Tuesday, June 9, 2009

Selingkuh Dokter dan Industri Farmasi

Selingkuh Dokter dan Industri Farmasi

Karena penasaran dengan isu ini, dengan terpaksa waktu kerja dikorbankan sebentar unutuk googling. Search key-nya sederhana : “fee perusahaan farmasi ke dokter”. Hasilnya lumayan, dan dua artikel saya copas di bawah ini, karena sudah mewakili topic ini.

Ternyata, perselingkuhan ini sudah lama terjadi di Indonesia. ‘Legalisasi’ pemberian fee/tip/fasilitas dari perusahaan/industri farmasi ke dokter, kalau di profesi lain sama dengan suap/korupsi dari vendor /kontraktor ke project owner/panitia lelang.

Secara awam, untuk memutus rantai ini, minimal untuk meng-ilegalkan praktek ini, IDI cukup menambahkan kode etik berikut :
“Dokter dilarang untuk menerima pemberian dari Industri Farmasi dan/atau jaringan distribusinya dalam bentuk apapun (fee, tip, tiket, fasilitas, dll)”
Hal semacam ini juga sudah dilakukan oleh profesi lain (meskipun korupsi tetap jalan terus, tetapi minimal kita tahu dan sadar sepenuhnya bahwa hal tersebut ilegal alias harom).

Apakah hal semacam ini juga terjadi di negera-negara lain? Ternyata setali tiga uang. Berikut abstract dari salah satu hasil study yang di publish :
_______________________________

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10647801

JAMA (the journal of the American Medical Association)
JAMA. 2000;283:373-380.
PMID: 10647801 [PubMed - indexed for MEDLINE

Physicians and the pharmaceutical industry: is a gift ever just a gift?

Ashley Wazana, MD
cxwz@musica.mcgill.ca
McGill University, Montreal, Quebec, Canada.

CONTEXT: Controversy exists over the fact that physicians have regular contact with the pharmaceutical industry and its sales representatives, who spend a large sum of money each year promoting to them by way of gifts, free meals, travel subsidies, sponsored teachings, and symposia.

OBJECTIVE: To identify the extent of and attitudes toward the relationship between physicians and the pharmaceutical industry and its representatives and its impact on the knowledge, attitudes, and behavior of physicians.

DATA SOURCES: A MEDLINE search was conducted for English-language articles published from 1994 to present, with review of reference lists from retrieved articles; in addition, an Internet database was searched and 5 key informants were interviewed.

STUDY SELECTION: A total of 538 studies that provided data on any of the study questions were targeted for retrieval, 29 of which were included in the analysis.

DATA EXTRACTION: Data were extracted by 1 author. Articles using an analytic design were considered to be of higher methodological quality.

DATA SYNTHESIS: Physician interactions with pharmaceutical representatives were generally endorsed, began in medical school, and continued at a rate of about 4 times per month. Meetings with pharmaceutical representatives were associated with requests by physicians for adding the drugs to the hospital formulary and changes in prescribing practice. Drug company-sponsored continuing medical education (CME) preferentially highlighted the sponsor's drug(s) compared with other CME programs. Attending sponsored CME events and accepting funding for travel or lodging for educational symposia were associated with increased prescription rates of the sponsor's medication. Attending presentations given by pharmaceutical representative speakers was also associated with nonrational prescribing.

CONCLUSION: The present extent of physician-industry interactions appears to affect prescribing and professional behavior and should be further addressed at the level of policy and education.
_______________________________

Hubungan Industri Farmasi dan Dokter
Oleh Dr. Samsuridjal Djauzi
http://samsuridjal.wordpress.com/2007/01/25/hubungan-industri-farmasi-dan-dokter/

Di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia saya memberikan kuliah Hubungan Dokter-Pasien. Mahasiswa kedokteran perlu mempunyai ketrampilan berkomunikasi dan mempunyai empati untuk membina hubungan dokter-pasien yang baik. Hubungan dokter pasien diperlukan untuk mencapai hasil pengobatan yang diinginkan.

