Betapa banyak masyarakat yang merindukan ber-Investasi atas dunia ini, ...
[Prolog 2001 -2008]
Salihan, atau populer dengan nama Ustadz Lihan, awalnya disebut-sebut sebagai pengusaha intan yang sukses di Kalsel. Setelah sukses secara lokal di kotamadya Banjarbaru [Kalsel], dia mendirikan perusahan "konsultan bisnis dan investasi" - PT. Tri Abadi Mandiri di Cinere, Limo, Depok.
Lihan mulai menjalankan usahanya pada 2001. Sekitar bulan Juni 2008, ia menjadi sorotan media se-Indonesia. Bermula atas kepemilikannya pada sebuah intan “Putri Malu” yang berharga sekitar 3 Milyar [196 karat]. "Konon", jika sudah dipotong sempurna, harga intan tersebut bisa 250 milyar.
Sejak saat itu, bak bola salju, berbagai media terus memberitakan sosoknya. Bahkan Komunitas TDA (Tangan Di Atas) juga turut memberikan significant point untuknya.
____
Milad 3 TDA (28 Februari s/d 01 Maret 2009)
Festival Entrepreneur Indonesia 2009
Profil Pembicara Milad 3 TDA - Ustadz Lihan
http://tangandiatas.com/?ar_id=Mjkx
TalkShow dengan tema
"Sukses dalam Hidup dan Berbisnis dengan Power of giving".
http://tdamilad3.blogspot.com/2009/02/profil-pembicara-milad-3-tda-ustadz.html
"
Ustadz Lihan dilahirkan di Liang Anggang 9 Juli 1974.
Mantan guru madrasah dan tukang ojek
yg sekarang menjadi
-Komisaris Utama PT Tri Abadi Mandiri,
-Komisaris Utama CV/PT Ira Visual Multimedia,
-Komisaris Utama PT Lima Maha Karya ,
-Komisaris Utama PT Alhamdulillah,
-Komisaris Utama PT Smart Karya Utama,
-Komisaris Utama PT Lihan Jaya Sarana,
-Komisaris Utama PT Lihan Jaya Semesta,
-Komisaris Utama PT Rumputindo Maju Bersama.
Berkantor di Jakarta dan Banjarmasin.
Penyuka makanan manis dan tak suka sayur.
Alhamdulillah juga memiliki kantor di China.
Sekarang usaha ustadz sudah tersebar di beberapa kota di Indonesia di antaranya Banjarmasin, Balikpapan, Tarakan, Berau, Sumbawa, Mataram, Madiun, Gresik, Pekalongan, Jember, Magetan Samarinda, Surabaya, Malang, Solo, Jogjakarta, Semarang, Bogor, Bandung dan Lampung.
Saat ini Insya Allah ustadz ada rencana mendirikan Stasiun TV Islami, Pembuatan Film bersama Hanung Bramantyo, Pertambangan Intan dan pendirian Maskapai Penerbangan. Ustadz Lihan bercita-cita mendirikan usaha yang bisa merekrut ribuan pekerja sehingga bisa membantu pemerintah mengurangi pengangguran.
"
___
Juga, contoh kutipan lainnya dari salah satu Blog :
http://yunizar84.blogspot.com/2009/03/bagaimana-jika-ustadz-lihan-membeli.html
"
Ustadz Lihan, pengusaha asal Cindai Alus Martapura itu yang merupakan alumni Pondok Darul Hijrah Putra, pernah mengajar di Pondok Darul Hijrah Putri, mendirikan majalah santriwati “Akram” yang kini sudah tidak terbit lagi, dan rumahnya berada tepat di belakang gedung Ummi Hani Pondok Darul Hijrah Putri itu dapat dinilai sebagai pengusaha muda tersukes di Indonesia. Limpahan rezeki yang didapat beliau dari berbagai usaha itu benar-benar membuat beliau menjadi seseorang yang terpandang di banua kita.
Berawal dari profesi sebagai seorang Ustadz di Pondok Darul Hijrah Putra dan Putri, gebrakannya berlanjut kepada bisnis intan yang akhirnya menjadi kerajaan bisnis maha-megah. Banyak perusahaan yang berdiri atas namanya, seperti Operational Center TV Kabel Ira Vision, Property Dealer Kota Santri dan masih banyak lagi yang kesemuanya berada dalam perusahaan induk PT. Tri Abadi Mandiri. Bahkan, kini beliau mencoba bergerak di bisnis komunikasi dengan produk provider internet Han n’ Ruf yang disinyalir bakal menyaingi Speedy. Beliau juga banyak mengadakan even-even besar dengan dipromotori oleh PT. Tri Abadi Mandiri, seperti penyaluran bantuan bagi Dhu’afa, dan mega konser Idul Fitri yang diisi artis-artis besar nasional seperti Gigi, Ungu, Rossa di Jakarta beberapa waktu lalu. Ustadz Lihan juga sempat membuat kehebohan, seperti membeli intan terbesar yang pernah ditemukan seharga lebih 1 miliyar rupiah, mengalahkan tawaran miliarder-miliarder luar negeri yang juga berminat membelinya (bukan kehebohan seperti menikahi artis kayak Aman Jagau). Terakhir, beliau berhasil membuat rekor MURI dengan mengadakan even Chatting Terbanyak yang diikuti oleh ribuan orang di Banjarbaru beberapa waktu lalu sebagai acara Launching produk Han n’ Ruf-nya.
Kesuksesan beliau juga dibarengi dengan keinginan berbagi. Sejauh ini telah terbit dua buku yang mengangkat Ustadz Lihan. Pertama, terbit di awal 2008 sebuah buku berjudul “Lihan, Ustadz Pengusaha” yang nampaknya digagas oleh Ustadz Lihan sendiri. Buku ini memaparkan riwayat hidup Ustadz Lihan yang tentu saja menyebut Darul Hijrah sebagai salah satu pelabuhan pendidikan beliau. Yang terpenting, tentu (sedikit) diungkapkan rahasia bisnis Ustadz Lihan. Buku ini ditulis oleh satu tim penulis di bawah arahan Ustadz Darmawan yang juga pernah mengajar di Pondok Darul Hijrah. Sedangkan buku kedua berjudul “Ustadz Pun Bisa Menjadi Pengusaha B(e)rilian”, tulisan Ahmad Bahar. Ditambah lagi, Ustadz Lihan juga sering diminta memberikan materi dalam berbagai ajang seminar, kuliah, dan lain sebagainya yang tentu saja berisi materi perbisnisan dengan artikulasi keislaman. Hal ini menjadikan Ustadz Lihan, sang Ustadz Pengusaha, terkemuka tidak hanya dalam hal bisnis namun juga dalam usaha menumbuhkan bibit pengusaha di kalangan generasi muda dengan jiwa keislaman, tidak hanya di Indonesia namun juga di luar negeri (konon Ustadz Lihan sering berangkat ke luar negeri dengan tujuan selain membangun jaringan bisnis, juga memberikan wejangan-wejangan bisnis).
Fenomena Ustadz Lihan makin menyeruak karena dalam usaha menjalankan perusahaan, beliau memakai teknik investasi, yakni menerima dana investasi dari siapa saja untuk kemudian dijalankan dalam bisnis beliau yang keuntungannya dibagi antara beliau sendiri dengan para investor. Teknik ini tentu sangat menguntungkan secara ekonomi bagi banyak orang yang menginvestasikan dana kepada beliau. Hal ini dan sekian banyak usaha beliau dalam membangun daerah membuat beliau mendapatkan anugerah dari Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) sebagai pengusaha yang berhasil membangun daerah.
"
____
Berita/kutipan/informasi "puja-puji" serupa di atas sangat banyak beredar di Media (cetak dan internet) utamanya pada periode Agustus 2008 s/d Agustus 2009.
Para Investor dan Penyanjung yang malang ..., mereka telah dijerumuskan oleh provokasi media [televisi, koran, majalah, internet/blog, buku, seminar, talkshow, dll., yang secara tidak bertanggungjawab dan dangkal telah memberi rating sangat tinggi ke LIHAN.
Untuk melihat banyaknya pujian terhadap LIHAN, coba ketik di Google : Lihan sukses. Lihatlah resultnya. Bukan main.
Tetapi, ..., seiring dengan berjalan waktu, kekisruhan bisnis investasi yang dikelolanya mulai muncul ke permukaan, berbagai pertanyaan seputar usaha Lihan mulai bermunculan.
___________________________
[Agustus 2008 s/d Agustus 2009]
Buku yang ditulis oleh Ahmad Bahar dengan judul “Ustadz Pun Bisa Jadi Pengusaha Brilian” yang berisi profil Ustad Lihan laris manis dipasaran. Dalam dua hari setelah diterbitkan pada tanggal 9 Agustus 2008 di Gramedia Matraman, 2500 buku telah habis terjual.
Dalam masa setahun sejak terbitnya buku tersebut, Lihan betul-betul meng-expose dirinya, baik atas effort pribadi secara langsung maupun atas manfaat yang secara gratis diberikan oleh berbagai Media dan link pendukung fanatiknya (kolektor).
Jumat, 6 Februari 2009, dengan senyum khasnya Ustadz Lihan bertandang kekediaman Bupati Banjar HG. Khairul Saleh dan disambut langsung oleh Bupati Banjar, untuk menyerahkan bantuan bagi korban banjir kabupaten Banjar berupa 5 ton beras yang disaksikan langsung oleh Direktur PT. Lihan Jaya Sarana, Darmawan Jaya Setiawan.
Jumat, 24 April 2009, kesepakatan untuk menyumbang 30 ekor sapi untuk penyelenggaraan kurban Idul Adha 1430H [meskipun jarak waktunya masih lama, yakni Jum’at, 27 November 2009] dibuat oleh Lihan bersama Pemimpin Umum Banjarmasin Post Group, HG Rusdi Effendi di kediaman Lihan, Cindai Alus Banjar. Banjarmasin Post Group bakal mengorbankan 38 ekor sapi untuk hari raya korban tersebut. Jumlah tersebut disesuaikan dengan usia koran terbesar di Kalsel ini. Menurut Lihan, kemungkinan saat penyembelihan hewan korban sumbangannya tersebut, dirinya tidak hadir karena bersama istrinya akan menunaikan ibadah haji. Sumbangannya berupa hewan korban tersebut merupakan kali ketiga yang diberikan untuk Bpost Group. Pada kali pertama, Lihan menyumbang dua ekor sapi, kali kedua empat ekor sapi dan yang ketiga ini, 30 ekor. Dalam kesempatan itu, Gusti Rusdi juga mendapat kesempatan memegang intan "putri malu" yang sempat dihebohkan beberapa waktu yang lalu. Selain itu, Mantan ketua KONI Kalsel ini juga diberi kesempatan meninjau Gedung serbaguna Putri Malu yang rencananya keuntungannya digunakan untuk kepentingan majelis taklim yang bakal dibentuknya.
___________________________
[September 2009 - Januari 2010]
Sejak pagi di hari Sabtu, 26 September 2010, ribuan orang berdatangan dan berkumpul di rumah Lihan di Kampung Batung, Desa Cindai Alus, Kecamatan Martapura, Kabupaten Banjar, yang persis berada di belakang pondok pesantren putri Darul Hijrah. Mereka adalah investor yang berasal dari Banjarbaru, Martapura, dan berbagai daerah lainnya di Provinsi Kalsel, bertujuan menanyakan secara langsung penyebab pembagian keuntungan yang pembayarannya terlambat dua bulan [Agustus & September 2009].
Sesuai perjanjian yang ditulis di atas kertas bermaterai Rp 6.000 itu, keuntungan bisnis ditentukan melalui sistem bagi hasil. Lihan sebagai pihak pertama menerima 60 persen dan investor sebagai pihak kedua mendapatkan 40 persen dari keuntungan. Kedua belah pihak sepakat mengadakan perjanjian bisnis/kerja di mana investor menyerahkan sejumlah uang yang tidak terbatas besarnya untuk dijadikan modal bisnis "Intan".
Walhasil, ribuan orang tersebut bubar secara tertib di siang harinya, setelah mendapatkan penjelasan dan komitmen dari Lihan.
"Semua modal investasi akan saya kembalikan kepada investor. Ini seiring dengan kontrak saya dengan pihak pembeli [Intan] sejak 15 Oktober 2008 akan berakhir pada 15 Oktober 2009," ujar Lihan.
Terjadinya keterlambatan itu, kata Lihan, disebabkan adanya keterlambatan pembayaran dari pihak pembeli [intan] sejak Agustus 2009. Pihaknya, kata Lihan, terus berkoordinasi dengan pembelinya. Akhirnya, pihak pembeli berjanji melakukan pembayaran pada minggu keempat Oktober 2009. "Kesepakatan itu diperkuat dengan jaminan dari pihak pembeli yang sudah diserahkan kepada saya," ujarnya.
Tunggu punya tunggu, uang bagi hasil dana tertunda yang dijanjikan akan dibayar pada Oktober 2009 tetap tidak terealisasi. Sepanjang Oktober-November 2009, banyak diberitakan Investor stress, masuk rumah sakit, bahkan ada yang meninggal.
Minggu, 6 Desember 2009, dilakukan penahanan atas Lihan oleh Ditreskrim Polda Kalsel. Senin pagi, 7 Desember 2009, Kapolda Kalsel Brigjen Pol Untung S Rajab SH bersama dengan Kepala Kejaksaan Tinggi Kalsel Abdul Taufiq dan perwakilan dari Bank Indonesia mengadakan jumpa pers di ruang Rupatama Polda Kalsel.
“Sebelum saya memberikan keterangan terkait investasi Lihan, saya minta kepada masyarakat jangan sampai berasumsi bahwa dengan tertangkapnya Lihan polisi dianggap menghambat pembayaran atau pengembalian uang nasabah,” tegas Kapolda Kalsel. Menurut beliau, justru sebaliknya, karena dengan ditangkapnya Lihan bertujuan untuk melindungi masyarakat dan dana investasi milik para pemodal di tempat Lihan. “Makin diulur-ulur kemungkinan aset-aset milik Lihan akan terus menyusut. Makanya untuk mempertahankan aset-aset tersebut polisi mengambil tindakan dengan mengamankan dan menyita aset-aset itu,” ujarnya.
Dari hasil penyelidikan polisi, terungkap bahwa ada sekitar 3.774 orang nasabah yang menanamkan modalnya ke tempat Lihan. “Uang yang terkumpul dari seluruh nasabah berjumlah sekitar Rp 817 miliar.”
Kapolda menuturkan bahwa uang dan jumlah para nasabah Lihan sangat fantastis. “Polisi sudah menduga kalau usaha yang dijalankan Lihan ini tidak benar. Artinya, uang yang masuk ke tempat Lihan tidak sesuai dengan uang hasil keuntungan dari usaha yang dijalankanya. Masa, para nasabah yang menanamkan uangnya dikasih keuntungan 60 persen dan Lihan memperoleh 40 persen dari jumlah uang yang diinvestasikan. Dan usaha ini dijalankannya sejak tahun 2001 lalu,” terangnya.
Dari hasil penyelidikan tim, berbagai kegiatan usaha yang dikelola PT Tri Abadi Mandiri, di antaranya bisnis intan hingga ke manca negara itu ternyata fiktif. Sedangkan sejumlah usaha yang dibangun di berbagai bidang diduga merupakan upaya untuk melakukan pencucian uang.
Jajaran penyidik Direktorat Reserse Kriminal (Ditreskrim) Polda Kalsel terus bergerak mengamankan aset yang diduga milik Lihan, pengelola investasi asal Cindaialus, Martapura, Kabupaten Banjar. Sedang pemeriksaan dihentikan sementara karena tersangka pengumpulan dana masyarakat tersebut sakit. Lihan pingsan saat memeluk tubuh ibunya, Hajah Siti Aisyah, yang meninggal Selasa (15/12) pagi. “Kami telah menyita 12 saham Lihan di beberapa perusahan,” kata Wakil Direktur Reskrim AKBP Kliment Dwi Kurjanto, Rabu (16/12).
Kanit II Haki Sat II Ekonomi Khusus Kompol Erry S memaparkan perusahaan tersebut adalah :
. PT Lihan Jaya Semesta,
. PT Lihan Jaya Sarana,
. CV Mawar,
. CV Runaway Berkah Utama,
. CV Lihan Smart Prima,
. PT Alhamdulillan,
. PT Handruf Telematika,
. PT Ira Visual Multimedia,
. PT Lima Maha Karya,
. CV Lihan Jaya Kubersama,
. PT Tri Abadi Mandiri, dan
. PT Ajal (yang ini belum dapat dipastikan kepemilikannya).
Disinggung mengenai nilai saham di setiap perusahaan, menurut Erry, relatif kecil yakni sekitar Rp 200 juta. Dana terbesar yang ditanamkan Lihan cuma ada di maskapai penerbangan Merpati yakni Rp 15 miliar. Dengan Merpati, Lihan hanya melakukan kerja sama operasional (KSO). “Di sini Lihan mendapatkan bagi hasil Rp 350 juta per bulan,” tambah Erry.
Salah satu aset Lihan di Jakarta adalah rumah di Jalan Ciragil I No 29 Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Hunian megah seharga Rp 4,2 miliar itu diketahui ditempati oleh Gladys, perempuan 23 tahun asal Cirebon. "Saya no comment. Tanya saja ke pengacara saya," elak Lihan ketika dikonfirmasi tentang hubungannya dengan Gladys, saat dia akan diperiksa penyidik Polda Kalsel, Sabtu (16/1/2010) pukul 11.00 Wita.
___________________________
Epilog [February 2010]
Penyidikan masih terus berlanjut. Gerakan menuntut pengembalian dana investasi juga terus bergulir, baik yang secara langsung maupun di facebook.
Apa sebenarnya yang salah dalam peristiwa ini?
Yang pertama tentunya kesalahan dari LIHAN pribadi. Kemampuan manajerial yang terbatas, over-selling dan over confidence (ini virus berbahaya yang ditularkan oleh para Motivator yang menjamur sekarang ini), dan tidak adanya manajemen keuangan Global Corporate (konglomerasi). Soal penipuan dan money laundring masih harus kita tunggu hasil penyidikan Polda. Utamanya di 2008 dan di 2009, uang dari Investor mengalir dengan deras, sehingga di saat itu 'tampak' sangat berlebih untuk membayar bagi hasil Investor sebelumnya dan masih berlebih untuk dipakai Investasi riil lainnya, bahkan untuk memberikan bantuan/donasi Infaq ke banyak pihak yang meminta.
Yang kedua adalah blow-up media (cetak maupun internet) kepada Lihan. Harusnya media sedikit lebih cerdas dalam menyajikan informasi, termasuk para blogger dan miliser. Yang terjadi saat ini, tidak ada filter dan analisa sama sekali. Yang ada adalah secepat mungkin sajikan beritanya.
Yang ketiga, blow-up oleh Kolektor dan partisan yang mengambil keuntungan dari faktor 1 dan 2 di atas.
Yang keempat, Investor yang sangat awam, dan hanya memasang kacamata kuda. Pokoknya untung besar. Bagi hasil 10% per bulan (yang tidak masuk akal untuk diterapkan di Real Business) harusnya sudah menjadi warning yang kasat mata. 5% pun sudah berat untuk pengembaliannya. Terjadilah skema arisan berantai, dimana yang masuk rombongan awal akan ikut mendulang untung, yang sesudahnya akan defisit total (modal pun tak kembali).
Kelima, tidak adanya perlindungan pemerintah, dan tidak adanya pendidikan/sosialisasi ke masyarakat awam untuk Investasi.
Faktor-faktor lainnya, khusus untuk kasus ini, adalah tabir agama dibalik hedonisme. Mengharapkan balasan langsung di dunia dari ZIS yang dikeluarkan, mungkin salah satunya. Sampai ada formula dan hitung-hitungannya segala. Infaq segini, akan menghasilkan balasan segini, dst.
_______________
Hanyalah investasi akhirat yang kekal ...
Lanjut ...
Tuesday, February 9, 2010
Wednesday, January 6, 2010
Tips Menghilangkan Bau Rokok di Mobil
Cara paling ampuh adalah jangan pernah merokok dan/atau membolehkan penumpang lain merokok di dalam mobil. Yang paling baik tentunya adalah tidak merokok dimanapun.
Tetapi untuk kasus mobil second, mobil kantor, dll, tips-tips berikut mungkin dapat membantu :
Cuka
Tuangkan cuka dalam sebuah wadah kemudian diamkan kurang lebih semalaman dalam mobil. Keesokan harinya, bau rokok pasti sudah berkurang.
Kulit Jeruk
Tinggalkan beberapa lembar kulit jeruk dalam mobil kita dan biarkan selama beberapa hari sampai kulit jeruk tersebut mengering baru dibuang. Bau pasti telah berkurang bahkan hilang.
Baking Soda
Bahan yang satu ini memang dapat menghilangkan berbagai macam bau dikarenakan sifatnya yang dapat menyerap berbagai jenis bau. Sebelum menyebar baking soda, coba tuangkan sedikit pada permukaan yang akan disebar untuk memastikan tidak ada efek yang disebabkan oleh bahan kimia yang terkandung dalam baking soda. Sebarkan secara merata pada daerah dalam mobil yang terasa paling menyengat bau rokoknya dan tinggalkan selama beberapa jam. Setelah itu, bersihkan baking soda dengan menggunakan vacuum cleaner sampai bersih.
Bubuk Kopi
Jangan menyebar bubuk kopi secara langsung, karena dapat meninggalkan noda. Tetapi masukkan bubuk kopi dalam kantung kecil seperti teh celup kemudian gantungkn pada tempat yang berbau asap rokok.
Arang
Letakkan beberapa potong dalam sebuah mangkok dan biarkan selama beberapa hari.
Kapur Barus
Sebarkan di beberapa titik di dalam mobil.
Odor Eliminator
Berbagai merek/produk di pasaran (seperti Astonish, dll.). Tinggal semprot ke karpet, plafon, jok (kalo masih kain), dan bahan kain lainnya yang ada dalam mobil.
Produk air purifier
Sekarang banyak terdapat di pasaran dengan berbagai macam jenis untuk menetralkan aroma (ionizer) dalam mobil.
Sirkulasi Udara
Ketika mobil tidak sedang digunakan, buka pintu dan jendela selebar mungkin selama beberapa lama agar sirkulasi pergantian udara dalam mobil lancar dan mendapat sinar matahari.
Pembersihan Interior, AC, dan Saluran Udara
Bila bau rokok masih belum juga hilang, bersihkan secara keseluruhan bagian dalam mobil karena asap rokok biasa meninggalkan residu/zat sisa pada permukaan interior mobil yang apabila terkena panas dapat menimbulkan bau. Jangan lupa bersihkan pula AC (kalau perlu ganti Cabin Filter) dan saluran udara. Sebelum membersihkan, gunakan vacuum cleaner untuk menyedot bau rokok sebersih mungkin dari semua bagian dalam interior mobil seperti karpet, jok, headrest dan lain-lain.
Lanjut ...
Tetapi untuk kasus mobil second, mobil kantor, dll, tips-tips berikut mungkin dapat membantu :
Cuka
Tuangkan cuka dalam sebuah wadah kemudian diamkan kurang lebih semalaman dalam mobil. Keesokan harinya, bau rokok pasti sudah berkurang.
Kulit Jeruk
Tinggalkan beberapa lembar kulit jeruk dalam mobil kita dan biarkan selama beberapa hari sampai kulit jeruk tersebut mengering baru dibuang. Bau pasti telah berkurang bahkan hilang.
Baking Soda
Bahan yang satu ini memang dapat menghilangkan berbagai macam bau dikarenakan sifatnya yang dapat menyerap berbagai jenis bau. Sebelum menyebar baking soda, coba tuangkan sedikit pada permukaan yang akan disebar untuk memastikan tidak ada efek yang disebabkan oleh bahan kimia yang terkandung dalam baking soda. Sebarkan secara merata pada daerah dalam mobil yang terasa paling menyengat bau rokoknya dan tinggalkan selama beberapa jam. Setelah itu, bersihkan baking soda dengan menggunakan vacuum cleaner sampai bersih.
Bubuk Kopi
Jangan menyebar bubuk kopi secara langsung, karena dapat meninggalkan noda. Tetapi masukkan bubuk kopi dalam kantung kecil seperti teh celup kemudian gantungkn pada tempat yang berbau asap rokok.
Arang
Letakkan beberapa potong dalam sebuah mangkok dan biarkan selama beberapa hari.
Kapur Barus
Sebarkan di beberapa titik di dalam mobil.
Odor Eliminator
Berbagai merek/produk di pasaran (seperti Astonish, dll.). Tinggal semprot ke karpet, plafon, jok (kalo masih kain), dan bahan kain lainnya yang ada dalam mobil.
Produk air purifier
Sekarang banyak terdapat di pasaran dengan berbagai macam jenis untuk menetralkan aroma (ionizer) dalam mobil.
