Thursday, October 16, 2008

Menyikapi Hoax dan Pareidolia

Menyikapi Hoax dan Pareidolia

Adalah sangat mengherankan, bahwa masyarakat kita dengan mudahnya dapat menerima suatu berita tanpa filter - tanpa mencoba untuk menelaah/mencermati secara lebih dalam. Hal ini bisa kita lihat dari forwarding mengenai suatu keajaiban di milis/blog (yang menerima berita dan forward/copy langsung tanpa komentar – dalam artian menyetujui berita tersebut, sangat banyak jumlahnya).

Sangat na’if, bahwa konsep dalam menentukan validitas hadits, yang menjadi hal umum dalam dunia Islam, tidak pernah kita terapkan dalam verifikasi suatu berita. Harusnya kita bisa mengecek link (‘sanad’) beritanya sampai ke sumber utama, berapa banyak media reputable (’rawi’) yang meriwayatkan berita tersebut, isi (‘matan’) beritanya bagaimana, dll. Jika hal ini dilakukan, Insya Allah, umat muslim akan terhindar dari Isu, Fitnah, dan semacamnya.


HOAX [wikipedia.org]
A hoax is a deliberate attempt to dupe, deceive or trick an audience into believing, or accepting, that something is real, when in fact it is not; or that something is true, when in fact it is false. In an instance of a hoax, an object, or event, is not what it appears to be, or what it is claimed to be - for example, "snake oil," which was sold by 19th century traveling salesman in the United States as a cure-all. It differs from magic in that the audience is unaware of being deceived - whereas in watching a magician perform a magical act, the audience expects to be tricked.

It is possible to perpetrate a hoax by making only true statements using unfamiliar wording or context (see Dihydrogen monoxide hoax). Unlike a fraud or con (which is usually aimed at a single victim and are made for illicit financial or material gain), a hoax is often perpetrated as a practical joke, to cause embarrassment, or to provoke social change by making people aware of something. Many hoaxes are motivated by a desire to satirize or educate by exposing the credulity of the public and the media or the absurdity of the target. For instance, the hoaxes of James Randi poke fun at believers in the paranormal and alternative medicine. The many hoaxes of Alan Abel and Joey Skaggs satirize people's willingness to believe the media. Political hoaxes are sometimes motivated by the desire to ridicule or besmirch opposing politicians or political institutions, often before elections. Journalistic scandals overlap with hoaxes to some extent.

Some governments have been known to perpetrate hoaxes to assist them with unpopular aims such as going to war (e.g., the Ems Telegram). In fact, there is often a mixture of outright hoax, and suppression and management of information to give the desired impression. In wartime, rumours abound; some may be deliberate hoaxes.

The word hoax is said to have come from the common magic incantation hocus pocus.[1] "Hocus pocus", in turn, is commonly believed to be a distortion of "hoc est corpus" ("this is the body") from the Latin Mass.
=============================
PAREIDOLIA [wikipedia.org]
The term pareidolia (pronounced /pæraɪˈdoʊliə/) describes a psychological phenomenon involving a vague and random stimulus (often an image or sound) being perceived as significant. Common examples include seeing images of animals or faces in clouds, the man in the moon, and hearing hidden messages on records played in reverse. The word comes from the Greek para- —"beside", "with" or "alongside"- meaning, in this context, something faulty or wrong (as in paraphasia, disordered speech)—and eidolon—"image" (the diminutive of eidos—"image", "form", "shape"). Pareidolia is a type of apophenia.
=============================

ALLAH SWT secara jelas telah memberi pedoman kepada kita dalam Surah al-Hujurat {49} ayat 6 :

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Dengan rujukan bahwa Hadits saja mengalami kategorisasi/validasi grade (shahih, hasan, da’if/lemah, maudhu’/palsu), maka kategorisasi/validasi terhadap suatu berita adalah suatu keniscayaan.

Dalam penilaian kriteria hadits, satu link/sanad saja tidak terjalin ke sumber lebih di atas-nya, maka sudah cukup untuk memberi kriteria tidak shahih.

Jika berita yang kita dapatkan tidak jelas sumbernya - hanya “katanya” atau dikutip dari link-ke-link, maka adalah sangat bertanggungjawab jika kita tidak memberi kategori “shahih” atas berita tersebut. Minimal, untuk sementara kita beri grade “dha’if”.

Jika ditemukan bahwa sumber utama yang dirujuk, seperti NASA, Dr. XYZ, dll, tidak pernah mengeluarkan berita tersebut, atau sumber utama-nya tidak exist, maka adalah sah jika kita katakan berita tersebut maudhu’ (palsu/HOAX).

Secara sederhana, kriteria penilaian/kualifikasi hadits dapat kita jadikan rujukan/acuan untuk menilai/memberi grade suatu informasi. Semisal kita temukan suatu informasi di Internet, tetapi link-link ke sumber utamanya ada yang terputus, maka adalah sah untuk kita tidak mempercayai berita/informasi tersebut.

Bukti bulan terbelah –> diklaim sumber utamanya dari NASA, tetapi ternyata tidak pernah ada sumber resmi yang mebuktikan bahwa memang NASA pernah mengeluarkan statement tersebut

Giant Skeleton –> sudah ditemukan sumber utamanya, yang ternyata hasil modifikasi/editing photoshop

Suara dari Alam Kubur –> Dr. Azzacov tidak pernah berhasil diidentifikasi orangnya. Juga,versi Bahasa Inggris (yang sebenarnya ditujukan dan beredar di kalangan Kristen), tiba-tiba berubah menjadi bernuansa Islam, dan bertambah dengan cerita mengenai asap yang keluar yang membentuk lafadz “4JJI” (Allah), dimana bagian ini tidak ada pada versi bahasa Inggrisnya. Analisa Perangkat/teknologi yang digunakan juga memperlihatkan ketidakbenaran isi/matan berita tersebut.

“Anak Durhaka” yang dikutuk (atau terkutuk) menjadi Ikan Pari, Monyet, setengah ikan setengah buaya, dll –> seperti umumnya Hoax, lokasi kejadiannya menjadi simpang siur, dari Meulaboh/Aceh, Pontianak, sampai ke Kuwait, Dubai, dan Mesir.

dan lain-lain.

Kesimpulannya, jika sumber beritanya tidak jelas, atau tidak ada yang bisa bertanggungjwab atas berita tersebut, maka tidak ada alasan bagi kita untuk mempercayai berita tersebut.

Hadits saja bisa di dhaif-kan, padahal boleh jadi hadits tersebut benar-benar bersumber dari Rasulullah, tetapi hanya karena ada cacat (ketidaksempurnaan) pada rawi dan/atau sanad-nya, maka hadits dengan status dha’if tersebut (meskipun ‘mungkin’ benar) tetap kita tinggalkan/abaikan.

No comments:

Post a Comment

Komentar Anda mengenai artikel ini :