Dalam mata ajaran dibahas mengenai cara meningkatkan ketrampilan berkomunikasi serta menumbuhkan empati. Jika dokter mampunyai ketrampilan komunikasi yang baik serta mempunyai empati maka ketrampilan tersebut akan merupakan modal utama dalam mengamalkan etik kedokteran.

Hubungan dokter-pasien dewasa ini merupakan topik yang semakin sering dibahas. Apalagi dengan semakin meningkatnya ketidakpuasan pasien dan keluarga terhadap layanan dokter di Indonesia maka pentingnya hubungan dokter-pasien yang baik semakin dirasakan.

Bagaimana pula dengan hubungan industri farmasi dan dokter ? Kita dapat memandang hubungan ini dari berbagai segi. Media massa sering memberitakannya sebagai hubungan yang kurang sehat dan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan harga obat di Indonesia semakin tak terjangkau. Industri farmasi melalui perusahaan yang memasarkan obatnya dituduh dengan berbagai cara membujuk dokter untuk meresepkan produknya. Sedangkan dokter diduga telah mengambil keuntungan dari peresepan obat tersebut. Opini publik mengenai hubungan seperti itu cukup kuat seolah memang sebagaian besar dokter melakukannya. Upaya profesi kedokteran dan farmasi untuk menegakkan etik dalam peran masing-masing sebenarnya cukup nyata. Ikatan Dokter Indonesia berkali-kali mengingatkan anggotanya agar berpihak pada masyarakat lemah dan tidak tergoda bujuk rayu perusahaan farmasi. Di lain pihak profesi kepfarmasian serta perhimunan industri farmasi juga telah menyusun etik pemasaran yang pada dasarnya mencegah pemasaran obat dengan cara hubungan tak sehat dengan dokter. Pada panduan pemasaran tersebut jelas disebutkan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam pemasaran obat yang berkaitan dengan hubungan industri farmasi dengan dokter. Pemberian hadiah apalagi uang dilarang. Perusahaan farmasi dapat mendukung program pengembangan profesi dokter namun dukungan tersebut tidak dilakukan untuk perorangan tapi untuk pengembangan profesi atau institusi. Jika profesi kedokteran dan kefarmasian sudah mempunyai rambu-rambu dalam hubungan industri farmasi dan dokter kenapa masih ada kecurigaan masyarakat ?Masyarakat merasakan beban harga obat yang semakin tinggi. Meski mereka memahami biaya untuk penemuan obat baru amat mahal namun mereka juga merasakan bahwa banyak obat sekarang ini yang harganya sudah lebih tinggi daripada emas. Obat yang sudah habis masa patennya di Indonesia tak kunjung turun harganya. Padahal di negeri lain obat tersebut harganya diturunkan secara nyata. Beban yang dipikul masyarakat semakin terasa berat karena sebagian besar anggota masyarakat harus membayar harga tersebut dengan uang dari kantong mereka sendiri. Jumlah peserta asuransi kesehatan di negeri kita belumlah seperti yang diharapkan.Mungkinkan hubungan industri farmasi-dokter dikembangkan untuk kepentingan yang lebih luas yaitu masyarakat. Industri farmasi memproduksi obat yang bermutu serta biaya pemasarannya tidak tinggi. Dokter menggunakan obat secara rasional dan tidak terpengaruh oleh bujukan perusahaan farmasi. Persaingan yang sehat di kalangan industri farmasi akan memperkuat industri farmasi. Sedangkan penggunaan obat secara rasional sesuai dengan prinsip profesi keberpihakkan kepada masyarakat luas (altruisme). Maukah industri farmasi di Indonesia meningkatkan kemampuannya sehingga lebih mampu bersaing ? Maukah kalangan kedokteran menghapus berbagai previlege yang mungkin ada selama ini sebagai efek samping persaingan pemasaran obat yang tidak sehat ? Nampaknya jawabannya hanya satu yaitu : harus mau. Kalau tidak kepercayaan masyarakat kepada industri farmasi dan profesi kedokteran di negeri kita akan semakin pudar.
_______________________________

Mengakhiri Kolusi Dokter dan Perusahaan Farmasi
Oleh: Muhammad Ichsan, SH.
Advokat di Jakarta. Ketua Lembaga Advokasi dan Bantuan Hukum Konsumen Indonesia (LABHKI), dan Sekjen Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (APHI)

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=18808&cl=Kolom
[20/3/08]

Apakah kolusi dokter dan perusahaan farmasi itu riil? Apa bentuknya? Apa akibtanya? Siapa yang dirugikan? Apa sanksinya? Inilah antara lain pertanyaan yang banyak disampaikan konsumen.