Sirkulasi Udara
Ketika mobil tidak sedang digunakan, buka pintu dan jendela selebar mungkin selama beberapa lama agar sirkulasi pergantian udara dalam mobil lancar dan mendapat sinar matahari.
Pembersihan Interior, AC, dan Saluran Udara
Bila bau rokok masih belum juga hilang, bersihkan secara keseluruhan bagian dalam mobil karena asap rokok biasa meninggalkan residu/zat sisa pada permukaan interior mobil yang apabila terkena panas dapat menimbulkan bau. Jangan lupa bersihkan pula AC (kalau perlu ganti Cabin Filter) dan saluran udara. Sebelum membersihkan, gunakan vacuum cleaner untuk menyedot bau rokok sebersih mungkin dari semua bagian dalam interior mobil seperti karpet, jok, headrest dan lain-lain.
Lanjut ...
Thursday, June 18, 2009
Politik Simbolik, Apa Salahnya?
Mengapa jilbab dipersepsi menjadi “simbol yang memecah-belah bangsa” di negeri mayoritas Muslim seperti Indonesia?
Politik Simbolik, Apa Salahnya?
Friday, 12 June 2009 19:33
Oleh: Sapto Waluyo
*) Penulis aktif di Center for Indonesian Reform (CIR)
Pemilihan presiden di Indonesia saat ini memperlihatkan beberapa gejala paradoks. Sebagai tanda kematangan hidup berdemokrasi, banyak orang menuntut agar kompetisi antar kandidat lebih bertumpu pada sosialisasi program dan tidak mempersoalkan masalah ideologi. Seakan-akan ada kebijakan dan program yang dapat diturunkan begitu saja dari langit tanpa arahan ideologi tertentu.
Program nir-ideologi itu, jika benar-benar ada, entah ditujukan kepada konstituen yang mana dan akan dijalankan partai politik apa sebagai mesin utama pemenangan kandidat. Bila semua partai politik bisa melakukannya dan ditujukan kepada seluruh kelompok masyarakat, maka mengapa mesti ada kompetisi yang sengit antar kandidat? Sepatutnya dibuat kesepakatan bahwa program yang baik untuk semua konstituen itu dijalankan saja secara bergiliran di antara partai peserta pemilu, sehingga tak perlu ada pemungutan suara berongkos triliunan rupiah untuk menentukan siapa yang paling unggul.
Program nir-ideologi itu hanya ilusi. Di negara demokrasi yang paling maju seperti Amerika Serikat sekalipun, ideologi masih berfungsi untuk mendorong perubahan. Sekurang-kurangnya Partai Demokrat mengklaim telah mewakili jutaan rakyat menengah ke bawah yang selama ini diabaikan kepentingannya oleh oligarki (elite pemilik modal dan kuasa) di Washington. Barack Husein Obama mampu mencitrakan diri dan menggalang dukungan dari akar rumput yang menyumbang 10-15 dolar AS untuk mengalahkan John McCain yang didukung korporasi besar (big bussines).
Obama sukses meruntuhkan ambisi George W. Bush dari Partai Republik –biasa disebut Grand Olp Party (GOP)-- yang ingin diwarisi McCain. Bush ingin melanjutkan dan menuntaskan perang yang berongkos besar. Sementara Obama ingin mengganti kebijakan itu dengan program kesejahteraan, pembukaan lapangan kerja dan subsidi bagi kelompok masyarakat kurang beruntung.
Penegasan akan pentingnya ideologi dalam konteks politik Indonesia diajukan Eko Prasojo, guru besar UI untuk bidang administrasi negara. Ia menyatakan, koalisi antarparpol dalam rangka menentukan calon presiden dan wakil presiden tak boleh hanya didasarkan hitung-hitungan kepentingan politik jangka pendek. Idealnya, koalisi parpol dibangun berdasarkan kesamaan platform kebijakan dan ideologi. Tetapi, dalam kenyataannya, memang sulit membangun koalisi berbasis platform ideologi karena hampir semua parpol di Indonesia tidak memiliki kejelasan ideologi. Hal ini pun terlihat dalam pemilihan langsung kepala daerah, di mana corak koalisi lebih didasarkan pada kepentingan untuk memenangi pemilihan semata, tanpa memperhitungkan benturan ideologis (Kompas, 27 April 2009).
Partai boleh mendefinisikan kepentingan elite lebih utama ketimbang ideologi. Dan, masyarakat juga tak salah, bila lebih menuntut ketersediaan sembako atau mie instan daripada dijejali janji-janji politis. Namun, dalam praktek, sikap partai atau tuntutan masyarakat itu pada akhirnya ditampilkan melalui simbol tertentu. Sebagaimana diungkapkan oleh Richard M. Perloff bahwa komunikasi politik adalah suatu proses dimana pimpinan nasional, media, dan warga negara bertukar dan berbagi makna atas pesan-pesan yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan publik (1998).
Lebih tajam lagi ditegaskan oleh R.G. Meadow dalam “Politics as Communication”, bahwa aktivitas politik merujuk pada segala jenis pertukaran simbol atau pesan yang dalam bentuk signifikan telah diciptakan atau memiliki konsekuensi atas sistem politik (1980). Contoh paling kentara adalah cara ketiga pasangan capres/cawapres mendeklarasikan pencalonan diri mereka.
Jusuf Kalla-Wiranto memilih Tugu Proklamasi sebagai lokasi deklarasi yang dilaksanakan secara sederhana. Ini membawa pesan nasionalisme yang kental. Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono memilih gedung Sabuga di lingkungan kampus ITB yang dipermak cukup megah untuk undangan khusus. Kesan yang muncul, sangat modern, high class dan ingin meniru deklarasi Obama di AS. Sedangkan, Megawati Soekarnoputeri dan Prabowo Subianto memilih cara paling kontroversial dengan menyulap tempat pembuangan sampah di Bantar Gebang, Bekasi sebagai simbol keberpihakan kepada rakyat kecil. Bukankah itu menandakan sejak awal deklarasi, seluruh kandidat telah memainkan politik simbolik? Tak ada yang menyalahkan.
Lalu, mengapa tatkala jilbab yang dikenakan Mufidah Kalla dan Rugaiya Wiranto mencuat ke permukaan, banyak pihak yang mencibir dan meminta agar perdebatan tentang itu harus diakhiri karena dipandang sebagai politisasi agama? Bahkan, unsur partai dalam koalisi yang pertama kali memunculkan isu faktual itu akhirnya jadi mundur ke belakang, dan terkesan menyesali inisiatif tulusnya. Ini benar-benar paradoks. Apa yang salah dengan jilbab sebagai wujud ketaatan kepada perintah agama dan sekaligus identitas politik?
Tampaknya pandangan Bachtiar Effendi dan Sholahuddin Wahid paling obyektif ketika menempatkan isu jilbab bukan sebagai politisasi agama. Justru dengan isteri yang berjilbab, menurut Bachtiar dan Gus Sholah, pasangan JK-Wiranto ingin membuat “diferensiasi” dengan pasangan capres-cawapres lainnya. Meskipun hal itu bukan satu-satunya faktor untuk memenangkan pilpres, karena pihak kompetitor dapat melakukan serangan balik yang mendiskreditkan keunikan itu. Kuncinya adalah konsistensi antar simbol yang dikenakan atau dikampanyekan dengan perbuatan dan program yang dijalankan. Jika isteri para politisi itu sudah berjilbab lama sesuai dengan kesadaran nurani mereka, maka efek perluasan dari sikap itu sama sekali bukan politisasi, melainkan menjadi berkah terselubung.
Di negara Barat semisal Prancis, jilbab merupakan simbol ketahanan budaya minoritas Muslim dan perlawanan terhadap diskriminasi hak di tengah masyarakat majemuk, sehingga hal itu masuk ke ranah politik dan menjadi suatu kebijakan negara (Joan Wallach Scott, 2007). Di Turki lebih dahsyat lagi, ketika ibu Negara (Ermine Gulbaran), isteri PM Recep Tayyip Erdogan, tampil dengan jilbab anggunnya, maka seluruh Eropa gempar, tak cuma Turki. Padahal, Partai Keadilan dan Pembangunan (Adalet ve Kalkınma Partisi) secara formal berideologi sekulerisme. Lalu, mengapa jilbab dipersepsi menjadi “simbol yang memecah-belah bangsa” di negeri mayoritas Muslim seperti Indonesia? Di situ terlihat terang, preferensi politik telah mengacaukan persepsi keberagamaan sebagian kalangan.
Walau mencitrakan diri sebagai pasangan yang paling rasional dan modern, karena tidak terpengaruh pada mitos Jawa-Luar Jawa dan berani menggaet kalangan profesional non-partai, namun tim pemenangan SBY-Boediono di lapis bawah tetap saja memperlihatkan karakter aslinya. Seperti terlihat dari aksi pendukung 'Indonesia Bisa’ cabang Kediri yang menggelar larung sesaji di Sungai Brantas, Kelurahan Semampir. Dalam kegiatan tersebut, dilarung kembang setaman, bunga mayang, telur ayam kampung, dupa dan kemenyan serta dua ekor itik yang di bagian sayapnya ditempeli stiker 'SBY for President'. Dua ekor itik, diakui penyelenggaranya, adalah simbol nomor urut pasangan SBY-Boediono. Ini benar-benar simbol lokal yang punya makna tertentu bagi pemilih setempat. Tak perlu dibatasi atau diharamkan.
Kita juga bisa menguji, apakah program pemerintah untuk memberi Bantuan Langsung Tunai (BLT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), Program Keluarga Harapan (PKH), atau Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri benar-benar kebijakan yang bebas dari kepentingan simbolik? Bukankan semua itu pertanda bahwa pemerintah “masih peduli” dengan nasib rakyat kecil, meskipun harus menyisihkan dana untuk stimulus fiskal dan beban bunga obligasi rekap perbankan? Muatan simbolik dari pelbagai program pemerintah semakin kental, saat pelaksanaannya dilakukan pada momen krusial jelang pemilu dan pilpres.
Kandidat incumbent mengeksploitasi program pemerintah untuk menunjukkan bahwa ia telah berbuat banyak. Sementara sang penantang (the contender) mengajukan alternatif kebijakan yang diyakini lebih baik dari program pemerintah. Politik Indonesia bertambah unik, karena di antara kandidat ada yang mengklaim bahwa dirinya turut memberi kontribusi besar bagi keberhasilan program pemerintah selama ini. Semua itu benar-benar perang simbolik. Jutaan pemilih kadang lebih terpikat dengan simbol yang paling sederhana daripada janji yang rumit atau penampilan basa-basi. Meskipun begitu, mungkin banyak pemilih yang tak tertarik dengan simbol apapun, lalu memilih sikap tidak memilih.
Sumber : http://www.hidayatullah.com/index.php/opini/9594-politik-simbolik-apa-salahnya
Lanjut ...
Politik Simbolik, Apa Salahnya?
Friday, 12 June 2009 19:33
Oleh: Sapto Waluyo
*) Penulis aktif di Center for Indonesian Reform (CIR)
Pemilihan presiden di Indonesia saat ini memperlihatkan beberapa gejala paradoks. Sebagai tanda kematangan hidup berdemokrasi, banyak orang menuntut agar kompetisi antar kandidat lebih bertumpu pada sosialisasi program dan tidak mempersoalkan masalah ideologi. Seakan-akan ada kebijakan dan program yang dapat diturunkan begitu saja dari langit tanpa arahan ideologi tertentu.
Program nir-ideologi itu, jika benar-benar ada, entah ditujukan kepada konstituen yang mana dan akan dijalankan partai politik apa sebagai mesin utama pemenangan kandidat. Bila semua partai politik bisa melakukannya dan ditujukan kepada seluruh kelompok masyarakat, maka mengapa mesti ada kompetisi yang sengit antar kandidat? Sepatutnya dibuat kesepakatan bahwa program yang baik untuk semua konstituen itu dijalankan saja secara bergiliran di antara partai peserta pemilu, sehingga tak perlu ada pemungutan suara berongkos triliunan rupiah untuk menentukan siapa yang paling unggul.
Program nir-ideologi itu hanya ilusi. Di negara demokrasi yang paling maju seperti Amerika Serikat sekalipun, ideologi masih berfungsi untuk mendorong perubahan. Sekurang-kurangnya Partai Demokrat mengklaim telah mewakili jutaan rakyat menengah ke bawah yang selama ini diabaikan kepentingannya oleh oligarki (elite pemilik modal dan kuasa) di Washington. Barack Husein Obama mampu mencitrakan diri dan menggalang dukungan dari akar rumput yang menyumbang 10-15 dolar AS untuk mengalahkan John McCain yang didukung korporasi besar (big bussines).
Obama sukses meruntuhkan ambisi George W. Bush dari Partai Republik –biasa disebut Grand Olp Party (GOP)-- yang ingin diwarisi McCain. Bush ingin melanjutkan dan menuntaskan perang yang berongkos besar. Sementara Obama ingin mengganti kebijakan itu dengan program kesejahteraan, pembukaan lapangan kerja dan subsidi bagi kelompok masyarakat kurang beruntung.
Penegasan akan pentingnya ideologi dalam konteks politik Indonesia diajukan Eko Prasojo, guru besar UI untuk bidang administrasi negara. Ia menyatakan, koalisi antarparpol dalam rangka menentukan calon presiden dan wakil presiden tak boleh hanya didasarkan hitung-hitungan kepentingan politik jangka pendek. Idealnya, koalisi parpol dibangun berdasarkan kesamaan platform kebijakan dan ideologi. Tetapi, dalam kenyataannya, memang sulit membangun koalisi berbasis platform ideologi karena hampir semua parpol di Indonesia tidak memiliki kejelasan ideologi. Hal ini pun terlihat dalam pemilihan langsung kepala daerah, di mana corak koalisi lebih didasarkan pada kepentingan untuk memenangi pemilihan semata, tanpa memperhitungkan benturan ideologis (Kompas, 27 April 2009).
Partai boleh mendefinisikan kepentingan elite lebih utama ketimbang ideologi. Dan, masyarakat juga tak salah, bila lebih menuntut ketersediaan sembako atau mie instan daripada dijejali janji-janji politis. Namun, dalam praktek, sikap partai atau tuntutan masyarakat itu pada akhirnya ditampilkan melalui simbol tertentu. Sebagaimana diungkapkan oleh Richard M. Perloff bahwa komunikasi politik adalah suatu proses dimana pimpinan nasional, media, dan warga negara bertukar dan berbagi makna atas pesan-pesan yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan publik (1998).
Lebih tajam lagi ditegaskan oleh R.G. Meadow dalam “Politics as Communication”, bahwa aktivitas politik merujuk pada segala jenis pertukaran simbol atau pesan yang dalam bentuk signifikan telah diciptakan atau memiliki konsekuensi atas sistem politik (1980). Contoh paling kentara adalah cara ketiga pasangan capres/cawapres mendeklarasikan pencalonan diri mereka.
Jusuf Kalla-Wiranto memilih Tugu Proklamasi sebagai lokasi deklarasi yang dilaksanakan secara sederhana. Ini membawa pesan nasionalisme yang kental. Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono memilih gedung Sabuga di lingkungan kampus ITB yang dipermak cukup megah untuk undangan khusus. Kesan yang muncul, sangat modern, high class dan ingin meniru deklarasi Obama di AS. Sedangkan, Megawati Soekarnoputeri dan Prabowo Subianto memilih cara paling kontroversial dengan menyulap tempat pembuangan sampah di Bantar Gebang, Bekasi sebagai simbol keberpihakan kepada rakyat kecil. Bukankah itu menandakan sejak awal deklarasi, seluruh kandidat telah memainkan politik simbolik? Tak ada yang menyalahkan.
Lalu, mengapa tatkala jilbab yang dikenakan Mufidah Kalla dan Rugaiya Wiranto mencuat ke permukaan, banyak pihak yang mencibir dan meminta agar perdebatan tentang itu harus diakhiri karena dipandang sebagai politisasi agama? Bahkan, unsur partai dalam koalisi yang pertama kali memunculkan isu faktual itu akhirnya jadi mundur ke belakang, dan terkesan menyesali inisiatif tulusnya. Ini benar-benar paradoks. Apa yang salah dengan jilbab sebagai wujud ketaatan kepada perintah agama dan sekaligus identitas politik?
Tampaknya pandangan Bachtiar Effendi dan Sholahuddin Wahid paling obyektif ketika menempatkan isu jilbab bukan sebagai politisasi agama. Justru dengan isteri yang berjilbab, menurut Bachtiar dan Gus Sholah, pasangan JK-Wiranto ingin membuat “diferensiasi” dengan pasangan capres-cawapres lainnya. Meskipun hal itu bukan satu-satunya faktor untuk memenangkan pilpres, karena pihak kompetitor dapat melakukan serangan balik yang mendiskreditkan keunikan itu. Kuncinya adalah konsistensi antar simbol yang dikenakan atau dikampanyekan dengan perbuatan dan program yang dijalankan. Jika isteri para politisi itu sudah berjilbab lama sesuai dengan kesadaran nurani mereka, maka efek perluasan dari sikap itu sama sekali bukan politisasi, melainkan menjadi berkah terselubung.
Di negara Barat semisal Prancis, jilbab merupakan simbol ketahanan budaya minoritas Muslim dan perlawanan terhadap diskriminasi hak di tengah masyarakat majemuk, sehingga hal itu masuk ke ranah politik dan menjadi suatu kebijakan negara (Joan Wallach Scott, 2007). Di Turki lebih dahsyat lagi, ketika ibu Negara (Ermine Gulbaran), isteri PM Recep Tayyip Erdogan, tampil dengan jilbab anggunnya, maka seluruh Eropa gempar, tak cuma Turki. Padahal, Partai Keadilan dan Pembangunan (Adalet ve Kalkınma Partisi) secara formal berideologi sekulerisme. Lalu, mengapa jilbab dipersepsi menjadi “simbol yang memecah-belah bangsa” di negeri mayoritas Muslim seperti Indonesia? Di situ terlihat terang, preferensi politik telah mengacaukan persepsi keberagamaan sebagian kalangan.
Walau mencitrakan diri sebagai pasangan yang paling rasional dan modern, karena tidak terpengaruh pada mitos Jawa-Luar Jawa dan berani menggaet kalangan profesional non-partai, namun tim pemenangan SBY-Boediono di lapis bawah tetap saja memperlihatkan karakter aslinya. Seperti terlihat dari aksi pendukung 'Indonesia Bisa’ cabang Kediri yang menggelar larung sesaji di Sungai Brantas, Kelurahan Semampir. Dalam kegiatan tersebut, dilarung kembang setaman, bunga mayang, telur ayam kampung, dupa dan kemenyan serta dua ekor itik yang di bagian sayapnya ditempeli stiker 'SBY for President'. Dua ekor itik, diakui penyelenggaranya, adalah simbol nomor urut pasangan SBY-Boediono. Ini benar-benar simbol lokal yang punya makna tertentu bagi pemilih setempat. Tak perlu dibatasi atau diharamkan.
Kita juga bisa menguji, apakah program pemerintah untuk memberi Bantuan Langsung Tunai (BLT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), Program Keluarga Harapan (PKH), atau Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri benar-benar kebijakan yang bebas dari kepentingan simbolik? Bukankan semua itu pertanda bahwa pemerintah “masih peduli” dengan nasib rakyat kecil, meskipun harus menyisihkan dana untuk stimulus fiskal dan beban bunga obligasi rekap perbankan? Muatan simbolik dari pelbagai program pemerintah semakin kental, saat pelaksanaannya dilakukan pada momen krusial jelang pemilu dan pilpres.
Kandidat incumbent mengeksploitasi program pemerintah untuk menunjukkan bahwa ia telah berbuat banyak. Sementara sang penantang (the contender) mengajukan alternatif kebijakan yang diyakini lebih baik dari program pemerintah. Politik Indonesia bertambah unik, karena di antara kandidat ada yang mengklaim bahwa dirinya turut memberi kontribusi besar bagi keberhasilan program pemerintah selama ini. Semua itu benar-benar perang simbolik. Jutaan pemilih kadang lebih terpikat dengan simbol yang paling sederhana daripada janji yang rumit atau penampilan basa-basi. Meskipun begitu, mungkin banyak pemilih yang tak tertarik dengan simbol apapun, lalu memilih sikap tidak memilih.
Sumber : http://www.hidayatullah.com/index.php/opini/9594-politik-simbolik-apa-salahnya
Lanjut ...
Wednesday, June 10, 2009
Kualitas “obat bermerek” dan “obat generik”
Berbedakah secara kualitas antara keduanya? Kalau menurut iklan Depkes, harusnya tidak berbeda.
Secara teoritis, kalau produsen dari obat generik (umumnya yang berlogo) tersebut professional dan bertanggungjawab, dalam hal ini telah mengikuti standar cara pembuatan obat yang baik (CPOB/GMP), maka harusnya memang tidak berbeda.
CPOB mengatur proses pembuatan obat generik dan uji BA/BE (bioavailabilitas dan bioekivalensi). Badan POM pada tahun 2007 telah mempersyaratkan semua jenis obat termasuk obat generik untuk melakukan uji BA/BE sebagai syarat registrasi produknya. Tentunya, seperti biasanya - pelaksanaannya adalah soal lain, dan tidak menjadi bahasan di artikel ini.
Jika semua prosedur ditaati secara benar, maka klaim bahwa obat generik adalah obat orang miskin dan kurang berkhasiat jelas menyesatkan, tidak berdasar, dan tidak mendidik. Jika ada alternatif yang terjangkau dan berkhasiat kenapa harus memaksakan obat yang mahal? Salah satu faktor utama yang membuat harga jual obat bermerek menjadi sangat tinggi adalah biaya promosi langsung untuk dokter.
Perbandingan harga harga obat generic berlogo dengan obat bermerek ada yang 1:2, 1:5, 1:10, 1:20, atau bahkan ada yang lebih dari itu.
Berikut uraian singkat untuk beberapa istilah/terminologi di artikel ini.
Obat paten
Obat paten pastilah bermerek, tetapi obat bermerek belum tentu masih mengadopsi paten dari Inventor-nya. Bingung? Sederhananya, yang disebut obat paten adalah obat yang masih dalam masa hak patennya. Tidak ada pihak lain yang boleh melakukan produksi obat ini, kecuali atas ijin dari pemegang paten. Dalam hal ini, istilah paten disini adalah mencakup bahan aktif dan mereknya. Masa paten adalah berbeda di setiap Negara, USA=10 tahun, Australia=25 tahun, …
Obat bermerek
Obat bermerek adalah obat yang diberi nama tidak berdasarkan bahan-aktif utamanya. Biasanya, namanya tetap mirip-mirip (atau potongan suku kata) nama bahan aktifnya. Paten pada obat bermerek hanyalah mutlak pada merek-nya saja, dan tidak mutlak pada kandungan bahan aktifnya. Bahan aktifnya bisa saja sudah menjadi generik (bukan dalam masa paten lagi). Sekarang ini, produsen obat bermerek diwajibkan mencantumkan juga nama bahan-aktif dalam kemasan obatnya, biasanya dituliskan dibawah nama/merek obat tersebut dengan menggunakan font/huruf yang lebih kecil.
Obat generik
Obat generik adalah obat yang diberi nama berdasarkan bahan-aktifnya. Ada yang tanpa kemasan (benar-benar generic), ada yang berlogo (nama generik tetap sama tetapi dengan pencantuman logo spesifik dari perusahaan pharmasi yang membuatnya).
Obat campuran
Yang dimaksud disini adalah yang dalam kemasan (bukan puyer yang diracik berdasarkan resep dokter). Obat campuran juga sudah pasti bermerek dan memiliki paten atas merek-nya. Biasanya jenis ini merupakan obat bebas (seperti obat flu, obat batuk, dll). Tetapi, saat ini juga sudah ada obat campuran generic berlogo (yakni Obat Indo Serbu / serba-seribu) yang dikampanyekan oleh Pemerintah.
Uraian mengenai hal-hal yang lebih rinci dapat dilihat pada web-site berikut :
http://annawahyuni.multiply.com/journal/item/15
http://subhanallahu.multiply.com/journal/item/77/Antara_MedRep_Dokter_dan_MLM-ers
yang beberapa itemnya saya kutipkan di bawah ini :
____________________________
Suatu obat dapat dikatakan berkualitas bila dapat mencapai efek terapi yang diinginkan. Kemampuan mencapai efek terapi ini tergantung pada berapa jumlah kadar obat dalam darah yang terdistribusi secara sistemik. Suatu obat mempunyai range kadar terapetik minimum dan maksimum yang diperlukan untuk mencapai efek terapi. Jika kadar obat dalam darah kurang dari kadar terapetik minimum maka obat tidak akan ber-efek, dan jika kadar obat dalam darah lebih besar dari kadar terapetik maksimum maka obat masuk dalam kadar toksik/racun. Konsep ini sering disebut dengan bioavailabilitas/BA obat, yaitu jumlah obat yang diabsorbsi oleh tubuh dan masuk dalam sirkulasi sistemik.
