Friday, May 15, 2009

Jenglot dan "Rogue Taxidermy"

Jenglot dan "Rogue Taxidermy"

Dalam minggu ini beberapa artikel mengenai Jenglot dimuat pada Kompas.com. Diuraikan 'crateure' tersebut bertubuh ular dan kepalanya mirip manusia dengan ciri perempuan.

Sejatinya, ilmu manusia memang sangat sedikit, dan banyak sekali misteri di alam ini (apakah bersifat science atau mistis) yang tidak akan pernah bisa kita pecahkan. Tetapi apakah status "jenglot" juga tidak bisa dipecahkan oleh science terapan sekarang ini?


Mitos Jenglot



[1] “jenglot” ditemukan pada tahun 1972 saat sejumlah paranormal alias dukun melakukan tirakat di Wlingi, Jawa Timur.

[2] jenglot merupakan peninggalan sejarah yang berumur 3.112 tahun.

[3] jenglot dikatakan sebagai “mummy” yang konon berusia 300 tahun.

[4] jenglot berasal dari petir yang dipegang dan di-sabdo oleh tiga wali, yakni Syekh Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, dan Sunan Giri

[5] jenglot pada masa ribuan tahun lalu adalah seorang pertapa yang tengah mempelajari ilmu Bethara Karang. Ilmu Bethara Karang diyakini sebagai ilmu keabadian. Artinya, setiap orang yang memiliki ilmu tersebut akan hidup abadi di dunia. Setelah itu, sang pertapa menjadi emosional dan merasa sebagai jawara. Tak pelak, tubuhnya pun menyusut, hingga akhirnya mengecil. Empat taring kemudian tumbuh memanjang, tak sebanding dengan lebar mulutnya. Namun, akibat kutukan, jasad jenglot tidak diterima di dunia sedangkan rohnya tidak diterima di akherat, maka roh tersebut seperti terpenjara dalam jasad kecil itu.

[6] jenglot itu hidup, dimana tanda-tanda kehidupannya bisa dilihat dari rambut di kepala dan beberapa bagian tubuh lainnya yang ternyata tumbuh - bertambah semakin panjang bahkan lebih panjang dari ukuran tubuhnya. Kuku jari ternyata dapat memanjang seperti layaknya kuku manusia ataupun binatang. Pada saat tertentu posisi kaki, tangan dan mata dapat berubah, seakan menunjukkan adanya pergerakan, sebagaimana makhluk hidup pada umumnya.



Jenglot yang dimuat pada situs Kompas.com minggu ini menguraikan wujud seperti sesosok ular melingkar dengan badan dan kepala berbentuk seperti perempuan dilengkapi rambut panjang warna pirang di bagian belakang. Jenglot ini bertinggi badan sekitar 18 sentimeter, rambut panjang lebih kurang 20 cm. Di bagian wajah terdapat dua alis warna putih memanjang, mata terbelalak, dua taring, dan badan sampai ekor panjangnya kalau menjulur diperkirakan sampai 90 sentimeter. Selain itu juga ada dua tangan yang menyilang didada, dengan jari-jari berwarna hitam dan kukunya memanjang. Di bawah pantatnya seperti ada besi warna kekuning-kuningan.

Penelitian RSCM/FKUI

Dari link internet, banyak sekali di publish berita hasil penelitian Tim Forensik RSCM/FKUI mengenai Jenglot, tetapi link ke sumber asal (dalam hal ini majalah Gatra) belum bisa saya temukan. Ada tiga nama dokter yang tersebar dalam berita di Internet tersebut, yang ke semuanya real/exist (bukan fiktif), yakni:
Dr. dr. Djaja Surya Atmaja PhD [Sp.F., S.H., D.F.M.]
Dr. dr. Budi Sampurna Sp.F.
Dr. dr. Muhammad Ilyas, Sp.Rad (K)