Ketika Anda berobat ke dokter, pasti harapannya adalah kesembuhan. Anda tidak tahu apa penyakit Anda, sebagaimana Anda juga tidak tahu pilihan obat yang tepat untuk kesembuhan Anda. Sehingga Anda datang berobat ke dokter, karena dokterlah yang bisa mendiagnosis penyakit dan memilih obatnya. Dalam hubungan itu Anda menyerahkan sepenuhnya pilihan obat untuk kesembuhan Anda kepada dokter, yang kemudian menuliskan ‘resep’.

Namun tanpa disadari, begitu Anda datang berobat ke dokter, ada kepentingan lain di luar hubungan Anda dan dokter. Perusahaan-perusahaan farmasi berharap bagaimana agar dokter yang memeriksa Anda meresepkan obat-obatan produksi mereka. Obat yang diresepkan sang dokter kemudian Anda tebus ke apotik. Dan sesaat kemudian Anda terkejut. Ternyata obat yang sangat diperlukan untuk kesembuhan Anda sangatlah mahal, malah bisa di luar perkiraan semula.

Dalam keadaan demikian hanya dua pilihan: pembelian obat ditunda atau Anda menebus separohnya. Anda tidak akan tahu mengapa obat yang dibutuhkan itu mahal, sepertihalnya Anda tidak tahu mengapa dokter meresepkan obat yang mahal. Dan kita juga tidak akan pernah tahu apakah jenis dan kualitas obat mahal yang diresepkan dokter berguna atau tidaknya bagi kesembuhan anda.

Obat resep dokter … ya mahal. Kenapa? Karena obat berasal dari perusahaan farmasi yang punya kepentingan finansial terhadap resep yang ditulis dokter. Dengan kata lain, sakitnya pasien dan penulisan resep dokter menjadi substansi hubungan kolusi dan marketing bisnis perusahaan farmasi. Apakah Anda tahu itu? Mungkin menduga-duga. Tetapi perusahaan farmasi sejatinya tidak menginginkan Anda tahu hubungan mutualisma mereka. Anda sakit, ingin sembuh, lalu berobat ke dokter, terus dokter memberi resep obat, Anda tebus ke apotik dan harganya mahal. Kalau ingin sembuh, bagaimanapun Anda harus membelinya. Take it or leave it.

Begitulah fenomena di tengah masyarakat yang seolah dijustifikasi. Mahalnya harga obat dianggap sesuatu yang lumrah dan wajar, tanpa berusaha menggali akar permasalahan dan mencari solusinya. Naifnya lagi, pemikiran ini juga ada pada mereka-mereka yang menerima amanah rakyat untuk mengurus masalah kesehatan di negeri ini. Adanya kolusi dokter dan perusahaan farmasi menjadi penyebab mahalnya harga obat dinegeri ini. Badan Penelitian dan Pengembangan (Balibang) - Departemen Kesehatan RI dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) mensinyalir mahalnya harga obat di Indonesia 200 kali lipat dari harga obat di pasaran dunia (Liputan 6 SCTV, 23 Juli 2007).

Keadaan ini diakui Prof. Agus Purwadianto, Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) yang sekarang Kepala Biro Hukum dan Organisasi – Departemen Kesehatan. Menurut dia, kolusi dokter - perusahaan farmasi sudah melanggar kode etik dan disiplin kedokteran. Sebab, dokter memberikan resep bukan berdasarkan penyakit pasien, melainkan gejala penyakit yang telah diperkirakan dokter sebelumnya. Obat yang diresepkan berdasarkan kontrak perusahaan farmasi dengan dokter.