Bagian yang sangat penting dalam bioavailabilitas obat adalah absorbs/penyerapan obat ke dalam sirkulasi sistemik. Dua (2) unsur penting dalam absorbsi obat yaitu kecepatan absorbsi dan jumlah obat yang diabsorbsi. Kecepatan absorbsi dan jumlah obat yang diabsorbsi ini sangat tergantung pada formulasi/pembuatan sediaan obatnya. Formulasi obat menggunakan teknologi dan bahan tambahan yang berbeda-beda untuk masing-masing industri farmasi. Bahan tambahan atau bahan eksipien obat yaitu bahan selain zat aktif yang diperlukan dalam suatu formulasi untuk berbagai tujuan dan fungsi. Misalnya ada bahan pengikat, bahan penghancur, bahan pengisi, lubrikan, dll. Meskipun sebagai bahan tambahan, namun bahan ini sangat penting untuk kesuksesan produksi obat sehingga dapat digunakan. Bahan-bahan tersebut menentukan kecepatan waktu hancur (misal sediaan tablet) dan kecepatan pelarutan obat (dissolusi dan disintegrasi), sehingga zat aktif tersedia untuk kemudian diabsorbsi ke dalam sirkulasi sistemik. Hal inilah yang menjadi penyebab bahwa kecepatan absorbsi dan jumlah obat yang diabsorbsi untuk masing-masing obat juga berbeda-beda, walaupun zat aktifnya sama. Sehingga obat yang sama memberikan efek terapetik yang berbeda-beda.
Seyogyanya semua obat dengan formulasi yang berbeda (formulasi dari masing-masing industri merupakan resep rahasia) melakukan uji BA/BE ini. Namun, uji ini memerlukan biaya yang cukup mahal. Industri obat generik atau bahkan juga obat branded, kadang mengalami hambatan biaya dalam melakukan uji BA/BE ini. Kadang tidak semua obat generik melakukan uji BA/BE. Bahkan ada pula obat branded yang tidak melakukan uji BA/BE. Pengujian inilah yang membedakan kualitas suatu obat.
Obat yang sudah mempunyai sertifikat uji BA/BE, entah itu generik ataupun branded bisa dijamin efikasi dan keamanannya. Obat yang belum melakukan uji BA/BE masih diragukan kualitas, efikasi dan keamanannya untuk digunakan.
____________________________
Berdasarkan pengalaman menggunakan obat, onset (mulainya obat bekerja) dan durasi (lamanya obat berkerja) obat-obat branded (apalagi branded yang terkenal dan dibuat oleh industri berskala internasional) jauh lebih cepat onsetnya dan lebih lama durasinya. Dan diantara masing-masing branded pun mempunyai variasi onset dan durasi obat tersebut. Sedangkan obat generik biasanya onsetnya lebih lama dan durasinya lebih pendek.
Dari sisi ilmiah, hal tersebut memang ada dasarnya. Bukan hanya berdasar karena obat branded itu beli merek atau biaya iklannya tinggi dan dibebankan ke konsumen. Satu sisi pendapat itu memang demikian. Tidak salah juga. Namun dari segi ilmiah, dilihat dari sisi absorbsi obat dan efektivitas kerja obat, maka dipengaruhi juga oleh bahan tambahan atau bahan eksipien obat yang lain (jadi misalnya tablet parasetamol itu isinya bukan hanya bahan aktif parasetamol saja, tapi juga ada bahan-bahan lain). Sama-sama parasetamol, tapi bahan tambahannya berbeda, maka kecepatan absorbsi obat dan efektivitas kerja obatnya juga akan berbeda. Nah, industri-industri obat terkenal banyak yang mencari keunggulan dengan menggunakan bahan tambahan atau eksipien obat yang bagus, dan tentu saja mahal, untuk meningkatkan profil dan kualitas kerja obat.
____________________________
Lanjut ...
Secara teoritis, kalau produsen dari obat generik (umumnya yang berlogo) tersebut professional dan bertanggungjawab, dalam hal ini telah mengikuti standar cara pembuatan obat yang baik (CPOB/GMP), maka harusnya memang tidak berbeda.
CPOB mengatur proses pembuatan obat generik dan uji BA/BE (bioavailabilitas dan bioekivalensi). Badan POM pada tahun 2007 telah mempersyaratkan semua jenis obat termasuk obat generik untuk melakukan uji BA/BE sebagai syarat registrasi produknya. Tentunya, seperti biasanya - pelaksanaannya adalah soal lain, dan tidak menjadi bahasan di artikel ini.
Jika semua prosedur ditaati secara benar, maka klaim bahwa obat generik adalah obat orang miskin dan kurang berkhasiat jelas menyesatkan, tidak berdasar, dan tidak mendidik. Jika ada alternatif yang terjangkau dan berkhasiat kenapa harus memaksakan obat yang mahal? Salah satu faktor utama yang membuat harga jual obat bermerek menjadi sangat tinggi adalah biaya promosi langsung untuk dokter.
Perbandingan harga harga obat generic berlogo dengan obat bermerek ada yang 1:2, 1:5, 1:10, 1:20, atau bahkan ada yang lebih dari itu.
Berikut uraian singkat untuk beberapa istilah/terminologi di artikel ini.
Obat paten
Obat paten pastilah bermerek, tetapi obat bermerek belum tentu masih mengadopsi paten dari Inventor-nya. Bingung? Sederhananya, yang disebut obat paten adalah obat yang masih dalam masa hak patennya. Tidak ada pihak lain yang boleh melakukan produksi obat ini, kecuali atas ijin dari pemegang paten. Dalam hal ini, istilah paten disini adalah mencakup bahan aktif dan mereknya. Masa paten adalah berbeda di setiap Negara, USA=10 tahun, Australia=25 tahun, …
Obat bermerek
Obat bermerek adalah obat yang diberi nama tidak berdasarkan bahan-aktif utamanya. Biasanya, namanya tetap mirip-mirip (atau potongan suku kata) nama bahan aktifnya. Paten pada obat bermerek hanyalah mutlak pada merek-nya saja, dan tidak mutlak pada kandungan bahan aktifnya. Bahan aktifnya bisa saja sudah menjadi generik (bukan dalam masa paten lagi). Sekarang ini, produsen obat bermerek diwajibkan mencantumkan juga nama bahan-aktif dalam kemasan obatnya, biasanya dituliskan dibawah nama/merek obat tersebut dengan menggunakan font/huruf yang lebih kecil.
Obat generik
Obat generik adalah obat yang diberi nama berdasarkan bahan-aktifnya. Ada yang tanpa kemasan (benar-benar generic), ada yang berlogo (nama generik tetap sama tetapi dengan pencantuman logo spesifik dari perusahaan pharmasi yang membuatnya).
Obat campuran
Yang dimaksud disini adalah yang dalam kemasan (bukan puyer yang diracik berdasarkan resep dokter). Obat campuran juga sudah pasti bermerek dan memiliki paten atas merek-nya. Biasanya jenis ini merupakan obat bebas (seperti obat flu, obat batuk, dll). Tetapi, saat ini juga sudah ada obat campuran generic berlogo (yakni Obat Indo Serbu / serba-seribu) yang dikampanyekan oleh Pemerintah.
Uraian mengenai hal-hal yang lebih rinci dapat dilihat pada web-site berikut :
http://annawahyuni.multiply.com/journal/item/15
http://subhanallahu.multiply.com/journal/item/77/Antara_MedRep_Dokter_dan_MLM-ers
yang beberapa itemnya saya kutipkan di bawah ini :
____________________________
Suatu obat dapat dikatakan berkualitas bila dapat mencapai efek terapi yang diinginkan. Kemampuan mencapai efek terapi ini tergantung pada berapa jumlah kadar obat dalam darah yang terdistribusi secara sistemik. Suatu obat mempunyai range kadar terapetik minimum dan maksimum yang diperlukan untuk mencapai efek terapi. Jika kadar obat dalam darah kurang dari kadar terapetik minimum maka obat tidak akan ber-efek, dan jika kadar obat dalam darah lebih besar dari kadar terapetik maksimum maka obat masuk dalam kadar toksik/racun. Konsep ini sering disebut dengan bioavailabilitas/BA obat, yaitu jumlah obat yang diabsorbsi oleh tubuh dan masuk dalam sirkulasi sistemik.
Bagian yang sangat penting dalam bioavailabilitas obat adalah absorbs/penyerapan obat ke dalam sirkulasi sistemik. Dua (2) unsur penting dalam absorbsi obat yaitu kecepatan absorbsi dan jumlah obat yang diabsorbsi. Kecepatan absorbsi dan jumlah obat yang diabsorbsi ini sangat tergantung pada formulasi/pembuatan sediaan obatnya. Formulasi obat menggunakan teknologi dan bahan tambahan yang berbeda-beda untuk masing-masing industri farmasi. Bahan tambahan atau bahan eksipien obat yaitu bahan selain zat aktif yang diperlukan dalam suatu formulasi untuk berbagai tujuan dan fungsi. Misalnya ada bahan pengikat, bahan penghancur, bahan pengisi, lubrikan, dll. Meskipun sebagai bahan tambahan, namun bahan ini sangat penting untuk kesuksesan produksi obat sehingga dapat digunakan. Bahan-bahan tersebut menentukan kecepatan waktu hancur (misal sediaan tablet) dan kecepatan pelarutan obat (dissolusi dan disintegrasi), sehingga zat aktif tersedia untuk kemudian diabsorbsi ke dalam sirkulasi sistemik. Hal inilah yang menjadi penyebab bahwa kecepatan absorbsi dan jumlah obat yang diabsorbsi untuk masing-masing obat juga berbeda-beda, walaupun zat aktifnya sama. Sehingga obat yang sama memberikan efek terapetik yang berbeda-beda.
Seyogyanya semua obat dengan formulasi yang berbeda (formulasi dari masing-masing industri merupakan resep rahasia) melakukan uji BA/BE ini. Namun, uji ini memerlukan biaya yang cukup mahal. Industri obat generik atau bahkan juga obat branded, kadang mengalami hambatan biaya dalam melakukan uji BA/BE ini. Kadang tidak semua obat generik melakukan uji BA/BE. Bahkan ada pula obat branded yang tidak melakukan uji BA/BE. Pengujian inilah yang membedakan kualitas suatu obat.
Obat yang sudah mempunyai sertifikat uji BA/BE, entah itu generik ataupun branded bisa dijamin efikasi dan keamanannya. Obat yang belum melakukan uji BA/BE masih diragukan kualitas, efikasi dan keamanannya untuk digunakan.
____________________________
Berdasarkan pengalaman menggunakan obat, onset (mulainya obat bekerja) dan durasi (lamanya obat berkerja) obat-obat branded (apalagi branded yang terkenal dan dibuat oleh industri berskala internasional) jauh lebih cepat onsetnya dan lebih lama durasinya. Dan diantara masing-masing branded pun mempunyai variasi onset dan durasi obat tersebut. Sedangkan obat generik biasanya onsetnya lebih lama dan durasinya lebih pendek.
Dari sisi ilmiah, hal tersebut memang ada dasarnya. Bukan hanya berdasar karena obat branded itu beli merek atau biaya iklannya tinggi dan dibebankan ke konsumen. Satu sisi pendapat itu memang demikian. Tidak salah juga. Namun dari segi ilmiah, dilihat dari sisi absorbsi obat dan efektivitas kerja obat, maka dipengaruhi juga oleh bahan tambahan atau bahan eksipien obat yang lain (jadi misalnya tablet parasetamol itu isinya bukan hanya bahan aktif parasetamol saja, tapi juga ada bahan-bahan lain). Sama-sama parasetamol, tapi bahan tambahannya berbeda, maka kecepatan absorbsi obat dan efektivitas kerja obatnya juga akan berbeda. Nah, industri-industri obat terkenal banyak yang mencari keunggulan dengan menggunakan bahan tambahan atau eksipien obat yang bagus, dan tentu saja mahal, untuk meningkatkan profil dan kualitas kerja obat.
____________________________
Lanjut ...
Tuesday, June 9, 2009
Selingkuh Dokter dan Industri Farmasi
Karena penasaran dengan isu ini, dengan terpaksa waktu kerja dikorbankan sebentar unutuk googling. Search key-nya sederhana : “fee perusahaan farmasi ke dokter”. Hasilnya lumayan, dan dua artikel saya copas di bawah ini, karena sudah mewakili topic ini.
Ternyata, perselingkuhan ini sudah lama terjadi di Indonesia. ‘Legalisasi’ pemberian fee/tip/fasilitas dari perusahaan/industri farmasi ke dokter, kalau di profesi lain sama dengan suap/korupsi dari vendor /kontraktor ke project owner/panitia lelang.
Secara awam, untuk memutus rantai ini, minimal untuk meng-ilegalkan praktek ini, IDI cukup menambahkan kode etik berikut :
“Dokter dilarang untuk menerima pemberian dari Industri Farmasi dan/atau jaringan distribusinya dalam bentuk apapun (fee, tip, tiket, fasilitas, dll)”
Hal semacam ini juga sudah dilakukan oleh profesi lain (meskipun korupsi tetap jalan terus, tetapi minimal kita tahu dan sadar sepenuhnya bahwa hal tersebut ilegal alias harom).
Apakah hal semacam ini juga terjadi di negera-negara lain? Ternyata setali tiga uang. Berikut abstract dari salah satu hasil study yang di publish :
_______________________________
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10647801
JAMA (the journal of the American Medical Association)
JAMA. 2000;283:373-380.
PMID: 10647801 [PubMed - indexed for MEDLINE
Physicians and the pharmaceutical industry: is a gift ever just a gift?
Ashley Wazana, MD
cxwz@musica.mcgill.ca
McGill University, Montreal, Quebec, Canada.
CONTEXT: Controversy exists over the fact that physicians have regular contact with the pharmaceutical industry and its sales representatives, who spend a large sum of money each year promoting to them by way of gifts, free meals, travel subsidies, sponsored teachings, and symposia.
OBJECTIVE: To identify the extent of and attitudes toward the relationship between physicians and the pharmaceutical industry and its representatives and its impact on the knowledge, attitudes, and behavior of physicians.
DATA SOURCES: A MEDLINE search was conducted for English-language articles published from 1994 to present, with review of reference lists from retrieved articles; in addition, an Internet database was searched and 5 key informants were interviewed.
STUDY SELECTION: A total of 538 studies that provided data on any of the study questions were targeted for retrieval, 29 of which were included in the analysis.
DATA EXTRACTION: Data were extracted by 1 author. Articles using an analytic design were considered to be of higher methodological quality.
DATA SYNTHESIS: Physician interactions with pharmaceutical representatives were generally endorsed, began in medical school, and continued at a rate of about 4 times per month. Meetings with pharmaceutical representatives were associated with requests by physicians for adding the drugs to the hospital formulary and changes in prescribing practice. Drug company-sponsored continuing medical education (CME) preferentially highlighted the sponsor's drug(s) compared with other CME programs. Attending sponsored CME events and accepting funding for travel or lodging for educational symposia were associated with increased prescription rates of the sponsor's medication. Attending presentations given by pharmaceutical representative speakers was also associated with nonrational prescribing.
CONCLUSION: The present extent of physician-industry interactions appears to affect prescribing and professional behavior and should be further addressed at the level of policy and education.
_______________________________
Hubungan Industri Farmasi dan Dokter
Oleh Dr. Samsuridjal Djauzi
http://samsuridjal.wordpress.com/2007/01/25/hubungan-industri-farmasi-dan-dokter/
Di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia saya memberikan kuliah Hubungan Dokter-Pasien. Mahasiswa kedokteran perlu mempunyai ketrampilan berkomunikasi dan mempunyai empati untuk membina hubungan dokter-pasien yang baik. Hubungan dokter pasien diperlukan untuk mencapai hasil pengobatan yang diinginkan.
Dalam mata ajaran dibahas mengenai cara meningkatkan ketrampilan berkomunikasi serta menumbuhkan empati. Jika dokter mampunyai ketrampilan komunikasi yang baik serta mempunyai empati maka ketrampilan tersebut akan merupakan modal utama dalam mengamalkan etik kedokteran.
Hubungan dokter-pasien dewasa ini merupakan topik yang semakin sering dibahas. Apalagi dengan semakin meningkatnya ketidakpuasan pasien dan keluarga terhadap layanan dokter di Indonesia maka pentingnya hubungan dokter-pasien yang baik semakin dirasakan.
Bagaimana pula dengan hubungan industri farmasi dan dokter ? Kita dapat memandang hubungan ini dari berbagai segi. Media massa sering memberitakannya sebagai hubungan yang kurang sehat dan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan harga obat di Indonesia semakin tak terjangkau. Industri farmasi melalui perusahaan yang memasarkan obatnya dituduh dengan berbagai cara membujuk dokter untuk meresepkan produknya. Sedangkan dokter diduga telah mengambil keuntungan dari peresepan obat tersebut. Opini publik mengenai hubungan seperti itu cukup kuat seolah memang sebagaian besar dokter melakukannya. Upaya profesi kedokteran dan farmasi untuk menegakkan etik dalam peran masing-masing sebenarnya cukup nyata. Ikatan Dokter Indonesia berkali-kali mengingatkan anggotanya agar berpihak pada masyarakat lemah dan tidak tergoda bujuk rayu perusahaan farmasi. Di lain pihak profesi kepfarmasian serta perhimunan industri farmasi juga telah menyusun etik pemasaran yang pada dasarnya mencegah pemasaran obat dengan cara hubungan tak sehat dengan dokter. Pada panduan pemasaran tersebut jelas disebutkan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam pemasaran obat yang berkaitan dengan hubungan industri farmasi dengan dokter. Pemberian hadiah apalagi uang dilarang. Perusahaan farmasi dapat mendukung program pengembangan profesi dokter namun dukungan tersebut tidak dilakukan untuk perorangan tapi untuk pengembangan profesi atau institusi. Jika profesi kedokteran dan kefarmasian sudah mempunyai rambu-rambu dalam hubungan industri farmasi dan dokter kenapa masih ada kecurigaan masyarakat ?Masyarakat merasakan beban harga obat yang semakin tinggi. Meski mereka memahami biaya untuk penemuan obat baru amat mahal namun mereka juga merasakan bahwa banyak obat sekarang ini yang harganya sudah lebih tinggi daripada emas. Obat yang sudah habis masa patennya di Indonesia tak kunjung turun harganya. Padahal di negeri lain obat tersebut harganya diturunkan secara nyata. Beban yang dipikul masyarakat semakin terasa berat karena sebagian besar anggota masyarakat harus membayar harga tersebut dengan uang dari kantong mereka sendiri. Jumlah peserta asuransi kesehatan di negeri kita belumlah seperti yang diharapkan.Mungkinkan hubungan industri farmasi-dokter dikembangkan untuk kepentingan yang lebih luas yaitu masyarakat. Industri farmasi memproduksi obat yang bermutu serta biaya pemasarannya tidak tinggi. Dokter menggunakan obat secara rasional dan tidak terpengaruh oleh bujukan perusahaan farmasi. Persaingan yang sehat di kalangan industri farmasi akan memperkuat industri farmasi. Sedangkan penggunaan obat secara rasional sesuai dengan prinsip profesi keberpihakkan kepada masyarakat luas (altruisme). Maukah industri farmasi di Indonesia meningkatkan kemampuannya sehingga lebih mampu bersaing ? Maukah kalangan kedokteran menghapus berbagai previlege yang mungkin ada selama ini sebagai efek samping persaingan pemasaran obat yang tidak sehat ? Nampaknya jawabannya hanya satu yaitu : harus mau. Kalau tidak kepercayaan masyarakat kepada industri farmasi dan profesi kedokteran di negeri kita akan semakin pudar.
_______________________________
Mengakhiri Kolusi Dokter dan Perusahaan Farmasi
Oleh: Muhammad Ichsan, SH.
Advokat di Jakarta. Ketua Lembaga Advokasi dan Bantuan Hukum Konsumen Indonesia (LABHKI), dan Sekjen Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (APHI)
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=18808&cl=Kolom
[20/3/08]
Apakah kolusi dokter dan perusahaan farmasi itu riil? Apa bentuknya? Apa akibtanya? Siapa yang dirugikan? Apa sanksinya? Inilah antara lain pertanyaan yang banyak disampaikan konsumen.
Ketika Anda berobat ke dokter, pasti harapannya adalah kesembuhan. Anda tidak tahu apa penyakit Anda, sebagaimana Anda juga tidak tahu pilihan obat yang tepat untuk kesembuhan Anda. Sehingga Anda datang berobat ke dokter, karena dokterlah yang bisa mendiagnosis penyakit dan memilih obatnya. Dalam hubungan itu Anda menyerahkan sepenuhnya pilihan obat untuk kesembuhan Anda kepada dokter, yang kemudian menuliskan ‘resep’.
Namun tanpa disadari, begitu Anda datang berobat ke dokter, ada kepentingan lain di luar hubungan Anda dan dokter. Perusahaan-perusahaan farmasi berharap bagaimana agar dokter yang memeriksa Anda meresepkan obat-obatan produksi mereka. Obat yang diresepkan sang dokter kemudian Anda tebus ke apotik. Dan sesaat kemudian Anda terkejut. Ternyata obat yang sangat diperlukan untuk kesembuhan Anda sangatlah mahal, malah bisa di luar perkiraan semula.
Dalam keadaan demikian hanya dua pilihan: pembelian obat ditunda atau Anda menebus separohnya. Anda tidak akan tahu mengapa obat yang dibutuhkan itu mahal, sepertihalnya Anda tidak tahu mengapa dokter meresepkan obat yang mahal. Dan kita juga tidak akan pernah tahu apakah jenis dan kualitas obat mahal yang diresepkan dokter berguna atau tidaknya bagi kesembuhan anda.
Obat resep dokter … ya mahal. Kenapa? Karena obat berasal dari perusahaan farmasi yang punya kepentingan finansial terhadap resep yang ditulis dokter. Dengan kata lain, sakitnya pasien dan penulisan resep dokter menjadi substansi hubungan kolusi dan marketing bisnis perusahaan farmasi. Apakah Anda tahu itu? Mungkin menduga-duga. Tetapi perusahaan farmasi sejatinya tidak menginginkan Anda tahu hubungan mutualisma mereka. Anda sakit, ingin sembuh, lalu berobat ke dokter, terus dokter memberi resep obat, Anda tebus ke apotik dan harganya mahal. Kalau ingin sembuh, bagaimanapun Anda harus membelinya. Take it or leave it.
Begitulah fenomena di tengah masyarakat yang seolah dijustifikasi. Mahalnya harga obat dianggap sesuatu yang lumrah dan wajar, tanpa berusaha menggali akar permasalahan dan mencari solusinya. Naifnya lagi, pemikiran ini juga ada pada mereka-mereka yang menerima amanah rakyat untuk mengurus masalah kesehatan di negeri ini. Adanya kolusi dokter dan perusahaan farmasi menjadi penyebab mahalnya harga obat dinegeri ini. Badan Penelitian dan Pengembangan (Balibang) - Departemen Kesehatan RI dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) mensinyalir mahalnya harga obat di Indonesia 200 kali lipat dari harga obat di pasaran dunia (Liputan 6 SCTV, 23 Juli 2007).
Keadaan ini diakui Prof. Agus Purwadianto, Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) yang sekarang Kepala Biro Hukum dan Organisasi – Departemen Kesehatan. Menurut dia, kolusi dokter - perusahaan farmasi sudah melanggar kode etik dan disiplin kedokteran. Sebab, dokter memberikan resep bukan berdasarkan penyakit pasien, melainkan gejala penyakit yang telah diperkirakan dokter sebelumnya. Obat yang diresepkan berdasarkan kontrak perusahaan farmasi dengan dokter.
Dampak dari praktek ‘dokter kontrak’ ini menyebabkan harga obat tinggi. Perusahaan farmasi membebankan biaya insentif dokter sebesar 20 % (dua puluh persen) itu dari harga obat’. Selanjutnya ditegaskan : ‘Praktek kolusi ini dilakukan oleh seluruh dokter di Indonesia. Sebagian besar dokter tersebut bekerja sama dengan perusahaan obat lokal yang tergabung dalam Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi’. Namun, Ketua GP Farmasi Anthony Charles Sunarjo menyatakan tidak pernah ada laporan soal kolusi antara dokter dan farmasi, sehingga sulit bagi asosiasi ataupun Mejelis Etik Usaha Farmasi Indonesia untuk memberikan sanksi ….. ‘Saya tidak bilang tidak ada, tetapi memang tidak ada buktinya’ (Koran Tempo, 16 Agustus 2007).
Hal ini dibenarkan Kartono Mohammad, mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Perselingkuhan produsen obat dengan dokter memang sulit dibuktikan. Namun bukan tidak bisa diraba, misalnya dari jumlah dan jenis obat yang diresepkan seorang dokter. Bukan hal yang aneh dalam satu resep terdapat sampai lima jenis obat, padahal yang dibutuhkan pasien sebenarnya cuma tiga jenis obat. Ada obat yang tidak perlu diberikan, tapi tetap ditulis dalam resep. Begitu juga jika semua obat yang diresepkan berasal dari produsen yang sama (Liputan 6 SCTV, 23 Juli 2007).
