "Di (situs) biomedis, misalnya, terhadap hasil temuan sebanyak 5.000 per hari. Sedangkan (di situs) Medline sebanyak 1.800 per hari. Jadi ketersediaan informasi hasil riset cukup tinggi," ujarnya. Dengan kata lain, tak ada alasan untuk tidak melirik gaya detektif. RITA
Lima Langkah
1. Memformulasi pertanyaan dari masalah medis yang dihadapi.
2. Menelusuri bukti-bukti terbaik untuk mengatasi problem tersebut.
3. Mengkaji bukti, validitas, dan kesesuaiannya dengan kondisi yang ada.
4. Menerapkan hasil kajian.
5. Mengevaluasi penerapannya.
Tiga Paduan
1. Bukti ilmiah terbaik. Artinya bukti ilmiah harus berasal dari studi yang dilakukan dengan metodologi tepercaya dan dilakukan dengan benar. Menggunakan variabel-variabel penelitian yang dapat diukur dan dinilai secara obyektif dan menghindari bias dari peneliti.
2. Ada keahlian klinis. Untuk menjabarkan EBM diperlukan kemampuan klinis memadai, termasuk mengidentifikasi kondisi pasien, mendiagnosis secara tepat dan cepat.
3. Nilai-nilai masyarakat. Setiap pasien, apa pun suku dan agamanya, mempunyai nilai-nilai unik tentang status kesehatan dan penyakitnya. Tentunya ia memiliki harapan atas perawatan dan pengobatannya.
___________________________________
Menurut Majalah BIDI no. 23, tanggal 10 Desember 1995, dokter-dokter di Indonesia (khususnya di Jakarta) terbagi atas 5 kelompok besar :
Kelompok Pertama
Kelompok pertama ini adalah kelompok yang disebut kelompok papan bawah, yang terdiri dari dokter yang baru lulus (dari dalam atau luar negeri), dokter lokal (dokter tanpa surat ijin praktek atau mereka yang berstatus honorer di rs-rs/klinik swasta), dokter umum jaga pengganti (biasanya menggantikan praktek dokter umum lainnya), dan dokter umum jaga malam (baik di Instansi Gawat Darurat RS besar maupun di shift malam Klinik 24 jam). Sesungguhnya dalam kelompok ini termasuk mereka yang belum bekerja atau baru mencari-cari pekerjaan. Bila sudah kerjapun belum ada gaji tetap. Imbalan yang diperolehnya masih relatif rendah, dengan penentuan imbalan ditentukan oleh orang lain.
Kelompok Kedua
Anggota kelompok kedua ini adalah dokter Puskesmas, dokter dosen yunior FK bidang preklinik, dokter yunior poliklinik departemen atau instansi pemerintah, dokter umum baru praktek swasta, dokter baru di Depkes, Kanwil atau Kadinkes, dokter PTT dan baru saja pasca-PTT, dokter yang bekerja sebagai peneliti, dokter baru di perusahaan farmasi (medical advisor). Mereka hanya "sedikit" berada di atas dari kelompok I karena mereka relatif sudah berpenghasilan tetap (dari gaji yang mereka peroleh). Mereka masih bersandar pada gaji.
Kelompok Ketiga
Anggota kelompok ketiga ini adalah dokter umum praktek swasta menengah (antara 5 - 110 tahun), dokter spesialis baru, dokter spesialis pasca Wajib Kerja Sarjana (WKS) II, dosen yunior FK bidang klinik (klinikus yunior), dokter kepala atau senior di klinik departemen, dokter pemilik klinik swasta, pemilik klinik 24 jam, dokter strata menengah di Depkes dan jajarannya, dokter wiraswasta baru bidang non medik, dan dokter senior di perusahaan farmasi. Mereka sudah mulai mantap posisi ekonominya dengan ciri-ciri sudah memiliki rumah sendiri dan sudah mulai berlangganan dengan bank-bank pemberi kredit investasi.
Kelompok Keempat
Yang termasuk kelompok ini adalah : dokter umum senior praktek swasta perorangan (biasanya sudah berpraktek 15 - 25 tahun), dokter umum praktek swasta yang cukup laris, dokter spesialis menengah (5-10 tahun praktek spesialis), dokter pejabat tinggi departemen pemerintah dan jajarannya, para direktur RS pemerintah atau swasta, dosen senior FK (bukan spesialis atau bila spesialis adalah kelompok yang "tidak basah"), dokter konsultan yang berakses sedang sampai menengah ke atas, dokter pemilik RS Swasta kecil, dan dokter direktur badan usaha pemerintah atau sejenisnya. Mereka ini sudah menjadi kelompok penentu dalam ruang lingkupnya masing-masing yang memiliki dampak sosial yang luas.
Kelompok Kelima
Mereka adalah para dokter spesialis senior/laris dari bidang ilmu yang "basah", pemilik RS Swasta sedang sampai besar, dokter konsultan atau pimpinan proyek yang berakses tinggi (termasuk badan-badan kesehatan dunia), serta dokter pengusaha bahkan dokter "konglomerat". Mereka selain memiliki otoritas dalam bidangnya, juga memiliki akses yang banyak dalam hampir semua bidang di luar medik. Mereka termasuk ke kelompok puncak penentu kebijakan dan paling besar pengaruhnya di masyrakat luas.
Masih menurut majalah BIDI, prosentasenya amat sulit untuk ditentukan secara pasti namun bisa diperkirakan bahwa jumlah kelompok I, II, dan III mencakup 70 - 85 % populasi dokter di DKI. Kelompok IV sekitar 10 - 15 %, dan kelompok V sekitar 2 - 5 %.
________________________________________
Monday, June 8, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Komentar Anda mengenai artikel ini :