Dampak dari praktek ‘dokter kontrak’ ini menyebabkan harga obat tinggi. Perusahaan farmasi membebankan biaya insentif dokter sebesar 20 % (dua puluh persen) itu dari harga obat’. Selanjutnya ditegaskan : ‘Praktek kolusi ini dilakukan oleh seluruh dokter di Indonesia. Sebagian besar dokter tersebut bekerja sama dengan perusahaan obat lokal yang tergabung dalam Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi’. Namun, Ketua GP Farmasi Anthony Charles Sunarjo menyatakan tidak pernah ada laporan soal kolusi antara dokter dan farmasi, sehingga sulit bagi asosiasi ataupun Mejelis Etik Usaha Farmasi Indonesia untuk memberikan sanksi ….. ‘Saya tidak bilang tidak ada, tetapi memang tidak ada buktinya’ (Koran Tempo, 16 Agustus 2007).

Hal ini dibenarkan Kartono Mohammad, mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Perselingkuhan produsen obat dengan dokter memang sulit dibuktikan. Namun bukan tidak bisa diraba, misalnya dari jumlah dan jenis obat yang diresepkan seorang dokter. Bukan hal yang aneh dalam satu resep terdapat sampai lima jenis obat, padahal yang dibutuhkan pasien sebenarnya cuma tiga jenis obat. Ada obat yang tidak perlu diberikan, tapi tetap ditulis dalam resep. Begitu juga jika semua obat yang diresepkan berasal dari produsen yang sama (Liputan 6 SCTV, 23 Juli 2007).

Dengan demikian, sinyalemen kolusi dokter dengan perusahaan farmasi bagaikan angin, terasa ada tapi tidak bisa ditangkap.

Mata rantai kolusi

Dari hasil pengamatan, niat, kemauan atau gagasan untuk berkolusi bukan hanya datang dari perusahaan farmasi. Adakalanya atas permintaan dokter. Perusahaan farmasi memproduksi obat bermerek (paten) untuk dijual. Sedang dokter punya kewenangan menentukan obat. Dengan cara itu perusahaan farmasi berkepentingan obatnya laku terjual. Uniknya, pemasaran obat oleh perusahaan farmasi dilakukan dengan sistem ‘detailing’: perusahaan farmasi melalui jaringan distributor melakukan pendekatan tatap muka dengan dokter yang berpraktek di rumah sakit atau praktek pribadi. Kegiatan detailing ini mempunyai berbagai nuansa, termasuk adanya komunikasi untuk mendapatkan situasi yang saling menguntungkan antara dokter dan perusahaan farmasi. Dan dalam komunikasi inilah terbuka kemungkinan terjadinya kolusi dokter dengan perusahaan farmasi.

Sebaliknya, dokter punya kepentingan terhadap komisi dari perusahaan farmasi. Dari sinilah lahir permufakatan kedua belah pihak, yang disebut kolusi atau conpiracy of silent. Yang berperan aktif menggalang permufakatan ini adalah para detailer atau Marketing Representatif/MR. Mereka secara berkala selalu melakukan kunjungan ke dokter-dokter. Jumlah tempat praktek, terutama jumlah konsumen berobat menjadi ukuran untuk menentukan bentuk, arah permufakatan dan besaran kompensasi. Walau tidak semua dokter melakukan kolusi dengan perusahaan farmasi, kompensasi kolusi itu tetap menggiurkan. Misalnya pemberian uang/barang, mensponsori seminar dan fasilitas akomodasi serta acara family gathering sampai ke pembayaran angsuran leasing mobil.

Perusahaan farmasi menghitungnya sebagai ‘biaya promosi’ yang dimasukkan ke dalam ‘biaya produksi’. Sehingga biaya produksi menjadi tinggi dan harga obat menjadi mahal. Mahalnya harga obat sepenuhnya menjadi tanggungan konsumen. Prof. Agus Purwadianto menyebutkan 20 % dari harga jual obat yang dialokasikan perusahaan farmasi untuk biaya promosi. Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) dokter Marius Widjajarta memperkirakan angka Rp500 miliar per tahun dikeluarkan perusahaan farmasi untuk biaya promosi. Namun perlu diyakini, jumlah uang beredar di kalangan dokter secara keseluruhan lebih dari 20 % dan lebih dari Rp. 500 miliar.