Dengan demikian, sinyalemen kolusi dokter dengan perusahaan farmasi bagaikan angin, terasa ada tapi tidak bisa ditangkap.
Mata rantai kolusi
Dari hasil pengamatan, niat, kemauan atau gagasan untuk berkolusi bukan hanya datang dari perusahaan farmasi. Adakalanya atas permintaan dokter. Perusahaan farmasi memproduksi obat bermerek (paten) untuk dijual. Sedang dokter punya kewenangan menentukan obat. Dengan cara itu perusahaan farmasi berkepentingan obatnya laku terjual. Uniknya, pemasaran obat oleh perusahaan farmasi dilakukan dengan sistem ‘detailing’: perusahaan farmasi melalui jaringan distributor melakukan pendekatan tatap muka dengan dokter yang berpraktek di rumah sakit atau praktek pribadi. Kegiatan detailing ini mempunyai berbagai nuansa, termasuk adanya komunikasi untuk mendapatkan situasi yang saling menguntungkan antara dokter dan perusahaan farmasi. Dan dalam komunikasi inilah terbuka kemungkinan terjadinya kolusi dokter dengan perusahaan farmasi.
Sebaliknya, dokter punya kepentingan terhadap komisi dari perusahaan farmasi. Dari sinilah lahir permufakatan kedua belah pihak, yang disebut kolusi atau conpiracy of silent. Yang berperan aktif menggalang permufakatan ini adalah para detailer atau Marketing Representatif/MR. Mereka secara berkala selalu melakukan kunjungan ke dokter-dokter. Jumlah tempat praktek, terutama jumlah konsumen berobat menjadi ukuran untuk menentukan bentuk, arah permufakatan dan besaran kompensasi. Walau tidak semua dokter melakukan kolusi dengan perusahaan farmasi, kompensasi kolusi itu tetap menggiurkan. Misalnya pemberian uang/barang, mensponsori seminar dan fasilitas akomodasi serta acara family gathering sampai ke pembayaran angsuran leasing mobil.
Perusahaan farmasi menghitungnya sebagai ‘biaya promosi’ yang dimasukkan ke dalam ‘biaya produksi’. Sehingga biaya produksi menjadi tinggi dan harga obat menjadi mahal. Mahalnya harga obat sepenuhnya menjadi tanggungan konsumen. Prof. Agus Purwadianto menyebutkan 20 % dari harga jual obat yang dialokasikan perusahaan farmasi untuk biaya promosi. Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) dokter Marius Widjajarta memperkirakan angka Rp500 miliar per tahun dikeluarkan perusahaan farmasi untuk biaya promosi. Namun perlu diyakini, jumlah uang beredar di kalangan dokter secara keseluruhan lebih dari 20 % dan lebih dari Rp. 500 miliar.
Ketua Ikatan Sarjana Farmasi (ISFI) Haryanto Dhanutirto memprediksi perusahaan farmasi memberikan diskon kepada dokter sampai 40 % dan kepada apotik 5% - 10%. Sedangkan Syofarman Tarmizi, Direktur Pemasaran Kimia Farma memperkirakan jumlah dana yang masuk ke dokter-dokter sekitar Rp10,5 triliun dari jumlah Rp20,3 triliun total market obat di Indonesia (Media Indonesia Online, 04 Juni 2007).
Dari uraian di atas semakin jelas bahwa kolusi menyebabkan harga obat merek/paten yang selama ini dikonsumsi konsumen Indonesia menjadi sangat mahal melebihi harga obat di luar negeri.
Aspek hukum perbuatan kolusi
Walau kolusi dokter - perusahaan farmasi sulit dibuktikan, pada tahun 2002 Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengantisipasinya melalui perangkat Surat Keputusan (SK) Kepala BPOM No. HK.00.05.3.02706 tentang Promosi Obat. Pasal 9 SK ini memuat sejumlah larangan bagi Industri Farmasi dan/atau Pedagang Besar Farmasi.
Mereka dilarang (a) melakukan kerja sama dengan apotik dan penulis resep; (b) kerja sama dalam pengresepan obat dengan apotik dan/atau penulis resep dalam suatu program khusus untuk meningkatkan penjualan obat tertentu; (c) memberikan bonus/hadiah berupa uang (tunai, bank draft, pinjaman, voucher, tiket) dan/atau barang kepada penulis resep yang meresepkan obat produksinya dan/atau yang didistribusikan. Sedangkan pengawasan terhadap kegiatan promosi obat oleh perusahaan farmasi dilakukan sepenuhnya BPOM dengan membentuk komisi independen.
Mereka yang melanggar larangan tadi bisa dikenakan sanksi mulai dari peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan, hingga pencabutan izin edar obat bersangkutan.
Mengacu pada sanksi pidana sebagaimana dimaksud SK BPOM tadi, pasal 62 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan : ‘Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 13 Ayat (2), pasal 15, pasal 17 Ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lima tahun atau pidana denda maksimal dua miliar.
Sayang, langkah mundur justru datang dari Departemen Kesehatan yang pada tanggal 11 Juni 2007 memfasilitasi kesepakatan bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan GP Farmasi membentuk ‘Etika Promosi Obat’. Padahal izin usaha perusahaan farmasi dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) SK Menkes RI No.1191/Menkes/SK/IX/2002 tentang Perusahaan Besar Farmasi. Demikian juga izin praktek dokter dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan berdasarkan pasal 37 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.
Seharusnya Depkes proaktif menghentikan kolusi dokter - perusahaan farmasi sekaligus melindungi rakyat dari kesulitan membeli obat. Caranya, antara lain menerapkan perangkat hukum dengan sanksi yang tegas dan pasti. Bukan sebaliknya menerbitkan etika/kode etik yang justru cukup dan terbatas hanya di lingkungan organisasi masing-masing, seperti Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) untuk kalangan dokter.
Ada beberapa poin ‘Etika Promosi Obat’ yang patut dikemukakan di sini. Pertama, seorang dokter dalam melakukan pekerjaan kedokterannya tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi. Kaitannya dengan promosi obat adalah dokter dilarang menjuruskan pasien untuk membeli obat tertentu karena dokter yang bersangkutan telah menerima komisi dari perusahaan farmasi tertentu. Kedua, dukungan apapun yang diberikan perusahaan farmasi kepada seorang dokter untuk menghadiri pertemuan ilmiah tidak boleh didikaitkan dengan kewajiban untuk mempromosikan atau meresepkan suatu produk. Ketiga, perusahaan farmasi boleh memberikan sponsor kepada seorang dokter secara individual dalam rangka pendidikan kedokteran berkelanjutan, yaitu hanya untuk biaya registrasi, akomodasi dan transportasi dari dan ke tempat acara pendidikan kedokteran berkelanjutan.
Keempat, perusahaan farmasi dilarang memberikan honorarium dan atau uang saku kepada seorang dokter untuk menghadiri pendidikan kedokteran berkelanjutan, kecuali dokter tersebut berkedudukan sebagai pembicara atau menjadi moderator. Kelima, dalam hal pemberian donasi kepada profesi kedokteran, perusahaan farmasi tidak boleh menawarkan hadiah/ penghargaan, insentif, donasi, finansial dalam bentuk lain sejenis, yang dikaitkan dengan penulisan resep atau anjuran penggunaan obat perusahaan tertentu. Keenam, pemberian donasi dan atau hadiah dari perusahaan farmasi hanya diperbolehkan untuk organisasi profesi kedokteran dan tidak diberikan kepada dokter secara individual. Terakhir, ketujuh, Ikatan Dokter Indonesia harus menyusun dan memverifikasi berbagai kegiatan resmi organisasi, khususnya yang berkaitan dengan sponsorship atau pendanaan dari anggota GP Farmasi Indonesia serta melakukan koordinasi dengan perusahaan farmasi untuk tindak lanjutnya.
Sebelum adanya Etika Promosi Obat, sejak tahun 1983 telah berlaku Kode Etik Kedokteran Indonesia. Pasal 3 KODEKI menetapkan bahwa dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi.
Apakah dengan KODEKI ini prilaku dokter berubah sejak tahun 1983, sementara pelayanan medis dokter semakin mengarah pada ‘profit oriented’, dibandingkan ‘service oriented’ atau ‘social oriented’?. Masalahnya, harga obat tetap tinggi dan kolusi diduga tetap berjalan.
Perusahaan farmasi maupun dokter akan selalu menyiasati dengan berbagai cara menghindar dari ketentuan KODEKI maupun Etika Promosi Obat yang notabene tidak memiliki kekuatan hukum apapun, baik sanksi maupun eksekutorialnya. Cara yang lazim dilakukan antara lain melampirkan brosur seminar/temu ilmiah pada lembar transfer bank dan mengalokasikan komisi dokter pada jumlah gaji staf marketing guna menghindari keterlibatan perusahaan secara lansung.
Kolusi sebagai tindak pidana korupsi
Wantan Wakil Ketua Komisi Pemberatasan Kosupsi (KPK) Syahruddin Rasul mengatakan, bahwa korupsi itu terjadi karena ‘power tidak disertai dengan akuntabilitas’ (‘Patofisiologi Korupsi Di Bidang Kesehatan’, Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, 01 Maret 2006). Makna akuntabilitas adalah pertanggung jawaban dari seseorang yang diberi amanah untuk melaksanakan tugas kepada pihak yang memberikan amanah. Dokter sebagai tenaga professional memiliki power dan kewenangan untuk memutuskan diagnosis apa yang dia yakini benar, kewenangan memberikan perawatan dan pengobatan atas diagnosis yang telah diputuskan.
Mengacu pada model yang dikemukakan Syahruddin Rasul, maka power dan kewenangan yang dimiliki dokter sebagai tenaga profesional harus akuntabel. Seandainya tidak akuntabel atau tidak bisa diaudit keputusan-keputusannya, maka peluang korupsi akan tercipta.
Dasar hukum untuk melakukan audit terhadap semua keputusan dokter berupa diagnosis dan tindak lanjutnya tertuang dalam Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan No. 434/Menkes/SK/X/ 1983 tentang Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Menurut regulasi ini, seorang dokter hanya memberikan keterangan atau pendapat yang dapat dibuktikan kebenarannya. Dengan demikian, dapat ‘dibuktikan’ merupakan kata kunci yang memberi peluang untuk dilaksanakannya audit terhadap semua keputusan yang ditetapkan dokter dalam menggunakan power dan kewenangannya itu.
Relevan dengan itu, UU Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi memuat ketentuan ‘gratifikasi’, yaitu pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa uang, ticket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya, dengan ancaman hukuman pidana seumur hidup, atau pidana paling singkat 4 tahun dan pidana denda antara Rp200 juta hingga Rp1 miliar.
Dengan demikian, kolusi dokter – perusahaan farmasi berpotensi untuk dibawa ke ranah korupsi. Konsumen yang merasa dirugikan ulah dokter dan perusahaan farmasi bisa melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Celakanya, hingga saat ini KODEKI dan Etika Promosi Obat belum bisa sepenuhnya mengubah prilaku dokter dan perusahaan farmasi.
____________________________
http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2006/01/24/AR2006012401483.html
Distance Sought Between Doctors and Drug Industry
By Ceci Connolly
Washington Post Staff Writer
Wednesday, January 25, 2006; Page A08
Declaring that the pervasive influence of drug industry money is distorting doctors' treatment decisions and scientific findings, a prestigious panel of medical experts called on their colleagues yesterday to adopt far-reaching new conflict-of-interest policies.
In an article in the Journal of the American Medical Association, the group said that voluntary efforts to limit corporate inducements have failed, resulting in the overprescribing of some medications and the withholding of negative discoveries about others. Highly publicized cases involving the anti-inflammatory drug Vioxx, antidepressants for children and spinal implants made by Medtronic -- all occurring while voluntary guidelines were in place -- highlight the need for stricter measures, they said.
"My mother told me never to accept gifts from strangers. If a stranger wants to give you a gift, it's very likely they want something in return," said Jordan J. Cohen, president of the Association of American Medical Colleges and a co-author of the new proposal. "We've become overly dependent on these kinds of blandishments to support our core activities, and that is jeopardizing public trust and scientific integrity."
The panel -- which includes Cohen, officials from several medical schools and members of the Institute on Medicine as a Profession -- urged the nation's 400 teaching hospitals to impose stringent measures, including a ban on accepting gifts, meals and drug samples and tight restrictions on outside income. A series of articles published today in the journal Academic Medicine reach similar conclusions, noting that strict, standardized policies are needed to ensure patients receive unbiased, evidence-based treatments.
Spokesmen for the pharmaceutical industry said the extra steps are unnecessary and could deprive physicians of valuable information.
From their first rounds as residents, doctors travel in a world increasingly dominated by drug company salespeople proffering meals, office supplies, entertainment and even cash to speak at conferences or sit on advisory boards.
Some physicians have been paid lucrative consulting retainers for no specific work; others are paid to put their names on articles ghostwritten by industry employees. One congressional inquiry cited in the report found that pharmaceutical executives steer research grants to doctors and schools that promote their firms' drugs.
"The problem has gotten worse and worse and worse," Cohen said. The relationships can prompt doctors to order unnecessary tests, prescribe more expensive medicines or advocate adding certain medications to a hospital's list of preferred drugs, he said.
Although most doctors say their relationships with drugmakers do not affect medical decisions, numerous studies suggest otherwise.
"There is solid evidence it isn't the size of the gift, it's the gifting itself that creates a sense of loyalty and indebtedness," said Sharon Levine, associate executive director of Kaiser Permanente's Northern California group practice. The 6,000-doctor practice and the Yale University School of Medicine are among the only institutions in the nation to implement policies similar to those outlined in JAMA.
"The industry is spending $13 billion per year on direct-to-physician promotion," she continued. "That wouldn't be happening if it weren't resulting in changing patterns of utilization. It doesn't necessarily mean patients are getting bad care, but it does mean their influence is out there."
Judging from the "grumbling" he has heard from physicians, Scott Lassman, assistant general counsel at the Pharmaceutical Research and Manufacturers of America, the industry's lobbying group, said voluntary guidelines issued by industry, government and the profession in recent years seem to be working. Modest gifts such as lunch or pens may persuade a doctor "to listen to the presentation of information, not necessarily to prescribe that product." And having those discussions over a "working meal" is merely a timesaver for busy doctors, he said.
But the JAMA authors said it is a costly mistake to confuse marketing with scientific data.
"Drug companies spend $13,000 per physician annually," said co-author David J. Rothman, a professor of social medicine at Columbia University Medical Center. "Those marketing tactics are very, very effective at getting physicians to do what each drug company wants -- to prescribe their product."
The team conducted focus groups with doctors who "came right out and said if one drug rep is nicer than another, I'm going to prescribe that person's drug, all else being equal," said co-author David Blumenthal, director of the Institute for Health Policy at Massachusetts General Hospital. In a second article, Blumenthal found that conflicts of interest have contributed to growing secrecy in research, with some scientists intentionally omitting negative findings about a drug or device.
Rather than severing all ties to the pharmaceutical industry, the panel suggested creating financial firewalls. Instead of paying a physician directly for continuing medical education, it would be more appropriate for drug companies to contribute to a central account that supported educational programs, they wrote. In addition, payments for outside work such as speeches or consulting should be explicitly defined and posted on the Internet.
Finally, the group urged the nation's 125 medical schools and affiliated hospitals to refuse drug samples and instead create a voucher system or central distribution bank for poor patients.
"The availability of free samples is a powerful inducement for physicians and patients to rely on medications that are expensive but not more effective," the JAMA article said. In most cases, once patients begin the expensive drug regimen, they are inclined to stick with it.
Some industry experts said the recommendations underestimated the ability of physicians and patients to think on their own.
"I subscribe to the crazy view that more information is better," said Daniel Troy, former chief counsel of the Food and Drug Administration. "This very sweeping proposed ban would really choke off an important flow of information to physicians."
A drug sample handed out in a doctor's office is a good way to begin treatment immediately, he said, rather than waiting to have a prescription filled.
Cohen predicted the industry and many medical institutions would blanch at the recommendations. But both could stand to improve their reputations, he said. He added: "We need a strong, ethical, effective partnership with industry."
Lanjut ...
Ternyata, perselingkuhan ini sudah lama terjadi di Indonesia. ‘Legalisasi’ pemberian fee/tip/fasilitas dari perusahaan/industri farmasi ke dokter, kalau di profesi lain sama dengan suap/korupsi dari vendor /kontraktor ke project owner/panitia lelang.
Secara awam, untuk memutus rantai ini, minimal untuk meng-ilegalkan praktek ini, IDI cukup menambahkan kode etik berikut :
“Dokter dilarang untuk menerima pemberian dari Industri Farmasi dan/atau jaringan distribusinya dalam bentuk apapun (fee, tip, tiket, fasilitas, dll)”
Hal semacam ini juga sudah dilakukan oleh profesi lain (meskipun korupsi tetap jalan terus, tetapi minimal kita tahu dan sadar sepenuhnya bahwa hal tersebut ilegal alias harom).
Apakah hal semacam ini juga terjadi di negera-negara lain? Ternyata setali tiga uang. Berikut abstract dari salah satu hasil study yang di publish :
_______________________________
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10647801
JAMA (the journal of the American Medical Association)
JAMA. 2000;283:373-380.
PMID: 10647801 [PubMed - indexed for MEDLINE
Physicians and the pharmaceutical industry: is a gift ever just a gift?
Ashley Wazana, MD
cxwz@musica.mcgill.ca
McGill University, Montreal, Quebec, Canada.
CONTEXT: Controversy exists over the fact that physicians have regular contact with the pharmaceutical industry and its sales representatives, who spend a large sum of money each year promoting to them by way of gifts, free meals, travel subsidies, sponsored teachings, and symposia.
OBJECTIVE: To identify the extent of and attitudes toward the relationship between physicians and the pharmaceutical industry and its representatives and its impact on the knowledge, attitudes, and behavior of physicians.
DATA SOURCES: A MEDLINE search was conducted for English-language articles published from 1994 to present, with review of reference lists from retrieved articles; in addition, an Internet database was searched and 5 key informants were interviewed.
STUDY SELECTION: A total of 538 studies that provided data on any of the study questions were targeted for retrieval, 29 of which were included in the analysis.
DATA EXTRACTION: Data were extracted by 1 author. Articles using an analytic design were considered to be of higher methodological quality.
DATA SYNTHESIS: Physician interactions with pharmaceutical representatives were generally endorsed, began in medical school, and continued at a rate of about 4 times per month. Meetings with pharmaceutical representatives were associated with requests by physicians for adding the drugs to the hospital formulary and changes in prescribing practice. Drug company-sponsored continuing medical education (CME) preferentially highlighted the sponsor's drug(s) compared with other CME programs. Attending sponsored CME events and accepting funding for travel or lodging for educational symposia were associated with increased prescription rates of the sponsor's medication. Attending presentations given by pharmaceutical representative speakers was also associated with nonrational prescribing.
CONCLUSION: The present extent of physician-industry interactions appears to affect prescribing and professional behavior and should be further addressed at the level of policy and education.
_______________________________
Hubungan Industri Farmasi dan Dokter
Oleh Dr. Samsuridjal Djauzi
http://samsuridjal.wordpress.com/2007/01/25/hubungan-industri-farmasi-dan-dokter/
Di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia saya memberikan kuliah Hubungan Dokter-Pasien. Mahasiswa kedokteran perlu mempunyai ketrampilan berkomunikasi dan mempunyai empati untuk membina hubungan dokter-pasien yang baik. Hubungan dokter pasien diperlukan untuk mencapai hasil pengobatan yang diinginkan.
Dalam mata ajaran dibahas mengenai cara meningkatkan ketrampilan berkomunikasi serta menumbuhkan empati. Jika dokter mampunyai ketrampilan komunikasi yang baik serta mempunyai empati maka ketrampilan tersebut akan merupakan modal utama dalam mengamalkan etik kedokteran.
Hubungan dokter-pasien dewasa ini merupakan topik yang semakin sering dibahas. Apalagi dengan semakin meningkatnya ketidakpuasan pasien dan keluarga terhadap layanan dokter di Indonesia maka pentingnya hubungan dokter-pasien yang baik semakin dirasakan.
Bagaimana pula dengan hubungan industri farmasi dan dokter ? Kita dapat memandang hubungan ini dari berbagai segi. Media massa sering memberitakannya sebagai hubungan yang kurang sehat dan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan harga obat di Indonesia semakin tak terjangkau. Industri farmasi melalui perusahaan yang memasarkan obatnya dituduh dengan berbagai cara membujuk dokter untuk meresepkan produknya. Sedangkan dokter diduga telah mengambil keuntungan dari peresepan obat tersebut. Opini publik mengenai hubungan seperti itu cukup kuat seolah memang sebagaian besar dokter melakukannya. Upaya profesi kedokteran dan farmasi untuk menegakkan etik dalam peran masing-masing sebenarnya cukup nyata. Ikatan Dokter Indonesia berkali-kali mengingatkan anggotanya agar berpihak pada masyarakat lemah dan tidak tergoda bujuk rayu perusahaan farmasi. Di lain pihak profesi kepfarmasian serta perhimunan industri farmasi juga telah menyusun etik pemasaran yang pada dasarnya mencegah pemasaran obat dengan cara hubungan tak sehat dengan dokter. Pada panduan pemasaran tersebut jelas disebutkan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam pemasaran obat yang berkaitan dengan hubungan industri farmasi dengan dokter. Pemberian hadiah apalagi uang dilarang. Perusahaan farmasi dapat mendukung program pengembangan profesi dokter namun dukungan tersebut tidak dilakukan untuk perorangan tapi untuk pengembangan profesi atau institusi. Jika profesi kedokteran dan kefarmasian sudah mempunyai rambu-rambu dalam hubungan industri farmasi dan dokter kenapa masih ada kecurigaan masyarakat ?Masyarakat merasakan beban harga obat yang semakin tinggi. Meski mereka memahami biaya untuk penemuan obat baru amat mahal namun mereka juga merasakan bahwa banyak obat sekarang ini yang harganya sudah lebih tinggi daripada emas. Obat yang sudah habis masa patennya di Indonesia tak kunjung turun harganya. Padahal di negeri lain obat tersebut harganya diturunkan secara nyata. Beban yang dipikul masyarakat semakin terasa berat karena sebagian besar anggota masyarakat harus membayar harga tersebut dengan uang dari kantong mereka sendiri. Jumlah peserta asuransi kesehatan di negeri kita belumlah seperti yang diharapkan.Mungkinkan hubungan industri farmasi-dokter dikembangkan untuk kepentingan yang lebih luas yaitu masyarakat. Industri farmasi memproduksi obat yang bermutu serta biaya pemasarannya tidak tinggi. Dokter menggunakan obat secara rasional dan tidak terpengaruh oleh bujukan perusahaan farmasi. Persaingan yang sehat di kalangan industri farmasi akan memperkuat industri farmasi. Sedangkan penggunaan obat secara rasional sesuai dengan prinsip profesi keberpihakkan kepada masyarakat luas (altruisme). Maukah industri farmasi di Indonesia meningkatkan kemampuannya sehingga lebih mampu bersaing ? Maukah kalangan kedokteran menghapus berbagai previlege yang mungkin ada selama ini sebagai efek samping persaingan pemasaran obat yang tidak sehat ? Nampaknya jawabannya hanya satu yaitu : harus mau. Kalau tidak kepercayaan masyarakat kepada industri farmasi dan profesi kedokteran di negeri kita akan semakin pudar.
_______________________________
Mengakhiri Kolusi Dokter dan Perusahaan Farmasi
Oleh: Muhammad Ichsan, SH.
Advokat di Jakarta. Ketua Lembaga Advokasi dan Bantuan Hukum Konsumen Indonesia (LABHKI), dan Sekjen Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (APHI)
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=18808&cl=Kolom
[20/3/08]
Apakah kolusi dokter dan perusahaan farmasi itu riil? Apa bentuknya? Apa akibtanya? Siapa yang dirugikan? Apa sanksinya? Inilah antara lain pertanyaan yang banyak disampaikan konsumen.
Ketika Anda berobat ke dokter, pasti harapannya adalah kesembuhan. Anda tidak tahu apa penyakit Anda, sebagaimana Anda juga tidak tahu pilihan obat yang tepat untuk kesembuhan Anda. Sehingga Anda datang berobat ke dokter, karena dokterlah yang bisa mendiagnosis penyakit dan memilih obatnya. Dalam hubungan itu Anda menyerahkan sepenuhnya pilihan obat untuk kesembuhan Anda kepada dokter, yang kemudian menuliskan ‘resep’.
Namun tanpa disadari, begitu Anda datang berobat ke dokter, ada kepentingan lain di luar hubungan Anda dan dokter. Perusahaan-perusahaan farmasi berharap bagaimana agar dokter yang memeriksa Anda meresepkan obat-obatan produksi mereka. Obat yang diresepkan sang dokter kemudian Anda tebus ke apotik. Dan sesaat kemudian Anda terkejut. Ternyata obat yang sangat diperlukan untuk kesembuhan Anda sangatlah mahal, malah bisa di luar perkiraan semula.
