Tulisan ini tidak dimasudkan untuk membela kasus yang sedang ‘in’ saat ini, tetapi hanya sebagai masukan untuk melihat dari suatu sudut pandang yang berbeda dari pembenaran atas kriteria suatu budaya …
Terlepas dari periwayatan dan kronologi waktu yang ‘simpang-siur’ yang sampai ke kita saat ini mengenai permasalahan umur Aisyah r.a., saya pribadi berpendapat bahwa pada saat Aisyah r.a. serumah dengan Nabi, Aisyah r.a telah baligh dan siap [berapapun usianya saat itu], dan hal semacam ini adalah lumrah dan layak pada saat itu.
Hal semacam ini juga masih banyak ditemui di masa-masa setelahnya, bahkan di Eropa sekalipun [beberapa putri/ratu kerajaan di Eropa menikah di usia 12 – 14 tahun]. Di Indonesia, sebelum era 1950-an, pernikahan dini juga masih lumrah. Hanya dalam 50 tahun terakhir ini saja, budaya tersebut mengalami transisi, utamanya karena kesempatan pendidikan yang makin tinggi.
Ironisnya, meskipun pernikahan dini secara budaya sudah tertolak saat ini, tetapi dalam 10 – 20 tahun terakhir ini, seks dini makin lumrah dilakukan [utamanya di Kelas 7, 8, dan 9, bahkan beberapa kasus di Amerika/Eropa sudah terjadi di Kelas 6].
Secara Fiqh ‘tradisional’, pada saat seseorang telah mendapatkan kriteria BALIGH, maka semua hak dan kewajibannya adalah sama dengan manusia dewasa lainnya, berapa pun usianya.
Berikut cuplikan dari buku (opini) Professor Jeffrey Lang atas hal ini :
___________________________________
Pertanyaan
[salah satu dari banyak pertanyaan yang kuterima setelah Pendeta Dr. Jerry Vines menyatakan se-cara luas dalam Southern Baptist Convention Pastors Conference tahun 2002 bahwa Nabi Muhammad adalah "seorang pedofili yang kerasukan setan"]:
____________________________________
Inilah batu penarung yang besar bagiku. Dari bacaan-bacaan-ku dan diskusi-diskusiku dengan imam kami, aku tahu bahwa Nabi Muhammad menikahi 'A'isyah ketika perempuan ini lerusia enam tahun dan kemudian mencampurinya pada umur sembilan tahun. Sebagian orang mengatakan kepadaku bahwa 'A'isyah dini-kahi pada usia sembilan tahun dan dcampuri pada usia dua belas tahun. Akan tetapi, hadis-hadis Bukhari dan sumber-sumber lain-nya menunjukkan bahwa keterangan yang disebut pertama itulah yang lebih mungkin benar. Imam kami juga menamhahkan bahwa kebanyakan ulama pun meyakini demikian.
Satu-satunya penjelasan yang kuperoleh ketika aku mengajukan pertanyaan ini adalah bahwa praktik tersebut lazim terjadi pada zaman dahulu, dan bahwa lelaki berhak menikahi gadis pada umur berapa pun. Aku juga mendapat informasi bahwa menilik tindakan-tindakan Nabi yang berlangsung empat belas abad silam dengan kacamata budaya sekarang adalah salah. Dalam pan-danganku yang simpel, penjelasan itu tidak benar-benar memuas-kan. Meskipun sejumlah praktik lazim terjadi di masyarakat Arab pagan, Yahudi, dan Kristen, ini tidak berarti bahwa praktik-praktik tersebut "dibenarkan". Aku percaya bahwa enam tahun adalah usia "bayi". Sembilan tahun merupakan usia anak-anak, terlepas dari apakah ia sudah mendapat menstruasi pertama atau belum.