Ketua Ikatan Sarjana Farmasi (ISFI) Haryanto Dhanutirto memprediksi perusahaan farmasi memberikan diskon kepada dokter sampai 40 % dan kepada apotik 5% - 10%. Sedangkan Syofarman Tarmizi, Direktur Pemasaran Kimia Farma memperkirakan jumlah dana yang masuk ke dokter-dokter sekitar Rp10,5 triliun dari jumlah Rp20,3 triliun total market obat di Indonesia (Media Indonesia Online, 04 Juni 2007).

Dari uraian di atas semakin jelas bahwa kolusi menyebabkan harga obat merek/paten yang selama ini dikonsumsi konsumen Indonesia menjadi sangat mahal melebihi harga obat di luar negeri.

Aspek hukum perbuatan kolusi

Walau kolusi dokter - perusahaan farmasi sulit dibuktikan, pada tahun 2002 Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengantisipasinya melalui perangkat Surat Keputusan (SK) Kepala BPOM No. HK.00.05.3.02706 tentang Promosi Obat. Pasal 9 SK ini memuat sejumlah larangan bagi Industri Farmasi dan/atau Pedagang Besar Farmasi.

Mereka dilarang (a) melakukan kerja sama dengan apotik dan penulis resep; (b) kerja sama dalam pengresepan obat dengan apotik dan/atau penulis resep dalam suatu program khusus untuk meningkatkan penjualan obat tertentu; (c) memberikan bonus/hadiah berupa uang (tunai, bank draft, pinjaman, voucher, tiket) dan/atau barang kepada penulis resep yang meresepkan obat produksinya dan/atau yang didistribusikan. Sedangkan pengawasan terhadap kegiatan promosi obat oleh perusahaan farmasi dilakukan sepenuhnya BPOM dengan membentuk komisi independen.

Mereka yang melanggar larangan tadi bisa dikenakan sanksi mulai dari peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan, hingga pencabutan izin edar obat bersangkutan.

Mengacu pada sanksi pidana sebagaimana dimaksud SK BPOM tadi, pasal 62 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan : ‘Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 13 Ayat (2), pasal 15, pasal 17 Ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lima tahun atau pidana denda maksimal dua miliar.

Sayang, langkah mundur justru datang dari Departemen Kesehatan yang pada tanggal 11 Juni 2007 memfasilitasi kesepakatan bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan GP Farmasi membentuk ‘Etika Promosi Obat’. Padahal izin usaha perusahaan farmasi dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) SK Menkes RI No.1191/Menkes/SK/IX/2002 tentang Perusahaan Besar Farmasi. Demikian juga izin praktek dokter dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan berdasarkan pasal 37 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.

Seharusnya Depkes proaktif menghentikan kolusi dokter - perusahaan farmasi sekaligus melindungi rakyat dari kesulitan membeli obat. Caranya, antara lain menerapkan perangkat hukum dengan sanksi yang tegas dan pasti. Bukan sebaliknya menerbitkan etika/kode etik yang justru cukup dan terbatas hanya di lingkungan organisasi masing-masing, seperti Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) untuk kalangan dokter.

Ada beberapa poin ‘Etika Promosi Obat’ yang patut dikemukakan di sini. Pertama, seorang dokter dalam melakukan pekerjaan kedokterannya tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi. Kaitannya dengan promosi obat adalah dokter dilarang menjuruskan pasien untuk membeli obat tertentu karena dokter yang bersangkutan telah menerima komisi dari perusahaan farmasi tertentu. Kedua, dukungan apapun yang diberikan perusahaan farmasi kepada seorang dokter untuk menghadiri pertemuan ilmiah tidak boleh didikaitkan dengan kewajiban untuk mempromosikan atau meresepkan suatu produk. Ketiga, perusahaan farmasi boleh memberikan sponsor kepada seorang dokter secara individual dalam rangka pendidikan kedokteran berkelanjutan, yaitu hanya untuk biaya registrasi, akomodasi dan transportasi dari dan ke tempat acara pendidikan kedokteran berkelanjutan.