Dalam keadaan demikian hanya dua pilihan: pembelian obat ditunda atau Anda menebus separohnya. Anda tidak akan tahu mengapa obat yang dibutuhkan itu mahal, sepertihalnya Anda tidak tahu mengapa dokter meresepkan obat yang mahal. Dan kita juga tidak akan pernah tahu apakah jenis dan kualitas obat mahal yang diresepkan dokter berguna atau tidaknya bagi kesembuhan anda.
Obat resep dokter … ya mahal. Kenapa? Karena obat berasal dari perusahaan farmasi yang punya kepentingan finansial terhadap resep yang ditulis dokter. Dengan kata lain, sakitnya pasien dan penulisan resep dokter menjadi substansi hubungan kolusi dan marketing bisnis perusahaan farmasi. Apakah Anda tahu itu? Mungkin menduga-duga. Tetapi perusahaan farmasi sejatinya tidak menginginkan Anda tahu hubungan mutualisma mereka. Anda sakit, ingin sembuh, lalu berobat ke dokter, terus dokter memberi resep obat, Anda tebus ke apotik dan harganya mahal. Kalau ingin sembuh, bagaimanapun Anda harus membelinya. Take it or leave it.
Begitulah fenomena di tengah masyarakat yang seolah dijustifikasi. Mahalnya harga obat dianggap sesuatu yang lumrah dan wajar, tanpa berusaha menggali akar permasalahan dan mencari solusinya. Naifnya lagi, pemikiran ini juga ada pada mereka-mereka yang menerima amanah rakyat untuk mengurus masalah kesehatan di negeri ini. Adanya kolusi dokter dan perusahaan farmasi menjadi penyebab mahalnya harga obat dinegeri ini. Badan Penelitian dan Pengembangan (Balibang) - Departemen Kesehatan RI dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) mensinyalir mahalnya harga obat di Indonesia 200 kali lipat dari harga obat di pasaran dunia (Liputan 6 SCTV, 23 Juli 2007).
Keadaan ini diakui Prof. Agus Purwadianto, Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) yang sekarang Kepala Biro Hukum dan Organisasi – Departemen Kesehatan. Menurut dia, kolusi dokter - perusahaan farmasi sudah melanggar kode etik dan disiplin kedokteran. Sebab, dokter memberikan resep bukan berdasarkan penyakit pasien, melainkan gejala penyakit yang telah diperkirakan dokter sebelumnya. Obat yang diresepkan berdasarkan kontrak perusahaan farmasi dengan dokter.
Dampak dari praktek ‘dokter kontrak’ ini menyebabkan harga obat tinggi. Perusahaan farmasi membebankan biaya insentif dokter sebesar 20 % (dua puluh persen) itu dari harga obat’. Selanjutnya ditegaskan : ‘Praktek kolusi ini dilakukan oleh seluruh dokter di Indonesia. Sebagian besar dokter tersebut bekerja sama dengan perusahaan obat lokal yang tergabung dalam Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi’. Namun, Ketua GP Farmasi Anthony Charles Sunarjo menyatakan tidak pernah ada laporan soal kolusi antara dokter dan farmasi, sehingga sulit bagi asosiasi ataupun Mejelis Etik Usaha Farmasi Indonesia untuk memberikan sanksi ….. ‘Saya tidak bilang tidak ada, tetapi memang tidak ada buktinya’ (Koran Tempo, 16 Agustus 2007).
Hal ini dibenarkan Kartono Mohammad, mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Perselingkuhan produsen obat dengan dokter memang sulit dibuktikan. Namun bukan tidak bisa diraba, misalnya dari jumlah dan jenis obat yang diresepkan seorang dokter. Bukan hal yang aneh dalam satu resep terdapat sampai lima jenis obat, padahal yang dibutuhkan pasien sebenarnya cuma tiga jenis obat. Ada obat yang tidak perlu diberikan, tapi tetap ditulis dalam resep. Begitu juga jika semua obat yang diresepkan berasal dari produsen yang sama (Liputan 6 SCTV, 23 Juli 2007).
Dengan demikian, sinyalemen kolusi dokter dengan perusahaan farmasi bagaikan angin, terasa ada tapi tidak bisa ditangkap.
Mata rantai kolusi
Dari hasil pengamatan, niat, kemauan atau gagasan untuk berkolusi bukan hanya datang dari perusahaan farmasi. Adakalanya atas permintaan dokter. Perusahaan farmasi memproduksi obat bermerek (paten) untuk dijual. Sedang dokter punya kewenangan menentukan obat. Dengan cara itu perusahaan farmasi berkepentingan obatnya laku terjual. Uniknya, pemasaran obat oleh perusahaan farmasi dilakukan dengan sistem ‘detailing’: perusahaan farmasi melalui jaringan distributor melakukan pendekatan tatap muka dengan dokter yang berpraktek di rumah sakit atau praktek pribadi. Kegiatan detailing ini mempunyai berbagai nuansa, termasuk adanya komunikasi untuk mendapatkan situasi yang saling menguntungkan antara dokter dan perusahaan farmasi. Dan dalam komunikasi inilah terbuka kemungkinan terjadinya kolusi dokter dengan perusahaan farmasi.
Sebaliknya, dokter punya kepentingan terhadap komisi dari perusahaan farmasi. Dari sinilah lahir permufakatan kedua belah pihak, yang disebut kolusi atau conpiracy of silent. Yang berperan aktif menggalang permufakatan ini adalah para detailer atau Marketing Representatif/MR. Mereka secara berkala selalu melakukan kunjungan ke dokter-dokter. Jumlah tempat praktek, terutama jumlah konsumen berobat menjadi ukuran untuk menentukan bentuk, arah permufakatan dan besaran kompensasi. Walau tidak semua dokter melakukan kolusi dengan perusahaan farmasi, kompensasi kolusi itu tetap menggiurkan. Misalnya pemberian uang/barang, mensponsori seminar dan fasilitas akomodasi serta acara family gathering sampai ke pembayaran angsuran leasing mobil.
Perusahaan farmasi menghitungnya sebagai ‘biaya promosi’ yang dimasukkan ke dalam ‘biaya produksi’. Sehingga biaya produksi menjadi tinggi dan harga obat menjadi mahal. Mahalnya harga obat sepenuhnya menjadi tanggungan konsumen. Prof. Agus Purwadianto menyebutkan 20 % dari harga jual obat yang dialokasikan perusahaan farmasi untuk biaya promosi. Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) dokter Marius Widjajarta memperkirakan angka Rp500 miliar per tahun dikeluarkan perusahaan farmasi untuk biaya promosi. Namun perlu diyakini, jumlah uang beredar di kalangan dokter secara keseluruhan lebih dari 20 % dan lebih dari Rp. 500 miliar.
Ketua Ikatan Sarjana Farmasi (ISFI) Haryanto Dhanutirto memprediksi perusahaan farmasi memberikan diskon kepada dokter sampai 40 % dan kepada apotik 5% - 10%. Sedangkan Syofarman Tarmizi, Direktur Pemasaran Kimia Farma memperkirakan jumlah dana yang masuk ke dokter-dokter sekitar Rp10,5 triliun dari jumlah Rp20,3 triliun total market obat di Indonesia (Media Indonesia Online, 04 Juni 2007).
Dari uraian di atas semakin jelas bahwa kolusi menyebabkan harga obat merek/paten yang selama ini dikonsumsi konsumen Indonesia menjadi sangat mahal melebihi harga obat di luar negeri.
Aspek hukum perbuatan kolusi
Walau kolusi dokter - perusahaan farmasi sulit dibuktikan, pada tahun 2002 Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengantisipasinya melalui perangkat Surat Keputusan (SK) Kepala BPOM No. HK.00.05.3.02706 tentang Promosi Obat. Pasal 9 SK ini memuat sejumlah larangan bagi Industri Farmasi dan/atau Pedagang Besar Farmasi.
Mereka dilarang (a) melakukan kerja sama dengan apotik dan penulis resep; (b) kerja sama dalam pengresepan obat dengan apotik dan/atau penulis resep dalam suatu program khusus untuk meningkatkan penjualan obat tertentu; (c) memberikan bonus/hadiah berupa uang (tunai, bank draft, pinjaman, voucher, tiket) dan/atau barang kepada penulis resep yang meresepkan obat produksinya dan/atau yang didistribusikan. Sedangkan pengawasan terhadap kegiatan promosi obat oleh perusahaan farmasi dilakukan sepenuhnya BPOM dengan membentuk komisi independen.
Mereka yang melanggar larangan tadi bisa dikenakan sanksi mulai dari peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan, hingga pencabutan izin edar obat bersangkutan.
Mengacu pada sanksi pidana sebagaimana dimaksud SK BPOM tadi, pasal 62 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan : ‘Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 13 Ayat (2), pasal 15, pasal 17 Ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lima tahun atau pidana denda maksimal dua miliar.
Sayang, langkah mundur justru datang dari Departemen Kesehatan yang pada tanggal 11 Juni 2007 memfasilitasi kesepakatan bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan GP Farmasi membentuk ‘Etika Promosi Obat’. Padahal izin usaha perusahaan farmasi dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) SK Menkes RI No.1191/Menkes/SK/IX/2002 tentang Perusahaan Besar Farmasi. Demikian juga izin praktek dokter dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan berdasarkan pasal 37 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.
Seharusnya Depkes proaktif menghentikan kolusi dokter - perusahaan farmasi sekaligus melindungi rakyat dari kesulitan membeli obat. Caranya, antara lain menerapkan perangkat hukum dengan sanksi yang tegas dan pasti. Bukan sebaliknya menerbitkan etika/kode etik yang justru cukup dan terbatas hanya di lingkungan organisasi masing-masing, seperti Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) untuk kalangan dokter.
Ada beberapa poin ‘Etika Promosi Obat’ yang patut dikemukakan di sini. Pertama, seorang dokter dalam melakukan pekerjaan kedokterannya tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi. Kaitannya dengan promosi obat adalah dokter dilarang menjuruskan pasien untuk membeli obat tertentu karena dokter yang bersangkutan telah menerima komisi dari perusahaan farmasi tertentu. Kedua, dukungan apapun yang diberikan perusahaan farmasi kepada seorang dokter untuk menghadiri pertemuan ilmiah tidak boleh didikaitkan dengan kewajiban untuk mempromosikan atau meresepkan suatu produk. Ketiga, perusahaan farmasi boleh memberikan sponsor kepada seorang dokter secara individual dalam rangka pendidikan kedokteran berkelanjutan, yaitu hanya untuk biaya registrasi, akomodasi dan transportasi dari dan ke tempat acara pendidikan kedokteran berkelanjutan.
Keempat, perusahaan farmasi dilarang memberikan honorarium dan atau uang saku kepada seorang dokter untuk menghadiri pendidikan kedokteran berkelanjutan, kecuali dokter tersebut berkedudukan sebagai pembicara atau menjadi moderator. Kelima, dalam hal pemberian donasi kepada profesi kedokteran, perusahaan farmasi tidak boleh menawarkan hadiah/ penghargaan, insentif, donasi, finansial dalam bentuk lain sejenis, yang dikaitkan dengan penulisan resep atau anjuran penggunaan obat perusahaan tertentu. Keenam, pemberian donasi dan atau hadiah dari perusahaan farmasi hanya diperbolehkan untuk organisasi profesi kedokteran dan tidak diberikan kepada dokter secara individual. Terakhir, ketujuh, Ikatan Dokter Indonesia harus menyusun dan memverifikasi berbagai kegiatan resmi organisasi, khususnya yang berkaitan dengan sponsorship atau pendanaan dari anggota GP Farmasi Indonesia serta melakukan koordinasi dengan perusahaan farmasi untuk tindak lanjutnya.
Sebelum adanya Etika Promosi Obat, sejak tahun 1983 telah berlaku Kode Etik Kedokteran Indonesia. Pasal 3 KODEKI menetapkan bahwa dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi.
Apakah dengan KODEKI ini prilaku dokter berubah sejak tahun 1983, sementara pelayanan medis dokter semakin mengarah pada ‘profit oriented’, dibandingkan ‘service oriented’ atau ‘social oriented’?. Masalahnya, harga obat tetap tinggi dan kolusi diduga tetap berjalan.
Perusahaan farmasi maupun dokter akan selalu menyiasati dengan berbagai cara menghindar dari ketentuan KODEKI maupun Etika Promosi Obat yang notabene tidak memiliki kekuatan hukum apapun, baik sanksi maupun eksekutorialnya. Cara yang lazim dilakukan antara lain melampirkan brosur seminar/temu ilmiah pada lembar transfer bank dan mengalokasikan komisi dokter pada jumlah gaji staf marketing guna menghindari keterlibatan perusahaan secara lansung.
Kolusi sebagai tindak pidana korupsi
Wantan Wakil Ketua Komisi Pemberatasan Kosupsi (KPK) Syahruddin Rasul mengatakan, bahwa korupsi itu terjadi karena ‘power tidak disertai dengan akuntabilitas’ (‘Patofisiologi Korupsi Di Bidang Kesehatan’, Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, 01 Maret 2006). Makna akuntabilitas adalah pertanggung jawaban dari seseorang yang diberi amanah untuk melaksanakan tugas kepada pihak yang memberikan amanah. Dokter sebagai tenaga professional memiliki power dan kewenangan untuk memutuskan diagnosis apa yang dia yakini benar, kewenangan memberikan perawatan dan pengobatan atas diagnosis yang telah diputuskan.
Mengacu pada model yang dikemukakan Syahruddin Rasul, maka power dan kewenangan yang dimiliki dokter sebagai tenaga profesional harus akuntabel. Seandainya tidak akuntabel atau tidak bisa diaudit keputusan-keputusannya, maka peluang korupsi akan tercipta.
Dasar hukum untuk melakukan audit terhadap semua keputusan dokter berupa diagnosis dan tindak lanjutnya tertuang dalam Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan No. 434/Menkes/SK/X/ 1983 tentang Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Menurut regulasi ini, seorang dokter hanya memberikan keterangan atau pendapat yang dapat dibuktikan kebenarannya. Dengan demikian, dapat ‘dibuktikan’ merupakan kata kunci yang memberi peluang untuk dilaksanakannya audit terhadap semua keputusan yang ditetapkan dokter dalam menggunakan power dan kewenangannya itu.
Relevan dengan itu, UU Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi memuat ketentuan ‘gratifikasi’, yaitu pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa uang, ticket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya, dengan ancaman hukuman pidana seumur hidup, atau pidana paling singkat 4 tahun dan pidana denda antara Rp200 juta hingga Rp1 miliar.
Dengan demikian, kolusi dokter – perusahaan farmasi berpotensi untuk dibawa ke ranah korupsi. Konsumen yang merasa dirugikan ulah dokter dan perusahaan farmasi bisa melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Celakanya, hingga saat ini KODEKI dan Etika Promosi Obat belum bisa sepenuhnya mengubah prilaku dokter dan perusahaan farmasi.
____________________________
http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2006/01/24/AR2006012401483.html
Distance Sought Between Doctors and Drug Industry
By Ceci Connolly
Washington Post Staff Writer
Wednesday, January 25, 2006; Page A08
Declaring that the pervasive influence of drug industry money is distorting doctors' treatment decisions and scientific findings, a prestigious panel of medical experts called on their colleagues yesterday to adopt far-reaching new conflict-of-interest policies.
In an article in the Journal of the American Medical Association, the group said that voluntary efforts to limit corporate inducements have failed, resulting in the overprescribing of some medications and the withholding of negative discoveries about others. Highly publicized cases involving the anti-inflammatory drug Vioxx, antidepressants for children and spinal implants made by Medtronic -- all occurring while voluntary guidelines were in place -- highlight the need for stricter measures, they said.
"My mother told me never to accept gifts from strangers. If a stranger wants to give you a gift, it's very likely they want something in return," said Jordan J. Cohen, president of the Association of American Medical Colleges and a co-author of the new proposal. "We've become overly dependent on these kinds of blandishments to support our core activities, and that is jeopardizing public trust and scientific integrity."
The panel -- which includes Cohen, officials from several medical schools and members of the Institute on Medicine as a Profession -- urged the nation's 400 teaching hospitals to impose stringent measures, including a ban on accepting gifts, meals and drug samples and tight restrictions on outside income. A series of articles published today in the journal Academic Medicine reach similar conclusions, noting that strict, standardized policies are needed to ensure patients receive unbiased, evidence-based treatments.
Spokesmen for the pharmaceutical industry said the extra steps are unnecessary and could deprive physicians of valuable information.
From their first rounds as residents, doctors travel in a world increasingly dominated by drug company salespeople proffering meals, office supplies, entertainment and even cash to speak at conferences or sit on advisory boards.
Some physicians have been paid lucrative consulting retainers for no specific work; others are paid to put their names on articles ghostwritten by industry employees. One congressional inquiry cited in the report found that pharmaceutical executives steer research grants to doctors and schools that promote their firms' drugs.
"The problem has gotten worse and worse and worse," Cohen said. The relationships can prompt doctors to order unnecessary tests, prescribe more expensive medicines or advocate adding certain medications to a hospital's list of preferred drugs, he said.
Although most doctors say their relationships with drugmakers do not affect medical decisions, numerous studies suggest otherwise.
"There is solid evidence it isn't the size of the gift, it's the gifting itself that creates a sense of loyalty and indebtedness," said Sharon Levine, associate executive director of Kaiser Permanente's Northern California group practice. The 6,000-doctor practice and the Yale University School of Medicine are among the only institutions in the nation to implement policies similar to those outlined in JAMA.
"The industry is spending $13 billion per year on direct-to-physician promotion," she continued. "That wouldn't be happening if it weren't resulting in changing patterns of utilization. It doesn't necessarily mean patients are getting bad care, but it does mean their influence is out there."
Judging from the "grumbling" he has heard from physicians, Scott Lassman, assistant general counsel at the Pharmaceutical Research and Manufacturers of America, the industry's lobbying group, said voluntary guidelines issued by industry, government and the profession in recent years seem to be working. Modest gifts such as lunch or pens may persuade a doctor "to listen to the presentation of information, not necessarily to prescribe that product." And having those discussions over a "working meal" is merely a timesaver for busy doctors, he said.
But the JAMA authors said it is a costly mistake to confuse marketing with scientific data.
"Drug companies spend $13,000 per physician annually," said co-author David J. Rothman, a professor of social medicine at Columbia University Medical Center. "Those marketing tactics are very, very effective at getting physicians to do what each drug company wants -- to prescribe their product."
The team conducted focus groups with doctors who "came right out and said if one drug rep is nicer than another, I'm going to prescribe that person's drug, all else being equal," said co-author David Blumenthal, director of the Institute for Health Policy at Massachusetts General Hospital. In a second article, Blumenthal found that conflicts of interest have contributed to growing secrecy in research, with some scientists intentionally omitting negative findings about a drug or device.
Rather than severing all ties to the pharmaceutical industry, the panel suggested creating financial firewalls. Instead of paying a physician directly for continuing medical education, it would be more appropriate for drug companies to contribute to a central account that supported educational programs, they wrote. In addition, payments for outside work such as speeches or consulting should be explicitly defined and posted on the Internet.
Finally, the group urged the nation's 125 medical schools and affiliated hospitals to refuse drug samples and instead create a voucher system or central distribution bank for poor patients.
"The availability of free samples is a powerful inducement for physicians and patients to rely on medications that are expensive but not more effective," the JAMA article said. In most cases, once patients begin the expensive drug regimen, they are inclined to stick with it.
Some industry experts said the recommendations underestimated the ability of physicians and patients to think on their own.
"I subscribe to the crazy view that more information is better," said Daniel Troy, former chief counsel of the Food and Drug Administration. "This very sweeping proposed ban would really choke off an important flow of information to physicians."
A drug sample handed out in a doctor's office is a good way to begin treatment immediately, he said, rather than waiting to have a prescription filled.
Cohen predicted the industry and many medical institutions would blanch at the recommendations. But both could stand to improve their reputations, he said. He added: "We need a strong, ethical, effective partnership with industry."
Lanjut ...
Monday, June 8, 2009
Dokterku, berubahlah … ?
Apakah ada yang kurang dengan dunia pendidikan kedokteran kita? Secara kurikulum medis mungkin sudah sangat lengkap, yang kurang mungkin hanyalah nurani, sifat tawadhu’ (humble), dan kemauan meluangkan waktu berkomunikasi (menggali dan mendengarkan) dengan pasien.
Tentunya, ini bukan generalisasi untuk semua dokter, tetapi dari pengalaman pribadi berobat di Indonesia tercinta ini, opini pribadi saya adalah sangat sulit menemukan dokter yang berdedikasi dan berorientasi semata-mata pada target kesembuhan pasien secara rasional tanpa embel-embel kepentingan lainnya.
Kontribusi dari "komersialisasi pendidikan", "komersialisasi pemeriksaan kesehatan" dan "perang obat / perusahaan besar farmasi" adalah beberapa faktor utama dari bergesernya orientasi dokter. Sejak awal masuk ke fakultas kedokteran, orientasi mayoritas mungkin adalah target ekonomi, dan bukan target sosial/pelayanan.
Pola kejar setoran, praktek sana-sini, RS swasta yang tidak memiliki tenaga/karyawan dokter spesialis tetap, sudah saatnya diminimalisir. Dalam pandangan saya yang awam, harusnya setiap RS Swasta memiliki dokter spesialis tetap, dan perlakuannya adalah sebagai karyawan yang menerima gaji bulanan. Kalau perlu, RS Swasta harus melakukan investasi dengan memberikan beasiswa ke Dokter Umum-nya untuk mengambil pendidikan spesialis.
Idealnya penghasilan dokter adalah dari gaji bulanan, serta pembagian SHU (sisa hasil usaha) tahunan dari Rumah Sakit, seperti halnya dengan karyawan/professional bidang lainnya. Pola pendekatan ini akan memberikan rasionalisasi dalam pemeriksaan dan pemberian obat, karena dokter tidak perlu kejar setoran dan jumlah pasien per hari dapat dibatasai untuk setiap dokter.
Di kota besar Indonesia, jika dilihat jumlah dokter spesialis, pendekatan tersebut memungkinkan untuk dilakukan. Yang perlu part-time cukup yang sub-spesialis (konsulen), Professor, dll, yang jumlahnya memang masih terbatas. Hubungan dengan konsulen (sub-spesialis) dapat dilakukan oleh dokter spesialis tetap RS per telepon, toh selama ini juga model konsultasi via telepon semacam ini (bahkan cuma dilakukan oleh Perawat ke Dokter Part-time, dan dikenakan biaya ke Pasien sama seperti visit langsung ... bukan main) sudah umum dilakukan oleh para RS Swasta.
Tip dan Fasilitas (berupa fee terhadap obat/resep yang dituliskan, dan fasilitas lain-lain) yang diberikan Perusahaan Besar Farmasi kepada dokter harusnya diatur dalam Kode Etik Kedokteran dengan melarangnya sama sekali. Ini adalah praktek yang sangat tidak sehat, yang menjadikan peresepan menjadi tidak rasional dan sangat tidak adil bagi pasien.
... ternyata, setelah English googling sore ini, saran untuk menghilangkan dokter part-time dan menjadikan dokter sebagai bagian integral dari Rumah Sakit (sebagai karyawan permanen, bagian dari pemilik perusahaan, mendapatkan bonus keuntungan perusahaan, dan/atau semacamnya) telah menjadi bahan diskusi sejak lama, yang salah satunya saya kutipkan di bawah ini :
________________________________
Strengthening hospital-physician relationships
by Robert A. McGowan
Healthcare Financial Management , Dec, 2004
http://findarticles.com/p/articles/mi_m3257/is_12_58/ai_n8574803/
When hospitals and physicians work well together, they can Better provide patient care efficiently and cost-effectively. But hospitals and physicians face many challenges today that can undermine their close working relationship. For optimal relationships with physicians, hospitals need to combine a strategy to align economic interests and share revenues with strategies to communicate better, build trust, and include physicians in decision making.
A study by Mitretek Healthcare identified some concrete strategies hospitals are using to strengthen hospital-physician relationships. These findings offer a framework for hospital management, physician leadership, and hospital board members to reflect on what their organization is doing to strengthen these critical relationships.
Study participants consistently recognized the importance of maintaining and strengthening the relationship between hospitals and medical staff members. They also understood the high level of interdependence between the business enterprises of hospitals and the business enterprises of physicians. With strong relationships as a goal, many hospitals have some significant work to do. While 73 percent of the participating CEOs rated their hospital-physician relationships quite positively, only 44 percent of the participating physicians shared this view.