Disebutkan (ingat informasi ini belum diverifikasi, dan akan saya update jika sudah mendapatkan konfirmasi dari dr. Djaja Surya) bahwa pada 15 November 1997, Majalah Gatra, Nomor 52/III, menurunkan laporan mengenai hasil penelitian atas Jenglot yang dilakukan oleh dr Djaja Surya Atmaja, PhD. dari Universitas Indonesia (doktor di bidang DNA forensik lulusan Kobe University, Jepang, 1995), sbb :

Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, pernah kedatangan "pasien" jenglot. Hendro Hartanto ingin membuktikan bahwa secara medis jenglot miliknya memang merupakan penjelmaan manusia yang pernah hidup. "Waktu itu tim medis di sini kaget, ada seorang pasien yang didaftarkan atas nama jenglot, dikira itu nama orang. Karena bingung mau ditangani di bagian mana maka "pasien" tersebut dibawa ke belakang sini (bagian forensik)," ujar dr. Djaja Surya Atmaja Sp.F., Ph.D., S.H., D.F.M., seorang dokter bagian forensik FKUI. Di bagian forensik inilah jenglot diteliti lebih lanjut.

Untuk membuktikan sisi "kemanusiaan" jenglot tersebut maka tim dokter forensik FKUI RSCM melakukan deteksi dengan alat rontgen untuk mengetahui struktur tulang serta pemeriksaan bahan dasar kehidupan seperti C, H, O atau proteinnya. "Semua data awal saya catat dengan teliti dan selengkap-lengkapnya. Ini saya lakukan agar penelitian ini benar-benar dapat dilakukan secermat-cermatnya, ini kan menyangkut pertanggungjawaban pada ilmu pengetahuan," kata dr. Djaja. Ia menjelaskan bahwa rontgen merupakan sebuah alat yang sangat peka dan sensitif untuk dapat mengetahui dan melihat sisi bagian dalam tubuh. Maka dilakukan foto rontgen untuk mengetahui struktur di dalam tubuh jenglot secara jelas. Dari foto tersebut ternyata belum terlihat struktur dalam tubuh jenglot, yang terlihat kosong (hanya semacam daging tanpa tulang) dan hanya terlihat sebatang "tonggak" menyerupai tulang yang menyangga dari kepala sampai tubuh.

Para dokter belum puas dengan hasil tersebut. Diduga dengan foto rontgen yang telah dilakukan ada kemungkinan kemampuan sinar rontgen kurang akurat. Oleh karena itu untuk mengetahui lebih pasti maka dilakukan foto Mamo. "Foto Mamo ini mempunyai tingkat kepekaan dan sensitifitas lebih baik, lebih akurat, lebih peka dan lebih sensitif daripada foto rontgen," jelas dr. Djaja. Hasil foto ternyata tidak berbeda dengan hasil yang terlihat pada foto rontgen. Organ dalam tubuh jenglot tetap tidak tampak. Dengan kata lain struktur dalam tubuh jenglot tetap tidak terlihat.

Tim forensik semakin penasaran, tidak puas dengan hasil tes-tes awal, maka tim forensik sepakat untuk meneliti jenglot dengan CT Scan. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa penelitian secara medis harus dilakukan secermat mungkin. Hasil yang diperoleh ternyata dalam tubuh jenglot tidak menampakkan struktur tubuh seperti yang seharusnya ada pada manusia. Hal ini memunculkan tiga dugaan bahwa makhluk aneh itu kemungkinan manusia yang memiliki struktur fisik yang telah berubah. Kemungkinan kedua, sel kulit tersebut telah terkontaminasi dari luar. Sedangkan kemungkinan ketiga, bisa jadi makhluk kecil tersebut adalah makhluk jenis lain yang belum atau tidak dikenal dalam dunia medis hingga saat ini.


Hasil Tes DNA oleh Tim Forensik RSCM / FKUI

Belakangan, dr. Djaja Surya Atmaja, tergerak untuk meneliti unsur DNA (deoxyribose nucleic acid), sebuah unsur yang merupakan material genetik berupa basa protein yang membangun struktur kromosom. "Saya didorong beberapa teman untuk meneliti lebih lanjut," katanya. Unsur ini merupakan gabungan suatu gula, fosfat dan basa. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa DNA merupakan pembangun dari awal suatu kehidupan sesuatu makhluk hidup. Tanpa DNA "sesuatu" makhluk tak akan mampu hidup.