Hasil-hasil penelitian memperlihatkan bahwa gadis-gadis masih terus mengalami beberapa perubahan fisik penting selama dua tahun setelah menstruasi pertama. Pada umur sembilan, atau bahkan dua belas tahun, seorang gadis belum sepenuhnya matang secara fisik apalagi emosional. Mungkin tak menjadi persoalan untuk menikahi seorang gadis pada usia enam tahun kola itu, tetapi menurut pemahaman dan pengetahuanku yang terbatas, kukira Rasulullah dengan kearifan dan kekuasaannya seharusnya mengubah adat-istiadat itu alih-alih mengikutinya dengan menikahi seorang gadis enam tahun. Aku sebetulnya berharap Rasulullah akan memberitahu umatnya bahwa menikahi gadis enam tahun itu keliru. Aku selalu mendengar puji-pujian alangkah agung sosok Nabi Muhammad, betapa adil, mulia dan penuh belas kasih, tetapi perkawinannya itu merusak gambaran yang amat baik ini.
Itulah yang membuatku mempertanyakan keagungan beliau.
____________________________________
Pertanyaan ini merangkum sebagian besar komentar tentang pernikahan Nabi dengan 'A'isyah, sehingga aku akan menambahkan beberapa hal saja. Para penulis biografi muslim menawarkan banyak penjelasan yang masuk akal dan mungkin—baik praktis maupun mistis—mengapa Nabi menikahi 'A'isyah pada usia dini.
Namun, aku lebih setuju dengan penjelasan McDonald dan Watt bahwa setelah meninggalnya istri pertama Nabi Khadijah:
Semua pernikahan Nabi dan pernikahan-pernikahan yang beliau laksanakan untuk para putrinya dilatari oleh alasan-alasan politik. Abu Bakar adalah tangan kanan dan pembantu utamanya, dan dia terkenal memiliki pengetahuan yang luas tentang perpolitikan internal suku-suku nomadik; sehingga, dia dapat memberi pertimbangan ke-pada Nabi Muhammad dalam menjalin hubungan dengan suku-suku tersebut. Pernikahan Nabi dengan 'A'isyah putri Abu Bakar yang masih belia dimaksudkan untuk mempererat hubungan antara dua lelaki ini.
Banyak penulis Barat lainnya menganggap pernikahan-pernikahan Nabi sebagai bukti atas nafsu seksualnya yang tak terkendali. Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa Nabi tidak menikah sampai usia dua puluh lima tahun, dan dua puluh lima tahun berikutnya hanya memiliki seorang istri, yakni Khadijah, yang berumur lima belas tahun lebih tua daripada Muhammad; dan bahwa seluruh istri beliau, kecuali 'A'isyah, dinikahi dalam status janda.
Fakta ini membantah tuduhan bahwa Nabi menikahi 'A'isyah dan istri-istrinya yang lain terutama lantaran dorongan nafsunya. Seandainya nafsunya menjadi pendorong utamanya, beliau tentu akan mengawini banyak perawan muda, yang pada umumnya menjadi idaman para lelaki sekarang.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa walaupun orang-orang Arab kuno mempunyai ingatan verbal yang sangat bagus, penandaan waktu mereka sangat payah. Ini dapat di-maklumi mengingat mereka adalah masyarakat buta huruf yang tak mempunyai kalender atau arloji, tak mencatat tang-gal lahir atau mati, tak merayakan hari kelahiran atau hari-hari penting lainnya, dan jarang membuat rencana jangka panjang. Maka, dalam hadis-hadis dan buku-buku biografis sering sekali terdapat perbedaan-perbedaan yang mencolok tentang detail-detail waktu, bahkan menyangkut peristiwa-peristiwa besar yang kelak menjadi terkenal.
Kita pun mendapati keterangan-keterangan yang berlainan dari para penulis bahwa Nabi Muhammad meninggal pada usia enam puluh lima, enam puluh tiga, dan enam puluh tahun. Selain itu, sebagian orang mengatakan Nabi menetap sepuluh tahun di Makkah setelah menerima wahyu pertama, dan sebagian lagi menyebutkan beliau tinggal di sana selama tiga belas tahun. Sebagian sahabat diriwayatkan berkata bahwa Nabi menerima wahyu pertama dalam usia empat puluh tahun, sementara sebagian lain mengatakan empat puluh tiga tahun. Ada perbedaan-perbedaan tentang siapa yang pertama kali memeluk Islam sesudah Khadijah. Ada pula keterangan-keterangan yang berlainan tentang apa surat pertama yang diterima Nabi, tentang malam di bulan Ramadhan ketika beliau menerimanya, dan tentang lamanya masa fatrah (terputusnya wahyu).