Stresses and Challenges
Several factors placing stress on hospitals make true alignment with physicians difficult. These factors include weak and declining payment, staffing shortages, challenges related to quality and patient safety, constantly changing medical technologies, increasing customer expectations related to quality and access to services, capacity constraints as the population ages, and increased competition from private, for-profit providers of niche clinical services. Physicians also commonly report increased stress due to threats to their clinical autonomy, declining payment, increases in practice overhead, major increases in malpractice insurance premiums, and the challenge of living a balanced lifestyle. These stresses also create increased tension in hospital-physician relationships.
In the study, many hospital leaders expressed concerns related to the loss of the historical loyalty to the hospital as physicians focus more on their office practice. Physicians and niche providers are competing more aggressively for ancillary revenues and for clinical services that provide high payment. Many physicians are threatened by hospital strategies to recruit new physicians and grow select clinical services. Hospitals' on-call demands are alienating many physicians, and an increasing number of physicians are either demanding pay for on-call duty or refusing to be on call.
Revenue-Sharing Strategies Are Critical
Many of the current tensions identified in the study focus on revenue. If this study had been conducted five to 10 years ago, the identified stresses probably would have concerned control issues more than capturing revenue. In the study, both hospital leadership and physicians reported that they are working harder than ever, yet making less money. They also understood that, given the financial challenges of today's healthcare environment, hospitals and physicians will become either more collaborative partners or more active competitors, with few in a neutral zone. Thus, the critical question is: "What are the multiple strategies hospitals should use to better align their economic incentives with those of physicians?"
Study participants commonly noted that "volunteerism is dead" and that physicians expect to be paid for time spent on hospital business. Sixty-four percent of the respondents said their hospitals pay physicians to serve as officers or department heads. Some even pay physicians stipends to attend meetings. Only 21 percent said they pay physicians for being on call, and the interviews suggest strong resistance to doing so for fear that the cost will quickly get out of control.
A literature search suggests that a comprehensive strategy related to shared economic interests should include some combination of the following:
* Growing clinical services that enhance physician income
* Investing in infrastructure and information systems to increase efficiency, access, and physician productivity
* Actively marketing the medical staff
* Offering physicians equity ownership in real estate and not-for-profit bonds
* Paying physicians stipends for value-added services
* Offering gain sharing
* Employing physicians
* Entering into joint ventures
* Entering into collaborative managed care contracting
* Exploring options for providing financial relief for large increases in malpractice premiums
There is no right combination of the above. The strategy must be tailored to each hospital and physician community.
The survey found 87 percent of participating hospitals provide financial support for recruitment to physician practices, 83 percent employ primary care physicians, and 62 percent employ some office-based specialists. All of these strategies received high effectiveness ratings.
________________________________
Kasus Prita "Versus" Akhlak Dokter
Kompas, Sabtu, 6 Juni 2009 | 03:10 WIB
Oleh : HANDRAWAN NADESUL
Dokter; Pengasuh Rubrik Kesehatan; dan Penulis Buku
Penilaian dan sikap pengendalian masyarakat pasien sebagai sistem kontrol yang efektif terhadap eloknya layanan medis. (Telaah Kisch & Reeder)
Kasus Prita bukan cuma satu. Tak sedikit pasien kita yang dikecewakan dokter atau rumah sakit akhirnya merasa diabaikan. Tanpa melacak apa di balik kasus itu, kasus Prita masih akan terus menjadi endemis. Anggapan bahwa ”dokter selalu benar, pasien pasti salah” atau ”mana mungkin pasien salah, dokter pasti salah” perlu dilempangkan.
Dokter dan rumah sakit bukan pihak yang untouchable. Kerja profesi dokter sudah lengkap diberi ”pagar”. Pendidikan etika kedokteran saat sekolah, sumpah dokter kepada Yang Maha Mengawasi saat lulus, dan selama berpraktik dokter dipandu oleh perangkat Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dan Undang- Undang Praktik Kedokteran. Tiap dokter menginsafi semua itu.
Dokter mau berbicara
Bukan sikap kesengajaan profesi dokter kalau muncul kasus. Bukan karena semua dokter ingin melompati ”pagar” yang disepakati. Lebih sering, ada yang lebih kuat dari hanya hukum dan regulasi jika praktik dokter tampil tak elok di mata pasien.
Ada dua hal yang membuat kinerja profesi dokter tidak elok, yaitu komunikasi dokter dengan pasien dan akhlak dokter sendiri.
Soal komunikasi, harus diakui, opini pasien ihwal penyakitnya belum tentu sama dengan opini medis. Makin terbatas wawasan medis pasien, makin banyak yang perlu dokter komunikasikan. Salah sangka pasien terhadap kasus medisnya lebih sering karena dokter menjawab pasien hanya jika ditanya.
Kasus Steven-Johnson, misalnya. Ini kasus alergi hebat yang bisa mengancam nyawa pasien akibat obat atau suntikan. Kita tahu, dalam tradisi berobat, pasien kita umumnya tak memiliki ”paspor” kesehatan selain tak punya dokter keluarga. Pasien kita umumnya selalu asing di mata dokter yang dikunjunginya.
Secara medis, tanpa data lengkap pasien, sulit bagi dokter meramal reaksi alergi hebat yang mungkin menimpa pasien. Selain itu, karena keterbatasan waktu praktik, banyak dokter juga kurang mengorek kondisi medis pasien yang belum dikenal. Jika saja dokter lebih banyak bertanya, misalnya adakah bakat alergi, dan menjelaskan kemungkinan alergi hebat bisa terjadi sehabis berobat, dan sekiranya sampai muncul kasus pun, tentu tak sampai diopinikan sebagai malapraktik karena pasien sudah tahu jika risiko itu bakal terjadi. Hingga kini, kasus Steven-Johnson diopinikan masyarakat sebagai kesalahan pihak medis.
Kasus Prita muncul karena tidak dibangun komunikasi dokter dengan pasien. Tanpa penjelasan apa yang dilakukan dokter dan yang akan dialami pasien serta akibat yang mungkin muncul dari berobat, keterbatasan wawasan pasien ihwal penyakitnya mungkin melahirkan opini miring yang justru merugikan dokter.
Merawat akhlak dokter
Tiap dokter mengetahui kewajiban pribadi dan hak pasien. Bukan melalaikan keinsafan itu saja jika kasus malapraktik dan misconduct (bersikap judes, marah, tak ramah) masih muncul. Sejatinya kompetensi dokter dan pasien kelewat senjang. Otonomi dokter nyaris tak terbatas. Tanpa keindahan akhlak, praktik dokter tampil tidak profesional.
Industri medis yang kita anut dan fakta yang merongrong moral dokter adalah rumah sakit harus berinvestasi dan perlu berhitung agar tetap melaba. Pasien yang dilayani pun melebihi jumlah dokter sehingga tergoda berpraktik hingga larut malam dengan konsekuensi praktiknya tidak lagi profesional berpotensi membahayakan pasien.
Mengingat penghargaan pemerintah tak memadai, ada banyak dokter memilih menerima iming-iming dari perusahaan farmasi. Ini mengakibatkan harga obat mahal dan harus dipikul pasien. Praktik memberi obat yang tak perlu dan memilih yang lebih mahal (iatrogenic dan polypharmacy) mencitrakan dokter tidak lagi melihat profesinya.
Dokter dan rumah sakit bisa terjebak berlaku nakal dengan memanfaatkan ketidaktahuan pasien yang teperdaya jika orientasi profesi dokter hanya demi duit. Tanpa akhlak yang elok, hukum medis bisa ditekuk, regulasi medis bisa dilipat, dan dokter memanfaatkan kekuasaannya yang tinggi. Rekam medis sebagai satu-satunya bukti tindak malapraktik ada di bawah kekuasaan dokter.
Otonomi profesi dokter kelewat tinggi sehingga jika akhlak dokter lumpuh, dokter bisa berkelit dari tudingan melakukan kesalahan. Hukum dan regulasi medis bisa ditaklukkan. Namun, tidak demikian bila akhlak dokter terawat.
Hak pasien harus difungsikan. Wawasan kesehatan masyarakat perlu bertambah cerdas agar lebih kritis dan skeptis atas layanan medis yang diterima. Sadar akan hak sebagai pasien dan kaya wawasan kesehatan membantu dokter merawat akhlaknya. Dokter tidak sembarangan melakukan pekerjaan profesinya. Kita sepakat, tak ada yang lebih berkuasa dari akhlak dalam keunggulan profesi apa pun.
Akhlak dokter tidak boleh dikalahkan oleh apa pun dan tetap eling akan sumpah profesi yang merupakan janji kepada Yang Maha Melihat. Jadi, tak ada pilihan bagi dokter yang ingin tetap profesional, mendahulukan kepentingan pasien dan memilih berpraktik dengan hati.
____________________________
Prita "Lawan" RS Omni
Kartono Mohamad
Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia
Kompas, 04 Juni 2009
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/04/03352924/prita.lawan..rs.omni
Secara formal, pada umumnya penyedia layanan medis mengakui bahwa pasien mempunyai hak. Tetapi, dalam praktik, tidak banyak penyedia layanan medis yang memerhatikan atau bahkan memahami hal ini. Yang lebih sering diperhatikan hanyalah kewajiban pasien, terutama kewajiban untuk membayar.
Hal ini terutama akibat pola hubungan tidak seimbang antara pasien dan dokter, dengan dokter pada posisi yang lebih kuat dan dominan. Seolah sudah menjadi paradigma bagi para dokter bahwa pasien harus tunduk, menurut kata dokter, dan tidak boleh mengajukan banyak pertanyaan. Pemahaman bahwa pasien mempunyai hak tidak diperoleh ketika dalam pendidikan sehingga mereka akan merasa aneh jika dalam praktik ada pasien yang menanyakan banyak hal.
Namun, kini ketentuan bahwa pasien punya hak sudah dikukuhkan dalam undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Dalam Pasal 52 disebutkan ada lima hak pasien, yaitu mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis, meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain, mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis, menolak tindakan medis, dan mendapatkan isi rekam medis.
Banyak versi mengenai hak pasien ini, baik dari yang sudah menjadi UU maupun yang berupa pernyataan atau kesepakatan perkumpulan. World Medical Association mengeluarkan Deklarasi Hak Pasien dan American Hospital Association mempunyai A Patient’s Bill of Rights.
Semua pernyataan dan UU itu menyatakan, pasien mempunyai hak yang harus dihormati ketika ia berhadapan dengan penyedia layanan medis. Ada hal-hal yang disebut dalam UU atau deklarasi di negara lain yang belum secara eksplisit diutarakan oleh UU Praktik Kedokteran kita, yaitu hak pasien untuk memperoleh pelayanan yang tidak diskriminatif, hak untuk dihormati dan dilindungi privacy-nya, dan hak untuk secepat mungkin mendapatkan solusi atas komplain yang diajukan terhadap penyedia layanan.
Tujuan
Di Amerika Serikat, UU tentang hak pasien dihasilkan oleh US Advisory Commission on Consumer Protection and Quality in the Health Care Industry pada tahun 1998. Disebutkan, pada intinya tujuan Patient’s Bill of Rights adalah, pertama, membuat pasien merasa lebih percaya terhadap layanan kesehatan. Kedua, menjamin bahwa penyedia layanan kesehatan akan bersikap adil (fair). Ketiga, penyedia layanan akan berusaha memberikan layanan sesuai dengan kebutuhan pasien (works to meet patient’s needs). Keempat, membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien.
Betapapun, keberhasilan upaya penyembuhan pasien amat bergantung pada rasa percaya yang imbal balik antara pasien dan dokter. Kepercayaan inilah yang harus selalu dijaga oleh penyedia layanan medis. Tanpa ada rasa percaya dari pasien, tidak mungkin upaya penyembuhan akan berhasil. Kecuali jika tujuan penyediaan layanan bukan untuk membantu kesembuhan pasien, tetapi semata-mata untuk mencari keuntungan sebanyak dan secepat mungkin dengan memanfaatkan ketidaktahuan pasien.
Dalam mencoba memberikan layanan terbaik, penyedia layanan harus juga siap menghadapi konflik yang dapat terjadi. Konflik dapat terjadi antara perbedaan persepsi dokter dan pasien mengenai penyakit, adanya ekspektasi yang berlebihan dari pasien terhadap dokter, adanya perbedaan ”bahasa” dokter dengan pasien, dan ketidaksiapan dokter untuk menjalin komunikasi yang empatik. Perasaan sebagai kasta tersendiri yang berada di atas kasta pasien dapat berperanan terjadinya komunikasi yang tidak empatik tersebut.
Prita dan Omni
Kasus Prita Mulyasari dengan Rumah Sakit Omni adalah contoh telah hilangnya komunikasi yang empatik itu, yang kemudian merusak rasa saling percaya yang seharusnya dibina. Maka, jika tujuan pelayanan kepada Prita adalah untuk membantu menyembuhkannya dari penyakit, tujuan itu telah gagal. Jika ditanyakan siapa yang bersalah dalam hal ini, kedua pihak akan mengklaim sebagai yang benar. Prita mempersoalkan mengapa hasil laboratorium yang menyatakan bahwa trombositnya 27.000 tidak boleh dilihat. Pihak RS Omni menyatakan, hal itu belum divalidasi, jadi masih rahasia. Menjadi pertanyaan, jika masih rahasia, mengapa Prita sudah mengetahuinya? Bukankah saat ia dianjurkan untuk dirawat, ada dokter yang menjelaskan trombositnya 27.000?
Rasa percaya Prita sebagai pasien menjadi lebih menurun lagi saat pertanyaannya tentang obat suntik yang diberikan tidak mendapat jawaban yang jelas. Mungkin pertanyaan Prita yang bertubi-tubi membuat pihak RS Omni tidak berkenan. Maka, rusaklah hubungan saling percaya antara penyedia layanan dan yang dilayani. Masalah melebar menjadi pengungkapan kekesalan melalui e-mail dan perasaan tersinggung dari pihak RS Omni yang merasa dicemarkan nama baiknya.
Persoalan yang bermula dari pertanyaan sederhana dari seorang pasien yang ingin tahu dan merasa meminta haknya berkembang menjadi masalah yang ruwet karena pihak RS Omni membalas e-mail Prita dengan iklan besar-besar di koran.
Kesan orang awam, dan mereka yang tidak tahu masalahnya karena tidak membaca e-mail, telah terjadi unjuk kekuatan yang tentu saja tidak imbang. Hal itu diperburuk dengan ditahannya Prita di penjara Tangerang. Seandainya saja saat itu RS Omni bertindak simpatik dan meminta agar Prita jangan ditahan karena mempunyai anak yang masih kecil, keadaan mungkin justru akan berbalik.
Pelajaran
Yang telah terjadi di Tangerang itu membuktikan bahwa pada umumnya penyedia layanan medis di negeri ini belum berorientasi pada kepentingan atau kepuasan pasien. Orientasi pada mutu layanan juga belum menjadi acuan.
Kalau menurut Charles B Inlander dalam buku Medicine on Trial, masih banyak medical ineptitude and arrogance yang membayangi penyedia layanan medis. Perbaikan pertama-tama harus datang dari pihak kalangan kedokteran sendiri, kemudian asosiasi rumah sakit, dan pemerintah.
____________________________
Profesi Dokter Masihkah Sakral?
oleh Ario Djatmiko
Ketua Litbang Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jatim
http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=15651
Pertanyaan ini seharusnya menjadi pertanyaan untuk semua profesi di negeri ini. Saat ini, kita sedang menunggu ratifikasi piagam ASEAN. Bangsa ini sedang menaruh batu pijakan sejarah.
Pertanyaannya, apakah makna pasar tunggal ASEAN bagi profesi dokter di negeri ini? Seorang teman dokter yang ahli dalam perumahsakitan bercerita. Saat menerangkan business plan di RS, seorang dokter senior mengemukakan keberatan.
Menurut dia, istilah business plan untuk pekerjaan dokter terdengar kurang tepat. Pekerjaan dokter itu pekerjaan mulia. Jangan pernah disamakan dengan bisnis. Ganti saja dengan sebutan action plan atau apalah, asal jangan menggunakan kata bisnis. Nggak pantes, semua mengamini!
Benarkah pekerjaan dokter itu sakral? Anggapan umum, sakralitas selalu bertolak belakang dengan uang. Lha, pekerjaan mulia kok narik ongkos, terkadang mahal. Lantas, di mana letak sakralnya? Hal lain, apakah karena disebut karya mulia, lantas pekerjaan dokter tak boleh tersentuh oleh ukuran lazim suatu profesi?
Prof Laksono melihat sebuah paradoks. Tempat terpencil yang membutuhkan uluran hati, ternyata, sepi dokter. Sebaliknya, dokter (baca: dokter spesialis) justru bertumpuk di kota besar, yang perputaran ekonominya tinggi. Jadi, lebih cocok dikatakan bahwa distribusi dokter lebih mengikuti hukum ekonomi ketimbang rasa perikemanusiaan.
Anda pernah mendengar dokter berpenghasilan Rp 1 miliar per bulan? Tampaknya, banyak dokter yang tangkas berbicara soal uang. Tetapi ironis, ada dokter yang berpenghasilan Rp 1 juta sebulan. Di sini, pasar berbicara. Tetapi bagaimanapun, masyarakat memerlukan kejelasan bagaimana seharusnya berurusan dengan dokter.
Masa Transisi
Ada baiknya kita bertanya, bagaimana profesi dokter dulu, kini, dan kelak di masa datang? Perkembangan teknologi membawa perubahan peradaban. Shortell membagi perjalanan dokter menjadi tiga tahap.
Tahap petama, era sebelum 1980. Shortell menyebut era Solo. Dokter praktik atas nama pribadi. Peran dokter amat dominan, hubungan dokter-pasien paternalistik. Di sini, dokter langsung berperan sebagai deal & price maker. Dokter merasa pasien itu adalah "miliknya".
Akibatnya, kontrol perilaku dokter mustahil. Ungkapan power tends to corrupt, absolute power, corrupt absolutely pun terjadi. Lihat, kisah buruk pelayanan medik menghiasi media negeri ini.
Hubungan dokter tamu dan RS swasta sebatas interlock interest. Artinya, hubungan terjadi sejauh kepentingan (baca: finansial) masing-masing terpenuhi. Tanpa ada visi. No client, no business! Pasien "milik" dokter tamu, RS swasta hanya fasilitator. Nilai dokter tamu di mata RS swasta lebih karena kekuatan pasar ketimbang keahliannya. Seahli apa pun si dokter, tanpa mampu mendatangkan pasien, tidak ada harganya.
Tetapi di sisi lain, RS swasta dibuat tidak berdaya. Dokter "top" sering sewenang-wenang mendikte RS. Tapi, apa daya, RS swasta butuh pasien. Terjadi hubungan "benci tapi rindu". RS Swasta terjebak! Investasi mahal membuat ketergantungan RS swasta semakin besar. Produk medik tak terkontrol, ujung-ujungnya RS tidak kompetitif lagi. Sungguh bencana menanti di era hyper kompetisi nanti.
Tahap kedua, pada 1980-2000, Shortell menyebut era grup. Dokter dalam spesialisasi yang sama membentuk grup kerja. Awalnya, grup kerja itu bertujuan baik. Menjamin ketersediaan dan kualitas dokter. Tentu juga menjaga kualitas hidup si dokter sendiri. Terjadi depersonalization, pasien tidak lagi mencari nama dokter, tetapi keahlian.
Tetapi, timbul masalah baru. Lahirnya mafia! Terbentuknya grup mendorong praktik monopoli, satu bentuk kejahatan usaha. Grup mempunyai posisi tawar yang luar biasa. Dengan demikian, kualitas dan harga sepenuhnya ditentukan oleh grup. RS swasta semakin tidak berdaya dan produk semakin tak terkontrol. Ternyata, era grup tidak bertahan lama. Mempekerjakan dokter dengan loyalitas ganda sungguh akan menyulitkan RS swasta.
Tahap tiga, pada 2000-ke depan, disebut era korporasi. Pelayanan medik berubah secara fundamental. Produk medik merupakan hasil kerja sistem. Untuk menghasilkan produk medik yang sesuai dengan harapan pasien, semua komponen dalam sistem harus betul-betul terkontrol. Termasuk, performa dokternya tentunya. Terjadi depersonalization, dokter sepenuhnya membawa bendera RS.
Stephen Young mengingatkan, customers are always the heart of market capitalism. Tidak bisa lagi RS swasta membiarkan "denyut jantungnya" ditentukan oleh dokter tamu. Untuk mampu mengembangkan diri, mutlak RS (baca: RS swasta) harus mandiri. Di sini RS harus menjadi deal & price maker. RS-lah yang bertransaksi, menjamin produknya sesuai dengan harga yang dibayar pasien.
Untuk itu, tidak bisa dihindari, RS harus memiliki home dokter sendiri. Tentu RS swasta sepenuhnya mendukung home dokternya agar unggul bersaing. Lantas, bagaimana nasib dokter tamu? Seorang direktur RS swasta mengingatkan saya, tidak ada tempat lagi untuk "dokter asongan". Sungguh ungkapan tajam, tetapi dia jujur dan mungkin benar!
Memahami Korporasi
Curtis Schroeder benar, bisnis kesehatan adalah tambang emas. Ruang yang dulu tersedia untuk pekerjaan mulia kini diserbu pebisnis tangguh. Arena pertempuran bakal dahsyat. Para pebisnis yang tangkas bertarung ikut bermain. Pelayanan medik sudah menjadi milik industri. Produksi ditentukan oleh "perintah kompetisi".
Hanya RS yang mampu menghasilkan produk kompetitiflah yang akan survive. Produk unggul hanya dapat dihasilkan oleh dokter unggul, itu pasti. RS-lah yang berhak menyeleksi siapa dokter yang akan diterima kerja dan siapa tidak. Tentu dengan kriterianya sendiri. Peta berubah, terjadi arus balik. Saatnya dokter harus melamar kerja dan nasib sepenuhnya ditentukan oleh si pemberi kerja, RS swasta!
Pasar tunggal ASEAN berarti pergerakan modal, teknologi, barang, dan manusia unggul bebas hambatan. Pilihan RS swasta tidak berbatas lagi. Dengan dingin, pasar akan memilih dokter yang betul-betul unggul. Artinya, reputable doctors, mengikuti perkembangan teknologi mutahir, dan yang diterima pasar tentunya.
Masihkah kita bisa mengatakan profesi dokter itu sakral? Tampaknya, terjadi ketinggalan cara pandang. Pemahaman dokter terhenti di era solo, banyak dokter yang masih berpikir sebagai penguasa pasar.
Teringat pesan Galileo: measure what can be measured, make measurable what can not be measured. Saatnya, kita harus menerima, dokter hanyalah profesi biasa yang setiap saat siap diukur. Dapatkah pendidikan dokter di negeri ini membawa anak didiknya bersaing di pasar yang kejam nanti? Pertanyaan itu harus dijawab!
_____________________________
"Kesan pertama begitu menggoda".
Mungkin Anda sudah familier dengan tagline yang dipopulerkan sebuah iklan parfum tersebut. Hal ini juga berlaku untuk para dokter. Berdasarkan penelitian, para ahli menyarankan para dokter untuk membuat kesan pertama yang baik bagi pasiennya. Sebab, tidak akan ada istilah "kesempatan kedua" untuk meninggalkan kesan yang menyenangkan. Survei mengungkapkan, hampir semua pasien menginginkan si dokter menyebut nama dan menjabat tangan mereka ketika pertama kali bertemu. Namun, kebanyakan dokter hanya menjabat tangan saja tanpa menyebut nama si pasien.
"Sapaan mungkin hanya bagian kecil dari prosesi konsultasi pasien dengan dokternya, namun efeknya bisa jangka panjang," kata kepala studi penelitian dari Northwestern University Feinberg School of Medicine, Gregory Makoul. Dia menegaskan, kesan pertama adalah fondasi untuk membangun hubungan selanjutnya antara dokter dan pasiennya. Tak hanya itu, sikap yang sopan juga dapat mencegah salah paham.
Dalam dunia medis, banyak kasus kesalahan yang terjadi akibat kurang tepatnya penanganan dan pendekatan dokter terhadap pasien. "Ini bukan hanya soal menyapa. Ada hubungan antara komunikasi yang baik dokter-pasien dengan tingkat kesembuhan penyakit si pasien," kata Dr Sheldon Horowitz dari American Board of Medical Specialties, Amerika.
Dalam penelitian yang dilakukan selama kurun waktu 2004-2005 silam tersebut, peneliti menyurvei 415 responden orang dewasa di Amerika, lalu ditanyakan tentang kesan dan pendapatnya tentang sapaan dokter. Peneliti juga mengamati video kunjungan dari 123 pasien terhadap 19 dokter di Chicago dan Burlington Vermont untuk melihat perilaku si dokter. Hasil studi yang dilaporkan dalam Archives of Internal Medicine itu menyebutkan bahwa sebanyak 78% responden menginginkan dokter menjabat tangannya, sedang 18% menganggapnya tidak perlu.
Dari pengamatan video diketahui jabat tangan antara dokter-pasien adalah sebanyak 83%. Namun, dalam separuh dari video kunjungan tersebut terlihat bahwa dokter tidak menyebut nama depan ataupun nama belakang si pasien. Sedangkan sebanyak 39% tidak saling menyebut nama, baik pasien maupun dokternya. (Rtr/inda).