Tes tersebut dilakukan dengan media rambut dan kulit yang diambil dari sisi tubuh jenglot. Sampel sel kulit tersebut kemudian dianalisis dengan metode analisis PCR (Polymerase Chain Reaction). Dengan metode ini DNA dimultiplikasi (diperbanyak). Untuk memperbanyak DNA harus menggunakan bahan pemicu agar DNA dapat keluar dari inti sel sehingga dapat diketahui jenis DNA-nya. "Dalam hal ini, saya menggunakan pemicu DNA manusia, yakni jenis DNA HLA-DQ Alfa dan DNA Polymarker," kata dr. Djaja. Jika DNA dari sel yang diteliti tersebut mengandung DNA manusia maka akan keluar pita DNA jenis manusia dan jika DNA tersebut DNA jenis hewan maka tidak akan keluar pita DNA manusia. "Saya kaget ternyata hasilnya positif, sampel sel kulit jenglot tersebut mengandung DNA dengan karakteristik manusia. Artinya spesimen sel jenglot tersebut berjenis sel manusia," katanya seakan tak mempercayai hasil temuannya.

Begitu juga dari penelitian struktur rambutnya. Struktur rambut manusia terdiri dari akar yang diselimuti gelembung sebagai medan tumbuh rambut, kulit rambut, dan di dalam kulit rambut terdapat sumsum rambut. Ada anggapan bahwa rambut jenglot ini ditanam dengan sengaja. "Sangat mustahil kalau rambutnya ditanam, kecuali terlalu lebat, juga rasanya sulit menanam rambut pada media tubuh jenglot yang kecil," kata dr. Djaja. Dari pemeriksaan struktur rambut jenglot, menurutnya bahwa rambut jenglot mempunyai struktur rambut asli walaupun strukturnya tidak sama persis dengan struktur rambut manusia. Jadi mirip rambut manusia. Struktur rambut jenglot mempunyai kelengkapan, yakni akar, diameter rambut agak besar, serta sumsum kecil mirip manusia. Akar tertanam di dalam gelembung dalam kulit persis sama dengan gelembung rambut manusia. Dalam rambut terdapat sumsum berukuran kecil seperti halnya dalam sumsum rambut manusia. Berbeda dengan sumsum rambut pada binatang yang mempunyai sumsum yang besar. Ada anggapan bahwa rambut jenglot ini ditanam dengan sengaja.

Di luar tes DNA, dr. Djaja juga sempat membuktikan pergerakan jenglot yang sekilas tampak hanya seperti sebuah mumi tanpa gerak. Bukti gerak jenglot dilakukan dr. Djaja dengan mengambil gambar atau foto. Bola mata jenglot digerakkan dengan tangan dan ternyata sulit bergerak, seakan-akan telah terpatri secara permanen. Mustahil digerakkan tangan tanpa merusaknya. Oleh karena itu dr. Djaja melakukan pengambilan gambar. Pengambilan gambar dilakukan dengan dua kali pemotretan, dalam kurun waktu yang berbeda. Gambar pertama menunjukkan bahwa kedua bola mata jenglot, titik hitamnya tepat berada di tengah-tengah. Gambar kedua yang dilakukan beberapa waktu kemudian, ternyata menampakkan hasil bahwa titik hitam pada bola mata jenglot telah berubah letaknya. Satu bola mata berada di atas sedangkan satu bola mata lagi telah turun ke bawah. Inikah satu bukti kehidupan yang ditunjukkan oleh jenglot?

Hasil tes DNA dan pembuktian gerak jenglot yang dilakukan dr. Djaja barangkali belum secara lengkap membuktikan "tanda kehidupan" pada diri jenglot. Sebab upaya dr. Djaja untuk mengetes DNA jenglot dengan sampel organ bagian dalamnya tidak disetujui pemiliknya. Alasannya takut merusak tubuhnya yang mungil itu, di samping takut "kualat". Djaja sendiri mengaku sebenarnya tertarik untuk melakukan penelitian lebih dalam terhadap jenglot, namun selama ini terbentur pada masalah dana yang besar. "Kalau ada sponsor mungkin saya berani meneliti jenglot lebih dalam lagi," ujarnya.