Teristimewa mengenai kehidupan 'A'isyah, terdapat banyak sekali perbedaan keterangan. Usia ketika ia dinikahi Nabi disebutkan secara berbeda-beda, misalnya enam, tujuh, dan sembilan tahun. Jarak antara kematian Khadijah dan pernikahan Nabi dengan 'A'isyah adalah satu bulan menurut sebuah hadis sahih, dan dua tahun menurut hadis sahih lainnya. Lantaran dilandasi keterangan-keterangan yang berlainan, perkiraan-perkiraan tentang jarak antara pernikahan dan pindahnya 'A'isyah ke rumah Nabi pun beraneka macam, mulai tiga tahun sampai lima tahun. Ada beberapa keterangan dari sumber-sumber yang berbeda bahwa Fathimah putri Nabi sekitar lima tahun lebih tua daripada 'A'isyah, dan bahwa Fathimah lahir pada saat pembangunan kembali Ka'bah, yang berlangsung kurang lebih lima tahun sebelum wahyu pertama turun.
Artinya, 'A'isyah lahir sekitar pada saat Nabi menerima wahyu pertama, dan ia tinggal serumah dengannya ketika berumur empat belas atau lima belas tahun.
Pada saat yang sama terdapat hadis-hadis sahih dari 'A'isyah bahwa dirinya tinggal serumah dengan Nabi pada usia sembilan tahun. Sebuah hadis sahih lainnya menyatakan bahwa 'A'isyah ingat dirinya masih menjadi seorang gadis cilik yang suka bermain-main manakala surah al-Qamar turun, yang diyakini diwahyukan empat tahun sesudah wahyu pertama. Namun, ini lagi-lagi menunjukkan bahwa waktu kelahirannya mendekati saat turunnya wahyu perdana tersebut dan perkawinannya dengan Nabi di Madinah terjadi tatkala ia meng-injak usia belasan tahun. Ada beberapa hadis yang menggambarkan 'A'isyah masih suka bermain-main ala anak-anak pada tahun-tahun awal pernikahannya, dan beberapa hadis lain menunjukkan bahwa pada kurun waktu tersebut ia menjadi mitra diskusi dan berbagi perasaan bagi istri-istri Nabi lainnya.
Aku tidak mengabsahkan atau menolak kesahihan hadis-hadis tersebut, tetapi banyaknya perbedaan keterangan tentang kapan peristiwa-peristiwa penting diperkirakan terjadi ini mengindikasikan bahwa penandaan waktu kala itu cenderung sangat longgar. Juga perlu dicatat bahwa sanad dari sebagian besar hadis sahih pertama-tama menyebut nama seorang sahabat yang masih sangat muda ketika Nabi wafat dan kemudian nama seorang tabi'in yang jauh lebih muda daripada sahabat tadi. Oleh karenanya, perawi kedua dalam sanad ini me-nerima keterangan dari sahabat itu bertahun-tahun setelah faktanya terjadi.
Lagi-lagi, dalam budaya yang tak begitu menghargai penandaan waktu, ingatan-ingatan mengenai kapan tepatnya peristiwa-peristiwa masa lalu terjadi kerap kali menjadi amat kabur. Ingatan yang amat kabur ini juga mengemuka pada Zaman sekarang, tetapi kini kita jauh lebih mudah untuk mengecek kebenaran-kebenaran ingatan kita di sebuah masyarakat yang raj in mendokumentasikan banyak sekali peristiwa yang baru saja berlangsung, dan sangat memerhatikan waktu. Putriku, Sarah, bertanya kepadaku pada suatu hari sudah berapa lama ibuku meninggal dunia. Aku menjawab tiga tahun, tetapi setelah kuperiksa ulang catatan kematian ibuku, ternyata beliau telah meninggal lima tahun yang lalu. Demikian pula, putri sulungku, Jameelah, belum lama ini mengatakan kepadaku bahwa ia menginjak masa puber pada usia sembilan tahun, tetapi istriku kemudian mengoreksinya bahwa masa puber Jameelah dimulai pada usia sebelas tahun.