____________________________________
Bila Dokter Jadi Detektif
Dokter harus rajin mengevaluasi kasus pasien.
http://www.korantempo.com/korantempo/2008/08/06/Gaya_Hidup/krn,20080806,52.id.html
Sekitar 50 dokter muda, pandangan mereka terpaku pada laptop di depan mereka. Mereka melingkar di satu meja dalam sebuah ruang pertemuan di Hotel Nikko, Bali, pertengahan bulan lalu. Kelompok spesialis anak tersebut terbagi menjadi beberapa kelompok untuk memecahkan persoalan yang ditawarkan para tutor dari Negeri Kincir Angin. Mereka tengah menjajal pelatihan agar bisa memberi pengobatan yang terbaik untuk pasien lewat evidence based medicine (EBM). Inilah istilah yang digunakan untuk pengambilan keputusan medis berdasarkan bukti ilmiah, keahlian klinis, dan nilai-nilai masyarakat. Metode ini mulai dikembangkan sejak 1990-an di Eropa.
Para dokter itu seperti para detektif yang tengah memecahkan sebuah kasus. Hanya, kali ini di hadapan para peserta pelatihan dari berbagai daerah itu adalah problem medis. Mereka mencoba menjalani lima langkah saat mengambil keputusan, dari memformulasikan masalah, menelusuri bukti ilmiah, mengkajinya, hingga menerapkan dan mengevaluasinya.
Dalam pembukaan pelatihan selama tiga hari yang digelar Nutricia Indonesia Fund itu, Prof Hugo S.A. Heymans, MD dari AMC Amsterdam menyebutkan, umumnya para dokter memberikan perawatan dan pengobatan sesuai dengan apa yang tertera di buku dan arahan dokter senior mereka. "Padahal ketika mereka lulus, isi text book itu tidak lagi relevan dengan kondisi saat itu karena buku tersebut dibuat jauh sebelumnya," katanya. Inilah saatnya membuang bahkan membakar text book dan mulailah mencari bukti ilmiah sebelum melakukan pengobatan.
Heyman mengakui tak mudah, memang, beralih ke cara baru setelah para dokter anak ini terbiasa dengan metode yang sama selama bertahun-tahun. Ada sederet tantangan, seperti perlu usaha besar dan waktu yang tidak sebentar. Diakui Sudigdo Sastroasmoro, MD, PhD dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, memang sulit mengubah pola pikir seseorang setelah ia mencoba menyebarkan sebuah paradigma selama bertahun-tahun di negeri ini.
Saat praktek, dokter umumnya lebih banyak mengacu pada intuisi dan pendapat para senior. Dengan mengacu pada EBM, menurut Sudigdo, dokter tak lagi bisa bergantung pada kedua hal tersebut. Mereka harus lebih mencermati jurnal-jurnal hasil penelitian yang terus bertambah. "Jadi prakteknya lebih ilmiah," kata ahli kardiologi anak ini. Namun, karena hasil penelitian di Internet berlimpah, ia mengingatkan untuk mencari yang valid, penting, dan bisa dipraktekkan.
Menurut Sudigdo, ada sejumlah keuntungan dengan EBM, di antaranya menangani pasien menjadi lebih spesifik. Tapi dokter harus rajin melakukan evaluasi terhadap kasus pasien sehingga, bila menemukan kasus serupa, ia bisa memberikan pengobatan yang lebih tepat. "Di sini dokter seperti detektif," tuturnya. Namun, inilah jalan untuk menjadi dokter yang terbaik.
Saat mengambil keputusan untuk pengobatan yang paling tepat, Heymans menambahkan, perlu dipertimbangkan beberapa hal--ya, bak penyelidik sejati--di antaranya memprediksi risikonya, kemudian nilai tambahnya, risetnya harus valid, dan secara klinis memang relevan dengan kasus yang ditangani.
Sudigdo mengakui penelitian itu mahal dan suatu hal yang sulit. Namun, tidak perlu bergantung pada hasil penelitian dalam negeri. Bisa mengacu pada sejumlah jurnal dari luar negeri dengan mengacu pada konsep dasar mencari bukti ilmiah, yakni patient/problem, intervention, comparison, outcome. Penelitian yang menjadi acuan pengobatan haruslah yang benar-benar terkait dengan problem yang ditangani, dicermati jenis obatnya apa. Kemudian bandingkan dengan pengobatan lain atau plasebo, baru dilihat hasilnya. Untuk tahap awal, EBM bisa diterapkan saat menangani penyakit dalam serta gangguan pada paru dan saraf.
Profesor dr J.B. (Hans) vam Goudoever, ahli medis anak dari Rumah Sakit Anak Sophia, Rotterdam, menyebutkan informasi di Internet benar-benar berlimpah. "Di (situs) biomedis, misalnya, terhadap hasil temuan sebanyak 5.000 per hari. Sedangkan (di situs) Medline sebanyak 1.800 per hari. Jadi ketersediaan informasi hasil riset cukup tinggi," ujarnya. Dengan kata lain, tak ada alasan untuk tidak melirik gaya detektif. RITA
Lima Langkah
1. Memformulasi pertanyaan dari masalah medis yang dihadapi.
2. Menelusuri bukti-bukti terbaik untuk mengatasi problem tersebut.
3. Mengkaji bukti, validitas, dan kesesuaiannya dengan kondisi yang ada.
4. Menerapkan hasil kajian.
5. Mengevaluasi penerapannya.
Tiga Paduan
1. Bukti ilmiah terbaik. Artinya bukti ilmiah harus berasal dari studi yang dilakukan dengan metodologi tepercaya dan dilakukan dengan benar. Menggunakan variabel-variabel penelitian yang dapat diukur dan dinilai secara obyektif dan menghindari bias dari peneliti.
2. Ada keahlian klinis. Untuk menjabarkan EBM diperlukan kemampuan klinis memadai, termasuk mengidentifikasi kondisi pasien, mendiagnosis secara tepat dan cepat.
3. Nilai-nilai masyarakat. Setiap pasien, apa pun suku dan agamanya, mempunyai nilai-nilai unik tentang status kesehatan dan penyakitnya. Tentunya ia memiliki harapan atas perawatan dan pengobatannya.
___________________________________
Menurut Majalah BIDI no. 23, tanggal 10 Desember 1995, dokter-dokter di Indonesia (khususnya di Jakarta) terbagi atas 5 kelompok besar :
Kelompok Pertama
Kelompok pertama ini adalah kelompok yang disebut kelompok papan bawah, yang terdiri dari dokter yang baru lulus (dari dalam atau luar negeri), dokter lokal (dokter tanpa surat ijin praktek atau mereka yang berstatus honorer di rs-rs/klinik swasta), dokter umum jaga pengganti (biasanya menggantikan praktek dokter umum lainnya), dan dokter umum jaga malam (baik di Instansi Gawat Darurat RS besar maupun di shift malam Klinik 24 jam). Sesungguhnya dalam kelompok ini termasuk mereka yang belum bekerja atau baru mencari-cari pekerjaan. Bila sudah kerjapun belum ada gaji tetap. Imbalan yang diperolehnya masih relatif rendah, dengan penentuan imbalan ditentukan oleh orang lain.
Kelompok Kedua
Anggota kelompok kedua ini adalah dokter Puskesmas, dokter dosen yunior FK bidang preklinik, dokter yunior poliklinik departemen atau instansi pemerintah, dokter umum baru praktek swasta, dokter baru di Depkes, Kanwil atau Kadinkes, dokter PTT dan baru saja pasca-PTT, dokter yang bekerja sebagai peneliti, dokter baru di perusahaan farmasi (medical advisor). Mereka hanya "sedikit" berada di atas dari kelompok I karena mereka relatif sudah berpenghasilan tetap (dari gaji yang mereka peroleh). Mereka masih bersandar pada gaji.
Kelompok Ketiga
Anggota kelompok ketiga ini adalah dokter umum praktek swasta menengah (antara 5 - 110 tahun), dokter spesialis baru, dokter spesialis pasca Wajib Kerja Sarjana (WKS) II, dosen yunior FK bidang klinik (klinikus yunior), dokter kepala atau senior di klinik departemen, dokter pemilik klinik swasta, pemilik klinik 24 jam, dokter strata menengah di Depkes dan jajarannya, dokter wiraswasta baru bidang non medik, dan dokter senior di perusahaan farmasi. Mereka sudah mulai mantap posisi ekonominya dengan ciri-ciri sudah memiliki rumah sendiri dan sudah mulai berlangganan dengan bank-bank pemberi kredit investasi.
Kelompok Keempat
Yang termasuk kelompok ini adalah : dokter umum senior praktek swasta perorangan (biasanya sudah berpraktek 15 - 25 tahun), dokter umum praktek swasta yang cukup laris, dokter spesialis menengah (5-10 tahun praktek spesialis), dokter pejabat tinggi departemen pemerintah dan jajarannya, para direktur RS pemerintah atau swasta, dosen senior FK (bukan spesialis atau bila spesialis adalah kelompok yang "tidak basah"), dokter konsultan yang berakses sedang sampai menengah ke atas, dokter pemilik RS Swasta kecil, dan dokter direktur badan usaha pemerintah atau sejenisnya. Mereka ini sudah menjadi kelompok penentu dalam ruang lingkupnya masing-masing yang memiliki dampak sosial yang luas.
Kelompok Kelima
Mereka adalah para dokter spesialis senior/laris dari bidang ilmu yang "basah", pemilik RS Swasta sedang sampai besar, dokter konsultan atau pimpinan proyek yang berakses tinggi (termasuk badan-badan kesehatan dunia), serta dokter pengusaha bahkan dokter "konglomerat". Mereka selain memiliki otoritas dalam bidangnya, juga memiliki akses yang banyak dalam hampir semua bidang di luar medik. Mereka termasuk ke kelompok puncak penentu kebijakan dan paling besar pengaruhnya di masyrakat luas.
Masih menurut majalah BIDI, prosentasenya amat sulit untuk ditentukan secara pasti namun bisa diperkirakan bahwa jumlah kelompok I, II, dan III mencakup 70 - 85 % populasi dokter di DKI. Kelompok IV sekitar 10 - 15 %, dan kelompok V sekitar 2 - 5 %.
________________________________________
Lanjut ...
Tentunya, ini bukan generalisasi untuk semua dokter, tetapi dari pengalaman pribadi berobat di Indonesia tercinta ini, opini pribadi saya adalah sangat sulit menemukan dokter yang berdedikasi dan berorientasi semata-mata pada target kesembuhan pasien secara rasional tanpa embel-embel kepentingan lainnya.
Kontribusi dari "komersialisasi pendidikan", "komersialisasi pemeriksaan kesehatan" dan "perang obat / perusahaan besar farmasi" adalah beberapa faktor utama dari bergesernya orientasi dokter. Sejak awal masuk ke fakultas kedokteran, orientasi mayoritas mungkin adalah target ekonomi, dan bukan target sosial/pelayanan.
Pola kejar setoran, praktek sana-sini, RS swasta yang tidak memiliki tenaga/karyawan dokter spesialis tetap, sudah saatnya diminimalisir. Dalam pandangan saya yang awam, harusnya setiap RS Swasta memiliki dokter spesialis tetap, dan perlakuannya adalah sebagai karyawan yang menerima gaji bulanan. Kalau perlu, RS Swasta harus melakukan investasi dengan memberikan beasiswa ke Dokter Umum-nya untuk mengambil pendidikan spesialis.
Idealnya penghasilan dokter adalah dari gaji bulanan, serta pembagian SHU (sisa hasil usaha) tahunan dari Rumah Sakit, seperti halnya dengan karyawan/professional bidang lainnya. Pola pendekatan ini akan memberikan rasionalisasi dalam pemeriksaan dan pemberian obat, karena dokter tidak perlu kejar setoran dan jumlah pasien per hari dapat dibatasai untuk setiap dokter.
Di kota besar Indonesia, jika dilihat jumlah dokter spesialis, pendekatan tersebut memungkinkan untuk dilakukan. Yang perlu part-time cukup yang sub-spesialis (konsulen), Professor, dll, yang jumlahnya memang masih terbatas. Hubungan dengan konsulen (sub-spesialis) dapat dilakukan oleh dokter spesialis tetap RS per telepon, toh selama ini juga model konsultasi via telepon semacam ini (bahkan cuma dilakukan oleh Perawat ke Dokter Part-time, dan dikenakan biaya ke Pasien sama seperti visit langsung ... bukan main) sudah umum dilakukan oleh para RS Swasta.
Tip dan Fasilitas (berupa fee terhadap obat/resep yang dituliskan, dan fasilitas lain-lain) yang diberikan Perusahaan Besar Farmasi kepada dokter harusnya diatur dalam Kode Etik Kedokteran dengan melarangnya sama sekali. Ini adalah praktek yang sangat tidak sehat, yang menjadikan peresepan menjadi tidak rasional dan sangat tidak adil bagi pasien.
... ternyata, setelah English googling sore ini, saran untuk menghilangkan dokter part-time dan menjadikan dokter sebagai bagian integral dari Rumah Sakit (sebagai karyawan permanen, bagian dari pemilik perusahaan, mendapatkan bonus keuntungan perusahaan, dan/atau semacamnya) telah menjadi bahan diskusi sejak lama, yang salah satunya saya kutipkan di bawah ini :
________________________________
Strengthening hospital-physician relationships
by Robert A. McGowan
Healthcare Financial Management , Dec, 2004
http://findarticles.com/p/articles/mi_m3257/is_12_58/ai_n8574803/
When hospitals and physicians work well together, they can Better provide patient care efficiently and cost-effectively. But hospitals and physicians face many challenges today that can undermine their close working relationship. For optimal relationships with physicians, hospitals need to combine a strategy to align economic interests and share revenues with strategies to communicate better, build trust, and include physicians in decision making.
A study by Mitretek Healthcare identified some concrete strategies hospitals are using to strengthen hospital-physician relationships. These findings offer a framework for hospital management, physician leadership, and hospital board members to reflect on what their organization is doing to strengthen these critical relationships.
Study participants consistently recognized the importance of maintaining and strengthening the relationship between hospitals and medical staff members. They also understood the high level of interdependence between the business enterprises of hospitals and the business enterprises of physicians. With strong relationships as a goal, many hospitals have some significant work to do. While 73 percent of the participating CEOs rated their hospital-physician relationships quite positively, only 44 percent of the participating physicians shared this view.
Stresses and Challenges
Several factors placing stress on hospitals make true alignment with physicians difficult. These factors include weak and declining payment, staffing shortages, challenges related to quality and patient safety, constantly changing medical technologies, increasing customer expectations related to quality and access to services, capacity constraints as the population ages, and increased competition from private, for-profit providers of niche clinical services. Physicians also commonly report increased stress due to threats to their clinical autonomy, declining payment, increases in practice overhead, major increases in malpractice insurance premiums, and the challenge of living a balanced lifestyle. These stresses also create increased tension in hospital-physician relationships.
In the study, many hospital leaders expressed concerns related to the loss of the historical loyalty to the hospital as physicians focus more on their office practice. Physicians and niche providers are competing more aggressively for ancillary revenues and for clinical services that provide high payment. Many physicians are threatened by hospital strategies to recruit new physicians and grow select clinical services. Hospitals' on-call demands are alienating many physicians, and an increasing number of physicians are either demanding pay for on-call duty or refusing to be on call.
Revenue-Sharing Strategies Are Critical
Many of the current tensions identified in the study focus on revenue. If this study had been conducted five to 10 years ago, the identified stresses probably would have concerned control issues more than capturing revenue. In the study, both hospital leadership and physicians reported that they are working harder than ever, yet making less money. They also understood that, given the financial challenges of today's healthcare environment, hospitals and physicians will become either more collaborative partners or more active competitors, with few in a neutral zone. Thus, the critical question is: "What are the multiple strategies hospitals should use to better align their economic incentives with those of physicians?"
Study participants commonly noted that "volunteerism is dead" and that physicians expect to be paid for time spent on hospital business. Sixty-four percent of the respondents said their hospitals pay physicians to serve as officers or department heads. Some even pay physicians stipends to attend meetings. Only 21 percent said they pay physicians for being on call, and the interviews suggest strong resistance to doing so for fear that the cost will quickly get out of control.
A literature search suggests that a comprehensive strategy related to shared economic interests should include some combination of the following:
* Growing clinical services that enhance physician income
* Investing in infrastructure and information systems to increase efficiency, access, and physician productivity
* Actively marketing the medical staff
* Offering physicians equity ownership in real estate and not-for-profit bonds
* Paying physicians stipends for value-added services
* Offering gain sharing
* Employing physicians
* Entering into joint ventures
* Entering into collaborative managed care contracting
* Exploring options for providing financial relief for large increases in malpractice premiums
There is no right combination of the above. The strategy must be tailored to each hospital and physician community.
The survey found 87 percent of participating hospitals provide financial support for recruitment to physician practices, 83 percent employ primary care physicians, and 62 percent employ some office-based specialists. All of these strategies received high effectiveness ratings.
________________________________
Kasus Prita "Versus" Akhlak Dokter
Kompas, Sabtu, 6 Juni 2009 | 03:10 WIB
Oleh : HANDRAWAN NADESUL
Dokter; Pengasuh Rubrik Kesehatan; dan Penulis Buku
Penilaian dan sikap pengendalian masyarakat pasien sebagai sistem kontrol yang efektif terhadap eloknya layanan medis. (Telaah Kisch & Reeder)
Kasus Prita bukan cuma satu. Tak sedikit pasien kita yang dikecewakan dokter atau rumah sakit akhirnya merasa diabaikan. Tanpa melacak apa di balik kasus itu, kasus Prita masih akan terus menjadi endemis. Anggapan bahwa ”dokter selalu benar, pasien pasti salah” atau ”mana mungkin pasien salah, dokter pasti salah” perlu dilempangkan.
Dokter dan rumah sakit bukan pihak yang untouchable. Kerja profesi dokter sudah lengkap diberi ”pagar”. Pendidikan etika kedokteran saat sekolah, sumpah dokter kepada Yang Maha Mengawasi saat lulus, dan selama berpraktik dokter dipandu oleh perangkat Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dan Undang- Undang Praktik Kedokteran. Tiap dokter menginsafi semua itu.
Dokter mau berbicara
Bukan sikap kesengajaan profesi dokter kalau muncul kasus. Bukan karena semua dokter ingin melompati ”pagar” yang disepakati. Lebih sering, ada yang lebih kuat dari hanya hukum dan regulasi jika praktik dokter tampil tak elok di mata pasien.
Ada dua hal yang membuat kinerja profesi dokter tidak elok, yaitu komunikasi dokter dengan pasien dan akhlak dokter sendiri.
Soal komunikasi, harus diakui, opini pasien ihwal penyakitnya belum tentu sama dengan opini medis. Makin terbatas wawasan medis pasien, makin banyak yang perlu dokter komunikasikan. Salah sangka pasien terhadap kasus medisnya lebih sering karena dokter menjawab pasien hanya jika ditanya.
Kasus Steven-Johnson, misalnya. Ini kasus alergi hebat yang bisa mengancam nyawa pasien akibat obat atau suntikan. Kita tahu, dalam tradisi berobat, pasien kita umumnya tak memiliki ”paspor” kesehatan selain tak punya dokter keluarga. Pasien kita umumnya selalu asing di mata dokter yang dikunjunginya.
Secara medis, tanpa data lengkap pasien, sulit bagi dokter meramal reaksi alergi hebat yang mungkin menimpa pasien. Selain itu, karena keterbatasan waktu praktik, banyak dokter juga kurang mengorek kondisi medis pasien yang belum dikenal. Jika saja dokter lebih banyak bertanya, misalnya adakah bakat alergi, dan menjelaskan kemungkinan alergi hebat bisa terjadi sehabis berobat, dan sekiranya sampai muncul kasus pun, tentu tak sampai diopinikan sebagai malapraktik karena pasien sudah tahu jika risiko itu bakal terjadi. Hingga kini, kasus Steven-Johnson diopinikan masyarakat sebagai kesalahan pihak medis.
Kasus Prita muncul karena tidak dibangun komunikasi dokter dengan pasien. Tanpa penjelasan apa yang dilakukan dokter dan yang akan dialami pasien serta akibat yang mungkin muncul dari berobat, keterbatasan wawasan pasien ihwal penyakitnya mungkin melahirkan opini miring yang justru merugikan dokter.
Merawat akhlak dokter
Tiap dokter mengetahui kewajiban pribadi dan hak pasien. Bukan melalaikan keinsafan itu saja jika kasus malapraktik dan misconduct (bersikap judes, marah, tak ramah) masih muncul. Sejatinya kompetensi dokter dan pasien kelewat senjang. Otonomi dokter nyaris tak terbatas. Tanpa keindahan akhlak, praktik dokter tampil tidak profesional.
Industri medis yang kita anut dan fakta yang merongrong moral dokter adalah rumah sakit harus berinvestasi dan perlu berhitung agar tetap melaba. Pasien yang dilayani pun melebihi jumlah dokter sehingga tergoda berpraktik hingga larut malam dengan konsekuensi praktiknya tidak lagi profesional berpotensi membahayakan pasien.
Mengingat penghargaan pemerintah tak memadai, ada banyak dokter memilih menerima iming-iming dari perusahaan farmasi. Ini mengakibatkan harga obat mahal dan harus dipikul pasien. Praktik memberi obat yang tak perlu dan memilih yang lebih mahal (iatrogenic dan polypharmacy) mencitrakan dokter tidak lagi melihat profesinya.
Dokter dan rumah sakit bisa terjebak berlaku nakal dengan memanfaatkan ketidaktahuan pasien yang teperdaya jika orientasi profesi dokter hanya demi duit. Tanpa akhlak yang elok, hukum medis bisa ditekuk, regulasi medis bisa dilipat, dan dokter memanfaatkan kekuasaannya yang tinggi. Rekam medis sebagai satu-satunya bukti tindak malapraktik ada di bawah kekuasaan dokter.
Otonomi profesi dokter kelewat tinggi sehingga jika akhlak dokter lumpuh, dokter bisa berkelit dari tudingan melakukan kesalahan. Hukum dan regulasi medis bisa ditaklukkan. Namun, tidak demikian bila akhlak dokter terawat.
Hak pasien harus difungsikan. Wawasan kesehatan masyarakat perlu bertambah cerdas agar lebih kritis dan skeptis atas layanan medis yang diterima. Sadar akan hak sebagai pasien dan kaya wawasan kesehatan membantu dokter merawat akhlaknya. Dokter tidak sembarangan melakukan pekerjaan profesinya. Kita sepakat, tak ada yang lebih berkuasa dari akhlak dalam keunggulan profesi apa pun.
Akhlak dokter tidak boleh dikalahkan oleh apa pun dan tetap eling akan sumpah profesi yang merupakan janji kepada Yang Maha Melihat. Jadi, tak ada pilihan bagi dokter yang ingin tetap profesional, mendahulukan kepentingan pasien dan memilih berpraktik dengan hati.
____________________________
Prita "Lawan" RS Omni
Kartono Mohamad
Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia
Kompas, 04 Juni 2009
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/04/03352924/prita.lawan..rs.omni
Secara formal, pada umumnya penyedia layanan medis mengakui bahwa pasien mempunyai hak. Tetapi, dalam praktik, tidak banyak penyedia layanan medis yang memerhatikan atau bahkan memahami hal ini. Yang lebih sering diperhatikan hanyalah kewajiban pasien, terutama kewajiban untuk membayar.
Hal ini terutama akibat pola hubungan tidak seimbang antara pasien dan dokter, dengan dokter pada posisi yang lebih kuat dan dominan. Seolah sudah menjadi paradigma bagi para dokter bahwa pasien harus tunduk, menurut kata dokter, dan tidak boleh mengajukan banyak pertanyaan. Pemahaman bahwa pasien mempunyai hak tidak diperoleh ketika dalam pendidikan sehingga mereka akan merasa aneh jika dalam praktik ada pasien yang menanyakan banyak hal.
Namun, kini ketentuan bahwa pasien punya hak sudah dikukuhkan dalam undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Dalam Pasal 52 disebutkan ada lima hak pasien, yaitu mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis, meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain, mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis, menolak tindakan medis, dan mendapatkan isi rekam medis.
Banyak versi mengenai hak pasien ini, baik dari yang sudah menjadi UU maupun yang berupa pernyataan atau kesepakatan perkumpulan. World Medical Association mengeluarkan Deklarasi Hak Pasien dan American Hospital Association mempunyai A Patient’s Bill of Rights.
Semua pernyataan dan UU itu menyatakan, pasien mempunyai hak yang harus dihormati ketika ia berhadapan dengan penyedia layanan medis. Ada hal-hal yang disebut dalam UU atau deklarasi di negara lain yang belum secara eksplisit diutarakan oleh UU Praktik Kedokteran kita, yaitu hak pasien untuk memperoleh pelayanan yang tidak diskriminatif, hak untuk dihormati dan dilindungi privacy-nya, dan hak untuk secepat mungkin mendapatkan solusi atas komplain yang diajukan terhadap penyedia layanan.