Keempat, perusahaan farmasi dilarang memberikan honorarium dan atau uang saku kepada seorang dokter untuk menghadiri pendidikan kedokteran berkelanjutan, kecuali dokter tersebut berkedudukan sebagai pembicara atau menjadi moderator. Kelima, dalam hal pemberian donasi kepada profesi kedokteran, perusahaan farmasi tidak boleh menawarkan hadiah/ penghargaan, insentif, donasi, finansial dalam bentuk lain sejenis, yang dikaitkan dengan penulisan resep atau anjuran penggunaan obat perusahaan tertentu. Keenam, pemberian donasi dan atau hadiah dari perusahaan farmasi hanya diperbolehkan untuk organisasi profesi kedokteran dan tidak diberikan kepada dokter secara individual. Terakhir, ketujuh, Ikatan Dokter Indonesia harus menyusun dan memverifikasi berbagai kegiatan resmi organisasi, khususnya yang berkaitan dengan sponsorship atau pendanaan dari anggota GP Farmasi Indonesia serta melakukan koordinasi dengan perusahaan farmasi untuk tindak lanjutnya.

Sebelum adanya Etika Promosi Obat, sejak tahun 1983 telah berlaku Kode Etik Kedokteran Indonesia. Pasal 3 KODEKI menetapkan bahwa dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi.

Apakah dengan KODEKI ini prilaku dokter berubah sejak tahun 1983, sementara pelayanan medis dokter semakin mengarah pada ‘profit oriented’, dibandingkan ‘service oriented’ atau ‘social oriented’?. Masalahnya, harga obat tetap tinggi dan kolusi diduga tetap berjalan.

Perusahaan farmasi maupun dokter akan selalu menyiasati dengan berbagai cara menghindar dari ketentuan KODEKI maupun Etika Promosi Obat yang notabene tidak memiliki kekuatan hukum apapun, baik sanksi maupun eksekutorialnya. Cara yang lazim dilakukan antara lain melampirkan brosur seminar/temu ilmiah pada lembar transfer bank dan mengalokasikan komisi dokter pada jumlah gaji staf marketing guna menghindari keterlibatan perusahaan secara lansung.

Kolusi sebagai tindak pidana korupsi
Wantan Wakil Ketua Komisi Pemberatasan Kosupsi (KPK) Syahruddin Rasul mengatakan, bahwa korupsi itu terjadi karena ‘power tidak disertai dengan akuntabilitas’ (‘Patofisiologi Korupsi Di Bidang Kesehatan’, Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, 01 Maret 2006). Makna akuntabilitas adalah pertanggung jawaban dari seseorang yang diberi amanah untuk melaksanakan tugas kepada pihak yang memberikan amanah. Dokter sebagai tenaga professional memiliki power dan kewenangan untuk memutuskan diagnosis apa yang dia yakini benar, kewenangan memberikan perawatan dan pengobatan atas diagnosis yang telah diputuskan.

Mengacu pada model yang dikemukakan Syahruddin Rasul, maka power dan kewenangan yang dimiliki dokter sebagai tenaga profesional harus akuntabel. Seandainya tidak akuntabel atau tidak bisa diaudit keputusan-keputusannya, maka peluang korupsi akan tercipta.

Dasar hukum untuk melakukan audit terhadap semua keputusan dokter berupa diagnosis dan tindak lanjutnya tertuang dalam Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan No. 434/Menkes/SK/X/ 1983 tentang Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Menurut regulasi ini, seorang dokter hanya memberikan keterangan atau pendapat yang dapat dibuktikan kebenarannya. Dengan demikian, dapat ‘dibuktikan’ merupakan kata kunci yang memberi peluang untuk dilaksanakannya audit terhadap semua keputusan yang ditetapkan dokter dalam menggunakan power dan kewenangannya itu.

Relevan dengan itu, UU Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi memuat ketentuan ‘gratifikasi’, yaitu pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa uang, ticket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya, dengan ancaman hukuman pidana seumur hidup, atau pidana paling singkat 4 tahun dan pidana denda antara Rp200 juta hingga Rp1 miliar.