Alasan lamanya perpindahan 'A'isyah ke rumah Nabi meskipun ia telah dinikahi adalah bahwa 'A'isyah belum mencapai akil balig. Aku jarang mendengar kasus bahwa menstruasi pertama seorang gadis dimulai pada umur sembilan tahun, tetapi berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas aku memperkirakan 'A'isyah lama kemudian baru tinggal serumah dengan Nabi setelah ia akil balig pada usia sekitar dua belas atau tiga belas tahun.
Bagi sebagian orang, hubungan seks pada usia tersebut mungkin terlalu dini, tetapi faktanya adalah banyak perempuan muda sekarang memilih berhubungan intim sebelum menikah. Ada banyak gadis—dan pemuda— di lingkungan tempatku tumbuh besar di Bridgeport, Connecticut, yang telah berhubungan seks pada usia tersebut; bahkan sebagian dari mereka melakukannya pada umur sebelas tahun. Aku selalu percaya bahwa fenomena ini akan berbeda antara di daerah pinggiran dan di pusat perkotaan, tetapi aku mendapati fenomenanya sangat mirip dengan yang melanda sebuah kota pelajar yang kecil di Kansas tempat tinggalku sekarang.
Di SMP putriku tahun lalu dibentuk sebuah kelompok diskusi bagi gadis-gadis muda yang bermasalah; kebanyakan dari mereka hamil; dan sebagian teman putri-putriku bercerita kepada mereka bahwa mereka melakukan aborsi sewaktu duduk di kelas delapan dan sembilan.
Pada zaman Nabi, sepenuhnya bisa dipahami bahwa orang-tua mencarikan suami bagi putri mereka ketika ia telah berusia dewasa. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa usia hidup manusia rata-rata sangat pendek. Coba kita ingat kembali bahwa ayah Nabi meninggal sebelum beliau lahir, ibunya meninggal ketika beliau berumur enam tahun, Nabi menyaksikan kematian seluruh anaknya kecuali Fathimah yang meninggal pada usia dua puluh sembilan tahun, beberapa bulan setelah Nabi wafat. Oleh karena mencapai umur empat puluh tahun kala itu menjadi kesempatan yang teramat langka, dan karena angka kematian bayi sangat tinggi, dipercaya bahwa perhatian terbesar kaum perempuan dan masyarakat adalah menikah segera setelah mereka mampu memiliki anak. Juga penting untuk diingat bahwa perempuan pascapuber tak lagi mempunyai banyak urusan dan tujuan-tujuan besar; tak ada sekolah menengah atas atau perguruan tinggi yang harus dimasuki, atau pekerjaan yang harus dipersiapkan. Lagi pula, seandainya ia masih belia ketika menikah, keluarga besar dan sukunya akan mengambil sebagian besar peran dalam merawat anak-anaknya. Maka, bisa dimafhumi bahwa menjadi seorang ibu dianggap tidak memerlukan kematangan usia atau pendidikan.
Lantaran informasi-informasi dari istriku dan beberapa kali perjalananku ke Timur Tengah, aku mengenal betul beberapa perempuan Arab yang menikah pada umur dua belas atau tiga belas tahun. Mereka terlihat tak kalah bahagia atau secara psikologis sehat daripada perempuan-perempuan Amerika yang kukenal. Aku dan istriku berteman dekat dengan sepasang suami istri dari Arab Saudi yang menikah ketika lelaki-nya berumur dua puluh delapan dan perempuannya tiga belas tahun. Mereka telah menikah selama lima belas tahun, dan jelas sangat bahagia serta saling mencintai.
Putri sulungku, sewaktu berusia empat belas tahun, menuturkan sebuah cara pandang yang menarik tentang pernikahan remaja. Saat kami mendiskusikan topik ini, ia tiba-tiba mengejutkanku dengan kata-kata: "Aku kira zaman dulu itu seperti zaman sekarang ini/' Adalah tidak adil, katanya, untuk melarang anak-anak muda berhubungan seks sebelum menikah tetapi pada saat yang sama mendorong mereka agar tak menikah sebelum mereka lulus kuliah. Jadi, tambahnya, selama sepuluh tahun atau lebih dalam hidup seorang pemuda, ia akan menerima nasihat A dari orang lain dan nasihat B dari orangtuanya. Manakala kukatakan kepadanya bahwa kita tidak lagi hidup dalam keluarga besar, ia berkata bahwa kita mungkin justru harus melakukannya; sehingga jika keluarga zaman dahulu mau mengorbankan privasi dan waktu untuk membantu pernikahan anggota-anggota muda keluarga mereka, barangkali kita harus melakukannya lagi. Aku tak yakin gagasan Jameelah ini dapat diterapkan, tetapi sah-sah saja baginya untuk mengemukakan pendapat seperti itu.