Penelitian USM Malaysia

Dari Malaysia, Dr. Zafarina Zainuddin, forensic expert Universiti Sains Malaysia's
(Science University of Malaysia) juga pernah melakukan penelitian, dan dimuat di Berita Harian, tanggal 16 Desember 2006; dan dari hasil pemeriksaan DNA dan X-ray diperoleh kesimpulan adalah buatan/rekayasa manusia dari bangkai/rangka hewan dengan implant rambut manusia.

Dari hasil X-Ray creature/jasad yang ditelitinya terlihat jarum besi didalamnya, dan juga terdapat struktur tulang yang dianalisa sebagai struktur tulang hewan kecil. Terdapat benang untuk mengikat sendi dengan tangan dan kaki, yang menyerupai kaki ayam dan burung. Kesimpulannya jenglot yang diteliti tersebut dibuat/dirakit dari bangkai hewan dan diimplant dengan rambut manusia.



Sayangnya, pembedahan dan pengambilan sampel kulit/daging tidak bisa dilakukan karena tidak diperbolehkan oleh pemilik.


Rogue Taxidermy

Dari paparan tersebut di atas, kelihatannya teknik pembuatan jenglot ini merupakan varian dari teknik Rogue Taxidermy.

Keterangan mengenai Taxidermy (untuk makhluk yang tulen), maupun Rogue Taxidermy (untuk makhluk rekaan) dapat dibaca di Wikipedia

Rogue Taxidermy

is the creation of stuffed animals which do not have real, live counterparts, such as the jackalope and the skvader. They may have mythical counterparts (e.g. dragons), be of the taxidermist's imagination, or be endangered or extinct species. They can be made from the supposed parts of mythical animals (e.g. chimeras, griffins, unicorns) or they may be artificially created. Rogue taxidermy is often seen in sideshows and dime museums among genuine freak animals.
When the Platypus was first discovered by Europeans in 1798, and a pelt and sketch were sent to the United Kingdom, some thought the animal to be a hoax. It was thought that a taxidermist had sewn a duck's beak onto the body of a beaver-like animal. George Shaw, who produced the first description of the animal in the Naturalist's Miscellany in 1799, even took a pair of scissors to the dried skin to check for stitches.

Taxidermy
(from the Greek for classifying skins)
is the act of mounting or reproducing dead animals for display (e.g. as hunting trophies) or for other sources of study. Taxidermy can be done on all species of animals including mammals, birds, nematodes, reptiles and amphibians. The methods that taxidermists practice have been improved over the last century, heightening taxidermic quality, and lowering toxicity. The animal is first skinned. This process is similar to removing the skin from a chicken prior to cooking. This can be accomplished without opening the body cavity so the taxidermist usually does not see internal organs or blood. The skin is tanned and then placed on a polyurethane form. Clay is used to install glass eyes. Forms and eyes are commercially available from a number of suppliers. If not, taxidermist carve or cast their own forms.


Contoh Rogue Taxidermy

Bisa di googling "Rogue taxidermy artists", atau search nama senimannya, seperti Nate Hill dan Takeshi Yamada (both live in Brooklyn, NY), yang banyak menciptakan/ "creates" new animals, mythic creatures dan simple monsters (by using carcasses of animals). Yamada website :
http://sideshowworld.com/SSA-15.html

Banyak yang tertipu dengan creatures yang dibuat oleh Yamada, dan menganggap itu real. Kalau mau lihat blogger yang tertipu dan cuma 'copas' saja, googling dengan key "Takeshi Yamada peneliti asal Jepang", dan contoh hasilnya sbb :



Dr Takeshi Yamada, peneliti asal Jepang, menemukan 10 makhluk aneh yang mengegerkan dunia ilmu pengetahuan. Salah satunya adalah monyet vampire di China ...



No comments:

Post a Comment

Komentar Anda mengenai artikel ini :