Dengan demikian, kolusi dokter – perusahaan farmasi berpotensi untuk dibawa ke ranah korupsi. Konsumen yang merasa dirugikan ulah dokter dan perusahaan farmasi bisa melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Celakanya, hingga saat ini KODEKI dan Etika Promosi Obat belum bisa sepenuhnya mengubah prilaku dokter dan perusahaan farmasi.
____________________________

http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2006/01/24/AR2006012401483.html

Distance Sought Between Doctors and Drug Industry
By Ceci Connolly
Washington Post Staff Writer
Wednesday, January 25, 2006; Page A08

Declaring that the pervasive influence of drug industry money is distorting doctors' treatment decisions and scientific findings, a prestigious panel of medical experts called on their colleagues yesterday to adopt far-reaching new conflict-of-interest policies.

In an article in the Journal of the American Medical Association, the group said that voluntary efforts to limit corporate inducements have failed, resulting in the overprescribing of some medications and the withholding of negative discoveries about others. Highly publicized cases involving the anti-inflammatory drug Vioxx, antidepressants for children and spinal implants made by Medtronic -- all occurring while voluntary guidelines were in place -- highlight the need for stricter measures, they said.

"My mother told me never to accept gifts from strangers. If a stranger wants to give you a gift, it's very likely they want something in return," said Jordan J. Cohen, president of the Association of American Medical Colleges and a co-author of the new proposal. "We've become overly dependent on these kinds of blandishments to support our core activities, and that is jeopardizing public trust and scientific integrity."

The panel -- which includes Cohen, officials from several medical schools and members of the Institute on Medicine as a Profession -- urged the nation's 400 teaching hospitals to impose stringent measures, including a ban on accepting gifts, meals and drug samples and tight restrictions on outside income. A series of articles published today in the journal Academic Medicine reach similar conclusions, noting that strict, standardized policies are needed to ensure patients receive unbiased, evidence-based treatments.

Spokesmen for the pharmaceutical industry said the extra steps are unnecessary and could deprive physicians of valuable information.

From their first rounds as residents, doctors travel in a world increasingly dominated by drug company salespeople proffering meals, office supplies, entertainment and even cash to speak at conferences or sit on advisory boards.

Some physicians have been paid lucrative consulting retainers for no specific work; others are paid to put their names on articles ghostwritten by industry employees. One congressional inquiry cited in the report found that pharmaceutical executives steer research grants to doctors and schools that promote their firms' drugs.

"The problem has gotten worse and worse and worse," Cohen said. The relationships can prompt doctors to order unnecessary tests, prescribe more expensive medicines or advocate adding certain medications to a hospital's list of preferred drugs, he said.

Although most doctors say their relationships with drugmakers do not affect medical decisions, numerous studies suggest otherwise.

"There is solid evidence it isn't the size of the gift, it's the gifting itself that creates a sense of loyalty and indebtedness," said Sharon Levine, associate executive director of Kaiser Permanente's Northern California group practice. The 6,000-doctor practice and the Yale University School of Medicine are among the only institutions in the nation to implement policies similar to those outlined in JAMA.

"The industry is spending $13 billion per year on direct-to-physician promotion," she continued. "That wouldn't be happening if it weren't resulting in changing patterns of utilization. It doesn't necessarily mean patients are getting bad care, but it does mean their influence is out there."

Judging from the "grumbling" he has heard from physicians, Scott Lassman, assistant general counsel at the Pharmaceutical Research and Manufacturers of America, the industry's lobbying group, said voluntary guidelines issued by industry, government and the profession in recent years seem to be working. Modest gifts such as lunch or pens may persuade a doctor "to listen to the presentation of information, not necessarily to prescribe that product." And having those discussions over a "working meal" is merely a timesaver for busy doctors, he said.

But the JAMA authors said it is a costly mistake to confuse marketing with scientific data.

"Drug companies spend $13,000 per physician annually," said co-author David J. Rothman, a professor of social medicine at Columbia University Medical Center. "Those marketing tactics are very, very effective at getting physicians to do what each drug company wants -- to prescribe their product."

The team conducted focus groups with doctors who "came right out and said if one drug rep is nicer than another, I'm going to prescribe that person's drug, all else being equal," said co-author David Blumenthal, director of the Institute for Health Policy at Massachusetts General Hospital. In a second article, Blumenthal found that conflicts of interest have contributed to growing secrecy in research, with some scientists intentionally omitting negative findings about a drug or device.