Tujuan
Di Amerika Serikat, UU tentang hak pasien dihasilkan oleh US Advisory Commission on Consumer Protection and Quality in the Health Care Industry pada tahun 1998. Disebutkan, pada intinya tujuan Patient’s Bill of Rights adalah, pertama, membuat pasien merasa lebih percaya terhadap layanan kesehatan. Kedua, menjamin bahwa penyedia layanan kesehatan akan bersikap adil (fair). Ketiga, penyedia layanan akan berusaha memberikan layanan sesuai dengan kebutuhan pasien (works to meet patient’s needs). Keempat, membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien.
Betapapun, keberhasilan upaya penyembuhan pasien amat bergantung pada rasa percaya yang imbal balik antara pasien dan dokter. Kepercayaan inilah yang harus selalu dijaga oleh penyedia layanan medis. Tanpa ada rasa percaya dari pasien, tidak mungkin upaya penyembuhan akan berhasil. Kecuali jika tujuan penyediaan layanan bukan untuk membantu kesembuhan pasien, tetapi semata-mata untuk mencari keuntungan sebanyak dan secepat mungkin dengan memanfaatkan ketidaktahuan pasien.
Dalam mencoba memberikan layanan terbaik, penyedia layanan harus juga siap menghadapi konflik yang dapat terjadi. Konflik dapat terjadi antara perbedaan persepsi dokter dan pasien mengenai penyakit, adanya ekspektasi yang berlebihan dari pasien terhadap dokter, adanya perbedaan ”bahasa” dokter dengan pasien, dan ketidaksiapan dokter untuk menjalin komunikasi yang empatik. Perasaan sebagai kasta tersendiri yang berada di atas kasta pasien dapat berperanan terjadinya komunikasi yang tidak empatik tersebut.
Prita dan Omni
Kasus Prita Mulyasari dengan Rumah Sakit Omni adalah contoh telah hilangnya komunikasi yang empatik itu, yang kemudian merusak rasa saling percaya yang seharusnya dibina. Maka, jika tujuan pelayanan kepada Prita adalah untuk membantu menyembuhkannya dari penyakit, tujuan itu telah gagal. Jika ditanyakan siapa yang bersalah dalam hal ini, kedua pihak akan mengklaim sebagai yang benar. Prita mempersoalkan mengapa hasil laboratorium yang menyatakan bahwa trombositnya 27.000 tidak boleh dilihat. Pihak RS Omni menyatakan, hal itu belum divalidasi, jadi masih rahasia. Menjadi pertanyaan, jika masih rahasia, mengapa Prita sudah mengetahuinya? Bukankah saat ia dianjurkan untuk dirawat, ada dokter yang menjelaskan trombositnya 27.000?
Rasa percaya Prita sebagai pasien menjadi lebih menurun lagi saat pertanyaannya tentang obat suntik yang diberikan tidak mendapat jawaban yang jelas. Mungkin pertanyaan Prita yang bertubi-tubi membuat pihak RS Omni tidak berkenan. Maka, rusaklah hubungan saling percaya antara penyedia layanan dan yang dilayani. Masalah melebar menjadi pengungkapan kekesalan melalui e-mail dan perasaan tersinggung dari pihak RS Omni yang merasa dicemarkan nama baiknya.
Persoalan yang bermula dari pertanyaan sederhana dari seorang pasien yang ingin tahu dan merasa meminta haknya berkembang menjadi masalah yang ruwet karena pihak RS Omni membalas e-mail Prita dengan iklan besar-besar di koran.
Kesan orang awam, dan mereka yang tidak tahu masalahnya karena tidak membaca e-mail, telah terjadi unjuk kekuatan yang tentu saja tidak imbang. Hal itu diperburuk dengan ditahannya Prita di penjara Tangerang. Seandainya saja saat itu RS Omni bertindak simpatik dan meminta agar Prita jangan ditahan karena mempunyai anak yang masih kecil, keadaan mungkin justru akan berbalik.
Pelajaran
Yang telah terjadi di Tangerang itu membuktikan bahwa pada umumnya penyedia layanan medis di negeri ini belum berorientasi pada kepentingan atau kepuasan pasien. Orientasi pada mutu layanan juga belum menjadi acuan.
Kalau menurut Charles B Inlander dalam buku Medicine on Trial, masih banyak medical ineptitude and arrogance yang membayangi penyedia layanan medis. Perbaikan pertama-tama harus datang dari pihak kalangan kedokteran sendiri, kemudian asosiasi rumah sakit, dan pemerintah.
____________________________
Profesi Dokter Masihkah Sakral?
oleh Ario Djatmiko
Ketua Litbang Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jatim
http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=15651
Pertanyaan ini seharusnya menjadi pertanyaan untuk semua profesi di negeri ini. Saat ini, kita sedang menunggu ratifikasi piagam ASEAN. Bangsa ini sedang menaruh batu pijakan sejarah.
Pertanyaannya, apakah makna pasar tunggal ASEAN bagi profesi dokter di negeri ini? Seorang teman dokter yang ahli dalam perumahsakitan bercerita. Saat menerangkan business plan di RS, seorang dokter senior mengemukakan keberatan.
Menurut dia, istilah business plan untuk pekerjaan dokter terdengar kurang tepat. Pekerjaan dokter itu pekerjaan mulia. Jangan pernah disamakan dengan bisnis. Ganti saja dengan sebutan action plan atau apalah, asal jangan menggunakan kata bisnis. Nggak pantes, semua mengamini!
Benarkah pekerjaan dokter itu sakral? Anggapan umum, sakralitas selalu bertolak belakang dengan uang. Lha, pekerjaan mulia kok narik ongkos, terkadang mahal. Lantas, di mana letak sakralnya? Hal lain, apakah karena disebut karya mulia, lantas pekerjaan dokter tak boleh tersentuh oleh ukuran lazim suatu profesi?
Prof Laksono melihat sebuah paradoks. Tempat terpencil yang membutuhkan uluran hati, ternyata, sepi dokter. Sebaliknya, dokter (baca: dokter spesialis) justru bertumpuk di kota besar, yang perputaran ekonominya tinggi. Jadi, lebih cocok dikatakan bahwa distribusi dokter lebih mengikuti hukum ekonomi ketimbang rasa perikemanusiaan.
Anda pernah mendengar dokter berpenghasilan Rp 1 miliar per bulan? Tampaknya, banyak dokter yang tangkas berbicara soal uang. Tetapi ironis, ada dokter yang berpenghasilan Rp 1 juta sebulan. Di sini, pasar berbicara. Tetapi bagaimanapun, masyarakat memerlukan kejelasan bagaimana seharusnya berurusan dengan dokter.
Masa Transisi
Ada baiknya kita bertanya, bagaimana profesi dokter dulu, kini, dan kelak di masa datang? Perkembangan teknologi membawa perubahan peradaban. Shortell membagi perjalanan dokter menjadi tiga tahap.
Tahap petama, era sebelum 1980. Shortell menyebut era Solo. Dokter praktik atas nama pribadi. Peran dokter amat dominan, hubungan dokter-pasien paternalistik. Di sini, dokter langsung berperan sebagai deal & price maker. Dokter merasa pasien itu adalah "miliknya".
Akibatnya, kontrol perilaku dokter mustahil. Ungkapan power tends to corrupt, absolute power, corrupt absolutely pun terjadi. Lihat, kisah buruk pelayanan medik menghiasi media negeri ini.
Hubungan dokter tamu dan RS swasta sebatas interlock interest. Artinya, hubungan terjadi sejauh kepentingan (baca: finansial) masing-masing terpenuhi. Tanpa ada visi. No client, no business! Pasien "milik" dokter tamu, RS swasta hanya fasilitator. Nilai dokter tamu di mata RS swasta lebih karena kekuatan pasar ketimbang keahliannya. Seahli apa pun si dokter, tanpa mampu mendatangkan pasien, tidak ada harganya.
Tetapi di sisi lain, RS swasta dibuat tidak berdaya. Dokter "top" sering sewenang-wenang mendikte RS. Tapi, apa daya, RS swasta butuh pasien. Terjadi hubungan "benci tapi rindu". RS Swasta terjebak! Investasi mahal membuat ketergantungan RS swasta semakin besar. Produk medik tak terkontrol, ujung-ujungnya RS tidak kompetitif lagi. Sungguh bencana menanti di era hyper kompetisi nanti.
Tahap kedua, pada 1980-2000, Shortell menyebut era grup. Dokter dalam spesialisasi yang sama membentuk grup kerja. Awalnya, grup kerja itu bertujuan baik. Menjamin ketersediaan dan kualitas dokter. Tentu juga menjaga kualitas hidup si dokter sendiri. Terjadi depersonalization, pasien tidak lagi mencari nama dokter, tetapi keahlian.
Tetapi, timbul masalah baru. Lahirnya mafia! Terbentuknya grup mendorong praktik monopoli, satu bentuk kejahatan usaha. Grup mempunyai posisi tawar yang luar biasa. Dengan demikian, kualitas dan harga sepenuhnya ditentukan oleh grup. RS swasta semakin tidak berdaya dan produk semakin tak terkontrol. Ternyata, era grup tidak bertahan lama. Mempekerjakan dokter dengan loyalitas ganda sungguh akan menyulitkan RS swasta.
Tahap tiga, pada 2000-ke depan, disebut era korporasi. Pelayanan medik berubah secara fundamental. Produk medik merupakan hasil kerja sistem. Untuk menghasilkan produk medik yang sesuai dengan harapan pasien, semua komponen dalam sistem harus betul-betul terkontrol. Termasuk, performa dokternya tentunya. Terjadi depersonalization, dokter sepenuhnya membawa bendera RS.
Stephen Young mengingatkan, customers are always the heart of market capitalism. Tidak bisa lagi RS swasta membiarkan "denyut jantungnya" ditentukan oleh dokter tamu. Untuk mampu mengembangkan diri, mutlak RS (baca: RS swasta) harus mandiri. Di sini RS harus menjadi deal & price maker. RS-lah yang bertransaksi, menjamin produknya sesuai dengan harga yang dibayar pasien.
Untuk itu, tidak bisa dihindari, RS harus memiliki home dokter sendiri. Tentu RS swasta sepenuhnya mendukung home dokternya agar unggul bersaing. Lantas, bagaimana nasib dokter tamu? Seorang direktur RS swasta mengingatkan saya, tidak ada tempat lagi untuk "dokter asongan". Sungguh ungkapan tajam, tetapi dia jujur dan mungkin benar!
Memahami Korporasi
Curtis Schroeder benar, bisnis kesehatan adalah tambang emas. Ruang yang dulu tersedia untuk pekerjaan mulia kini diserbu pebisnis tangguh. Arena pertempuran bakal dahsyat. Para pebisnis yang tangkas bertarung ikut bermain. Pelayanan medik sudah menjadi milik industri. Produksi ditentukan oleh "perintah kompetisi".
Hanya RS yang mampu menghasilkan produk kompetitiflah yang akan survive. Produk unggul hanya dapat dihasilkan oleh dokter unggul, itu pasti. RS-lah yang berhak menyeleksi siapa dokter yang akan diterima kerja dan siapa tidak. Tentu dengan kriterianya sendiri. Peta berubah, terjadi arus balik. Saatnya dokter harus melamar kerja dan nasib sepenuhnya ditentukan oleh si pemberi kerja, RS swasta!
Pasar tunggal ASEAN berarti pergerakan modal, teknologi, barang, dan manusia unggul bebas hambatan. Pilihan RS swasta tidak berbatas lagi. Dengan dingin, pasar akan memilih dokter yang betul-betul unggul. Artinya, reputable doctors, mengikuti perkembangan teknologi mutahir, dan yang diterima pasar tentunya.
Masihkah kita bisa mengatakan profesi dokter itu sakral? Tampaknya, terjadi ketinggalan cara pandang. Pemahaman dokter terhenti di era solo, banyak dokter yang masih berpikir sebagai penguasa pasar.
Teringat pesan Galileo: measure what can be measured, make measurable what can not be measured. Saatnya, kita harus menerima, dokter hanyalah profesi biasa yang setiap saat siap diukur. Dapatkah pendidikan dokter di negeri ini membawa anak didiknya bersaing di pasar yang kejam nanti? Pertanyaan itu harus dijawab!
_____________________________
"Kesan pertama begitu menggoda".
Mungkin Anda sudah familier dengan tagline yang dipopulerkan sebuah iklan parfum tersebut. Hal ini juga berlaku untuk para dokter. Berdasarkan penelitian, para ahli menyarankan para dokter untuk membuat kesan pertama yang baik bagi pasiennya. Sebab, tidak akan ada istilah "kesempatan kedua" untuk meninggalkan kesan yang menyenangkan. Survei mengungkapkan, hampir semua pasien menginginkan si dokter menyebut nama dan menjabat tangan mereka ketika pertama kali bertemu. Namun, kebanyakan dokter hanya menjabat tangan saja tanpa menyebut nama si pasien.
"Sapaan mungkin hanya bagian kecil dari prosesi konsultasi pasien dengan dokternya, namun efeknya bisa jangka panjang," kata kepala studi penelitian dari Northwestern University Feinberg School of Medicine, Gregory Makoul. Dia menegaskan, kesan pertama adalah fondasi untuk membangun hubungan selanjutnya antara dokter dan pasiennya. Tak hanya itu, sikap yang sopan juga dapat mencegah salah paham.
Dalam dunia medis, banyak kasus kesalahan yang terjadi akibat kurang tepatnya penanganan dan pendekatan dokter terhadap pasien. "Ini bukan hanya soal menyapa. Ada hubungan antara komunikasi yang baik dokter-pasien dengan tingkat kesembuhan penyakit si pasien," kata Dr Sheldon Horowitz dari American Board of Medical Specialties, Amerika.
Dalam penelitian yang dilakukan selama kurun waktu 2004-2005 silam tersebut, peneliti menyurvei 415 responden orang dewasa di Amerika, lalu ditanyakan tentang kesan dan pendapatnya tentang sapaan dokter. Peneliti juga mengamati video kunjungan dari 123 pasien terhadap 19 dokter di Chicago dan Burlington Vermont untuk melihat perilaku si dokter. Hasil studi yang dilaporkan dalam Archives of Internal Medicine itu menyebutkan bahwa sebanyak 78% responden menginginkan dokter menjabat tangannya, sedang 18% menganggapnya tidak perlu.
Dari pengamatan video diketahui jabat tangan antara dokter-pasien adalah sebanyak 83%. Namun, dalam separuh dari video kunjungan tersebut terlihat bahwa dokter tidak menyebut nama depan ataupun nama belakang si pasien. Sedangkan sebanyak 39% tidak saling menyebut nama, baik pasien maupun dokternya. (Rtr/inda).
____________________________________
Bila Dokter Jadi Detektif
Dokter harus rajin mengevaluasi kasus pasien.
http://www.korantempo.com/korantempo/2008/08/06/Gaya_Hidup/krn,20080806,52.id.html
Sekitar 50 dokter muda, pandangan mereka terpaku pada laptop di depan mereka. Mereka melingkar di satu meja dalam sebuah ruang pertemuan di Hotel Nikko, Bali, pertengahan bulan lalu. Kelompok spesialis anak tersebut terbagi menjadi beberapa kelompok untuk memecahkan persoalan yang ditawarkan para tutor dari Negeri Kincir Angin. Mereka tengah menjajal pelatihan agar bisa memberi pengobatan yang terbaik untuk pasien lewat evidence based medicine (EBM). Inilah istilah yang digunakan untuk pengambilan keputusan medis berdasarkan bukti ilmiah, keahlian klinis, dan nilai-nilai masyarakat. Metode ini mulai dikembangkan sejak 1990-an di Eropa.
Para dokter itu seperti para detektif yang tengah memecahkan sebuah kasus. Hanya, kali ini di hadapan para peserta pelatihan dari berbagai daerah itu adalah problem medis. Mereka mencoba menjalani lima langkah saat mengambil keputusan, dari memformulasikan masalah, menelusuri bukti ilmiah, mengkajinya, hingga menerapkan dan mengevaluasinya.
Dalam pembukaan pelatihan selama tiga hari yang digelar Nutricia Indonesia Fund itu, Prof Hugo S.A. Heymans, MD dari AMC Amsterdam menyebutkan, umumnya para dokter memberikan perawatan dan pengobatan sesuai dengan apa yang tertera di buku dan arahan dokter senior mereka. "Padahal ketika mereka lulus, isi text book itu tidak lagi relevan dengan kondisi saat itu karena buku tersebut dibuat jauh sebelumnya," katanya. Inilah saatnya membuang bahkan membakar text book dan mulailah mencari bukti ilmiah sebelum melakukan pengobatan.
Heyman mengakui tak mudah, memang, beralih ke cara baru setelah para dokter anak ini terbiasa dengan metode yang sama selama bertahun-tahun. Ada sederet tantangan, seperti perlu usaha besar dan waktu yang tidak sebentar. Diakui Sudigdo Sastroasmoro, MD, PhD dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, memang sulit mengubah pola pikir seseorang setelah ia mencoba menyebarkan sebuah paradigma selama bertahun-tahun di negeri ini.
Saat praktek, dokter umumnya lebih banyak mengacu pada intuisi dan pendapat para senior. Dengan mengacu pada EBM, menurut Sudigdo, dokter tak lagi bisa bergantung pada kedua hal tersebut. Mereka harus lebih mencermati jurnal-jurnal hasil penelitian yang terus bertambah. "Jadi prakteknya lebih ilmiah," kata ahli kardiologi anak ini. Namun, karena hasil penelitian di Internet berlimpah, ia mengingatkan untuk mencari yang valid, penting, dan bisa dipraktekkan.
Menurut Sudigdo, ada sejumlah keuntungan dengan EBM, di antaranya menangani pasien menjadi lebih spesifik. Tapi dokter harus rajin melakukan evaluasi terhadap kasus pasien sehingga, bila menemukan kasus serupa, ia bisa memberikan pengobatan yang lebih tepat. "Di sini dokter seperti detektif," tuturnya. Namun, inilah jalan untuk menjadi dokter yang terbaik.
Saat mengambil keputusan untuk pengobatan yang paling tepat, Heymans menambahkan, perlu dipertimbangkan beberapa hal--ya, bak penyelidik sejati--di antaranya memprediksi risikonya, kemudian nilai tambahnya, risetnya harus valid, dan secara klinis memang relevan dengan kasus yang ditangani.
Sudigdo mengakui penelitian itu mahal dan suatu hal yang sulit. Namun, tidak perlu bergantung pada hasil penelitian dalam negeri. Bisa mengacu pada sejumlah jurnal dari luar negeri dengan mengacu pada konsep dasar mencari bukti ilmiah, yakni patient/problem, intervention, comparison, outcome. Penelitian yang menjadi acuan pengobatan haruslah yang benar-benar terkait dengan problem yang ditangani, dicermati jenis obatnya apa. Kemudian bandingkan dengan pengobatan lain atau plasebo, baru dilihat hasilnya. Untuk tahap awal, EBM bisa diterapkan saat menangani penyakit dalam serta gangguan pada paru dan saraf.
Profesor dr J.B. (Hans) vam Goudoever, ahli medis anak dari Rumah Sakit Anak Sophia, Rotterdam, menyebutkan informasi di Internet benar-benar berlimpah. "Di (situs) biomedis, misalnya, terhadap hasil temuan sebanyak 5.000 per hari. Sedangkan (di situs) Medline sebanyak 1.800 per hari. Jadi ketersediaan informasi hasil riset cukup tinggi," ujarnya. Dengan kata lain, tak ada alasan untuk tidak melirik gaya detektif. RITA
Lima Langkah
1. Memformulasi pertanyaan dari masalah medis yang dihadapi.
2. Menelusuri bukti-bukti terbaik untuk mengatasi problem tersebut.
3. Mengkaji bukti, validitas, dan kesesuaiannya dengan kondisi yang ada.
4. Menerapkan hasil kajian.
5. Mengevaluasi penerapannya.
Tiga Paduan
1. Bukti ilmiah terbaik. Artinya bukti ilmiah harus berasal dari studi yang dilakukan dengan metodologi tepercaya dan dilakukan dengan benar. Menggunakan variabel-variabel penelitian yang dapat diukur dan dinilai secara obyektif dan menghindari bias dari peneliti.
2. Ada keahlian klinis. Untuk menjabarkan EBM diperlukan kemampuan klinis memadai, termasuk mengidentifikasi kondisi pasien, mendiagnosis secara tepat dan cepat.
3. Nilai-nilai masyarakat. Setiap pasien, apa pun suku dan agamanya, mempunyai nilai-nilai unik tentang status kesehatan dan penyakitnya. Tentunya ia memiliki harapan atas perawatan dan pengobatannya.
___________________________________
Menurut Majalah BIDI no. 23, tanggal 10 Desember 1995, dokter-dokter di Indonesia (khususnya di Jakarta) terbagi atas 5 kelompok besar :
Kelompok Pertama
Kelompok pertama ini adalah kelompok yang disebut kelompok papan bawah, yang terdiri dari dokter yang baru lulus (dari dalam atau luar negeri), dokter lokal (dokter tanpa surat ijin praktek atau mereka yang berstatus honorer di rs-rs/klinik swasta), dokter umum jaga pengganti (biasanya menggantikan praktek dokter umum lainnya), dan dokter umum jaga malam (baik di Instansi Gawat Darurat RS besar maupun di shift malam Klinik 24 jam). Sesungguhnya dalam kelompok ini termasuk mereka yang belum bekerja atau baru mencari-cari pekerjaan. Bila sudah kerjapun belum ada gaji tetap. Imbalan yang diperolehnya masih relatif rendah, dengan penentuan imbalan ditentukan oleh orang lain.
Kelompok Kedua
Anggota kelompok kedua ini adalah dokter Puskesmas, dokter dosen yunior FK bidang preklinik, dokter yunior poliklinik departemen atau instansi pemerintah, dokter umum baru praktek swasta, dokter baru di Depkes, Kanwil atau Kadinkes, dokter PTT dan baru saja pasca-PTT, dokter yang bekerja sebagai peneliti, dokter baru di perusahaan farmasi (medical advisor). Mereka hanya "sedikit" berada di atas dari kelompok I karena mereka relatif sudah berpenghasilan tetap (dari gaji yang mereka peroleh). Mereka masih bersandar pada gaji.
Kelompok Ketiga
Anggota kelompok ketiga ini adalah dokter umum praktek swasta menengah (antara 5 - 110 tahun), dokter spesialis baru, dokter spesialis pasca Wajib Kerja Sarjana (WKS) II, dosen yunior FK bidang klinik (klinikus yunior), dokter kepala atau senior di klinik departemen, dokter pemilik klinik swasta, pemilik klinik 24 jam, dokter strata menengah di Depkes dan jajarannya, dokter wiraswasta baru bidang non medik, dan dokter senior di perusahaan farmasi. Mereka sudah mulai mantap posisi ekonominya dengan ciri-ciri sudah memiliki rumah sendiri dan sudah mulai berlangganan dengan bank-bank pemberi kredit investasi.
Kelompok Keempat
Yang termasuk kelompok ini adalah : dokter umum senior praktek swasta perorangan (biasanya sudah berpraktek 15 - 25 tahun), dokter umum praktek swasta yang cukup laris, dokter spesialis menengah (5-10 tahun praktek spesialis), dokter pejabat tinggi departemen pemerintah dan jajarannya, para direktur RS pemerintah atau swasta, dosen senior FK (bukan spesialis atau bila spesialis adalah kelompok yang "tidak basah"), dokter konsultan yang berakses sedang sampai menengah ke atas, dokter pemilik RS Swasta kecil, dan dokter direktur badan usaha pemerintah atau sejenisnya. Mereka ini sudah menjadi kelompok penentu dalam ruang lingkupnya masing-masing yang memiliki dampak sosial yang luas.
Kelompok Kelima
Mereka adalah para dokter spesialis senior/laris dari bidang ilmu yang "basah", pemilik RS Swasta sedang sampai besar, dokter konsultan atau pimpinan proyek yang berakses tinggi (termasuk badan-badan kesehatan dunia), serta dokter pengusaha bahkan dokter "konglomerat". Mereka selain memiliki otoritas dalam bidangnya, juga memiliki akses yang banyak dalam hampir semua bidang di luar medik. Mereka termasuk ke kelompok puncak penentu kebijakan dan paling besar pengaruhnya di masyrakat luas.
Masih menurut majalah BIDI, prosentasenya amat sulit untuk ditentukan secara pasti namun bisa diperkirakan bahwa jumlah kelompok I, II, dan III mencakup 70 - 85 % populasi dokter di DKI. Kelompok IV sekitar 10 - 15 %, dan kelompok V sekitar 2 - 5 %.
________________________________________
Lanjut ...
Subscribe to:
Posts (Atom)