Sejauh Nabi mendukung sebuah praktik yang tampaknya janggal, yaitu dengan menikahi 'A'isyah, berdasarkan uraianku di atas dan mengingat keadaan masa itu, aku tidak bisa menerima bahwa menikahi seorang remaja dengan sendirinya merupakan tindakan amoral. Bahkan pada zaman sekarang, aku tak melihat amoralitas yang inheren dalam pernikahan dini, meskipun keadaan modern membuat pernikahan semacam itu jauh lebih sulit untuk dibayangkan. Namun, menilik banyak anak remaja dapat dan telah melakukan hubungan seks, aku tak menangkap adanya amoralitas jika anak-anak remaja diikat dan dilindungi dalam pernikahan.
Sampai di sini, berbeda dengan pendapat banyak kaum muslim, aku tak merasa perlu untuk sepenuhnya melebih-lebihkan zaman Nabi. Aku yakin Nabi Muhammad adalah seorang yang bertakwa dan luar biasa saleh, serta dalam banyak hal melampaui zamannya; pandangan hidupnya tak tercerabut dari zaman dan lingkungannya. Aku pikir tak realistis untuk beranggapan bahwa Nabi membayangkan ketika mengambil keputusan-keputusan pribadi seperti apa karakter masyarakat lima belas abad kemudian, atau bagaimana nilai-nilai moral yang subjektif akan berkembang. Aku percaya bahwa ketika kaum muslim mempelajari suri teladan kehidupan Nabi untuk mencari tuntunan moral dan spiritual, kita tidak boleh mengabaikan konteks historis perbuatan-perbuatannya.
__________________________________________
Artikel selengkapnya dapat dibaca di buku :
Aku Beriman, Maka Aku Bertanya
Kajian-Kajian Masuk Akal, Masuk Hati untuk Meraih Iman Sejati
Banyak orang berkeyakinan bahwa pertanyaan rasional hanya akan merongrong iman. Pertanyaan kritis pun kerap dijawab dengan kaku oleh para pemuka agama. Akibatnya, kegalauan iman terus bercokol di benak para penanya. Upaya mereka dalam menyelesaikan p ertentangan iman–akal selalu terantuk kecenderungan kaum muslim untuk membakukan pendapat-pendapat ulama terdahulu. Tak pelak, kelesuan beragama mendera para mualaf dan generasi muda muslim. Mereka inilah yang paling mengalami kesukaran merajut ikatan nyata dengan Islam di tengah budaya sekuler.
Dengan jeli dan sepenuh hati, Jeffrey Lang memindai kelesuan tadi dan berusaha menanggapinya. Ia mencoba menjawab keluhan para generasi muslim dan mualaf, juga gugatan para penghujat Islam. Menurutnya, untuk menggapai iman sejati, kita mesti membebaskan diri dari tradisi dan memeriksa keyakinan-keyakinan kita secara rasional. Banyak cara yang digunakan Alquran dalam mendorong kita untuk mendekati iman kepada Allah secara rasional! Lang pun menekankan pentingnya diskusi terbuka atas isu-isu yang banyak dirasa tak enak dalam komunitas muslim, dengan mengedepankan sikap apa adanya, objektif, dan tidak mengelak dari kontroversi.
Buku ini mengulas banyak pertanyaan yang dianggap tabu dilontarkan di masjid atau forum-forum keagamaan konservatif. Ia merangkul suara-suara muslim yang terasing dari masjid, demi mengembalikan kebugaran komunitas muslim dalam memikat dan membuat terlibat para keturunan dan anggota barunya. Ternyata, banyak penanya di buku ini yang mengakhiri pertanyaan mereka dengan kekhawatiran dianggap ateis atau subversif kepada Tuhan.
Ini artinya, mereka bertanya karena masih beriman, butuh alasan meyakinkan, dan mengaktifkan akal dalam mendekati keyakinan mereka pada Tuhan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Komentar Anda mengenai artikel ini :