Rather than severing all ties to the pharmaceutical industry, the panel suggested creating financial firewalls. Instead of paying a physician directly for continuing medical education, it would be more appropriate for drug companies to contribute to a central account that supported educational programs, they wrote. In addition, payments for outside work such as speeches or consulting should be explicitly defined and posted on the Internet.

Finally, the group urged the nation's 125 medical schools and affiliated hospitals to refuse drug samples and instead create a voucher system or central distribution bank for poor patients.

"The availability of free samples is a powerful inducement for physicians and patients to rely on medications that are expensive but not more effective," the JAMA article said. In most cases, once patients begin the expensive drug regimen, they are inclined to stick with it.

Some industry experts said the recommendations underestimated the ability of physicians and patients to think on their own.

"I subscribe to the crazy view that more information is better," said Daniel Troy, former chief counsel of the Food and Drug Administration. "This very sweeping proposed ban would really choke off an important flow of information to physicians."

A drug sample handed out in a doctor's office is a good way to begin treatment immediately, he said, rather than waiting to have a prescription filled.

Cohen predicted the industry and many medical institutions would blanch at the recommendations. But both could stand to improve their reputations, he said. He added: "We need a strong, ethical, effective partnership with industry."

2 comments:

Unknown said...

Sebagai dokter, saya tidak menampik adanya kolusi antara kolega saya dengan para pedagang farmasi. Tapi saya harus mengatakan bahwa kadang-kadang hal itu terjadi karena "dipaksa" pasien sendiri.

Beberapa pasien, meskipun miskin, kadang-kadang mereka tidak mau obat yang murah. Bagi mereka, makin mahal obat itu, makin baik buat mereka. Inilah paradigma yang berkembang bahwa "obat yang bagus haruslah mahal".

Lalu, pasien kadang-kadang bangga jika pulang dari apotek membawa obat yang banyak sampai 5 macam. Ini untuk membenarkan sugesti dirinya sendiri bahwa penyakit yang dideritanya itu "berat", sampai dia harus meminum obat sebanyak itu.

Jika sugestinya bertentangan dengan solusi resep yang diberikan dokter kepadanya, dia akan mengecap pelayanan dokter tidak memuaskan. Dokter tentu memikirkan kemungkinan ini, jadi dokter memilih menulis obat banyak-banyak untuk cari aman.

Maka tidak ada solusi lain bagi pasien selain bersikap kritis demi dirinya sendiri. Kalau terima resep dari dokter, tanyakan ini fungsi obat masing-masing untuk apa. Harus diminum tiap hari atau insidentil saja. Sampai kapan dia harus terus berobat. Dan kalau ternyata obatnya kemahalan, ya pasien harus berani kembali ke dokter untuk minta solusi yang lebih hemat biaya. Dengan begitu, pasien tidak perlu berprasangka buruk karena merasa menjadi korban kolusi dokter dan farmasi.

harisman said...

Saya sangat sepakat akan semua hal yang dokter uraikan. Tidak ada keraguan bahwa rasionalitas pengobatan tidak bisa hanya sepihak dari dokter. Hal ini hanya dapat dicapai dengan pemahaman yang cukup (sikap kritis) dari pasien, dan tentunya advise dari Apoteker mungkin juga akan sangat membantu.

Target artikel saya ini hanyalah mengharapkan tambahan kode etik sederhana buat Dokter, semacam :
“Dokter terlarang untuk menerima pemberian dari Industri Farmasi dan/atau jaringan distribusinya dalam bentuk apapun (fee, tip, tiket, fasilitas, dll)”.
Mohon informasi kalau kode etik yang semacam ini sudah ada? atau ada, cuma masih bias dan multi-asumsi?
Saya menyadari bahwa bias semacam ini tidak terjadi di Indonesia saja, it's a worldwide problem.
Soal kode etik itu dilaksanakan oleh setiap dokter, terpulang ke individu masing-masing.

Post a Comment

Komentar Anda mengenai artikel ini :